Kongkow, nikmati malam di kajoetangan. Segelas kopi menemani. Nongkrong bersama kolega. Keluarga. Atau terkasih.
Jujur, ini bukan Malioboro. Bukan Semarang. Bukan Braga. Bukan pula kota di Belanda. Ini bumi Ngalam. Kajoetangan heritage.
Bersyukur ada kajoetangan haritage. Wadah ekspresi warga. Yang wisata. Yang belanja. Yang ingin nikmati kota sendiri. Walau belum sempurna. Tapi ada upaya. Ada usaha. Memberi ciri khas. Ini kota Ngalam.
Diawali dari paving. Dari pedestrian. Dan lampu haritage. Kabel. Parkir. Terus berbenah dalam plus minus. Pujian dan kritik. Ada suka. Ada tidak suka. Apapun itu, ini mbois lop ilakes.
Cerita lampu haritage. Mau dibawa kemana. Tanya yang ahli. Biar mengkaji. Menelaah. secara profesional. Dari berbagai sudut ahli. Agar apik, menarik dan unik.
Apa kembali ke asal usul kajoetangan? Seperti masa Ken Angrok, lampunya oncor, di hutan Patangtangan.Â
Apa kembali art Deco. Memoles khas kolonial. Tapi gedungnya mana. Malah banyak gedung ditulisi dijual. Dirobohkan. Diganti modern minimalis. Warga biasa, bertanya haritage itu apa.
Malang itu lahir di era desain art Deco, budayanya arek. Bukan Mataraman. Punya osob kiwalan. Punya topeng Malangan. Kuliner Bakso aremanya terkenal. Kampung tematiknya unik. Bermacam kreasi ada di malang.
Cerita lampu, untuk nyaman wisata. Berswafoto Instagramable. Mendendang musik jalanan. Suka ria membangun kenangan. Cerita syahdu tentang malang. Sepanjang Kajoetangan.
Akankah kangen Malang, kangen Kajoetangan. Rindu dalam setiap cerita.Â