3. In Which Channel (Melalui saluran apa):
Seorang Stoik memilih saluran komunikasi yang paling sesuai dengan situasi. Misalnya, jika pembicaraan bersifat sensitif, ia lebih memilih komunikasi langsung daripada melalui pesan teks, demi kejelasan dan empati.
4. To Whom (Kepada siapa):
Stoikisme mengajarkan empati. Seorang Stoik mempertimbangkan siapa penerimanya, bagaimana kondisinya, dan bagaimana cara terbaik menyampaikan pesan agar tidak melukai atau menyinggung tanpa perlu.
5. With What Effect (Dengan efek apa):
Tujuan komunikasi Stoik bukan sekadar menyampaikan, tapi menciptakan pengaruh positif---menumbuhkan pengertian, kedamaian, dan kerja sama. Seorang Stoik mengevaluasi dampak kata-katanya, dan jika perlu, memperbaikinya.
Dengan berpikir jernih, bertindak bijak, dan berfokus pada hal yang bisa dikendalikan, Stoicism memperkuat komunikasi efektif dalam kerangka Lasswell: jelas, bertanggung jawab, dan berorientasi pada nilai.
*Teori komunikasi Martin Buber
Martin Buber dalam filsafat komunikasinya membedakan dua jenis hubungan: "Aku-Itu" (I-It) dan "Aku-Kau" (I-Thou). Hubungan Aku-Itu bersifat objektifikasi---melihat lawan bicara hanya sebagai alat atau objek. Sementara itu, hubungan Aku-Kau adalah komunikasi sejati yang dilandasi kehadiran penuh, kejujuran, dan penghargaan terhadap kemanusiaan orang lain.
Dalam kerangka ini, Stoicism dan teori Buber saling memperkuat. Stoikisme mengajarkan kendali diri, ketenangan batin, dan hidup sesuai kebajikan. Ketika dipraktikkan dalam komunikasi, prinsip Stoik menuntun seseorang untuk hadir secara utuh dalam interaksi, sebagaimana yang dijelaskan Buber.
Komunikasi efektif menurut Buber menuntut kehadiran autentik dan keterbukaan hati. Seorang Stoik akan: