Mohon tunggu...
Eki Saputra
Eki Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis itu Pilihan, Menjadi Penulis adalah Sebuah Panggilan

2 Maret 2023   12:55 Diperbarui: 2 Maret 2023   13:00 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Kepada Siapa Ilalang Bercerita (Dok. Pribadi)

Pertama kali mendapatkan tawaran menulis novel dengan jaminan akan diterbitkan, saya nyaris mengatakan tidak kepada perwakilan dari sebuah agen naskah. Saat itu, baru beberapa bulan saya terpilih sebagai runner up di kompetisi menulis yang komunitas itu adakan. Saya bukanlah seorang penulis, sebenarnya, barangkali saya lebih layak disebut insan yang sedang bermimpi menjadi penulis. Saya pikir, mereka terlalu mengambil risiko memilih saya  dan keputusan aneh mereka---mempertimbangkan fiksi buatan saya---adalah bukti bahwa di dunia yang keras ini, kadang-kadang hidup terlampau absurd.  

Sekitar tahun 2008, saya ingat cita-cita kurang waras ini pertama kali tercetuskan. Seperti kebanyakan bocah-bocah di kampung yang berumur sepuluh tahun, sepulang sekolah, hari-hari saya habiskan bermain saja dengan kawan-kawan. Saya masih ingat, obrolan konyol kami di poskamling yang sudah terbengkalai di tengah-tengah dusun pada hari itu. 

Di pengujung sore, tepat sebelum kami bergegas pulang setelah mengaso di bawah naungan atap seng bangunan sempit itu, teman saya tiba-tiba bertanya: "Apa cita-cita kalian?". Sebuah pertanyaan yang terdengar sepele, tetapi sulit untuk dijawab. Bagaimanapun, saya masih trauma dimarahi guru agama lantaran pada awal-awal masuk sekolah dasar, saya dengan dungunya menjawab ingin menjadi bandit. 

Pikir saya, bandit adalah profesi heroik nan gagah mengalahkan polisi dan tentara. Bapak sering menceritakan kepada saya betapa kewalahannya para polisi zaman Belanda mengejar para bandit. Gara-gara cita-cita itu, satu kelas saling berebutan ingin jadi bandit, kecuali satu teman saya yang duduk paling pojok, dia berkata ingin jadi Tuhan. Katanya, tidak ada lagi yang bisa mengalahkan dia di dunia ini, bahkan seorang bandit.

Sejak itu, saya tak pernah serius lagi dan yakin bila ditanya cita-cita. Saya selalu bilang ingin jadi guru, dokter, pilot, apa saja yang terdengar keren. Anehnya, tiba pada pertanyaan sahabat saya tadi, saya sungguh-sungguh ingin menjawabnya. Dua bocah itu sudah selesai mencoreng arang ke tembok, menulis nama mereka lengkap dengan cita-cita. 

Mereka begitu percaya diri menceritakan kepada saya betapa enaknya seandainya cita-cita mereka terkabulkan.  Kemudian tibalah giliran saya dipaksa mereka menjawab, tanpa memperhitungkan pengalaman jelek sebelumnya, dan masih dengan kesintingan setara, saya mengatakan ingin jadi penulis. "Aku ingin menulis banyak buku. Buku-buku itu lalu dibaca banyak orang dan aku terkenal sebagai penulis," kata saya lugu di hadapan dua teman yang masing-masing berkeinginan jadi polisi dan direktur. Mereka bertepuk tangan meriah dan berseru-seru gembira seolah-olah itu sudah jadi kenyataan. Lalu saya mencoret dengan mantap ambisi itu di dinding poskamling. Siapa tahu tembok itu bisa mengirim pesan kepada Tuhan?

Saya berani bertaruh, hanya sekali---di poskamling kumuh bau tahi kambing itu---dan seumur-umur saya pernah mengatakan keinginan menjadi penulis. Setelahnya, saya tak pernah lagi mempertimbangkan profesi ini, bahkan tak sedetik pun menganggap ucapan saya hari itu serius. Tujuh tahun kemudian saya resmi mengambil jurusan teknik, tepatnya teknik kimia, mempertimbangkan diri agar kelak sukses menjadi insinyur di bidang proses.

Seiring saya bermetamorfosis dari remaja ingusan menjadi pemuda dewasa, lambat laun saya sadar dan insyaf bahwa penulis bukanlah profesi yang menjanjikan.  Betapa pun, kita, di masa kecil bisa begitu mudah mengobral mimpi karena tak tahu apa yang sedang kita bicarakan. Kita terlalu terbuai bayangan-bayangan manis yang dipikir bakal menyenangkan. Sementara kian dewasa, kita kehilangan kepolosan dalam diri dan mesti berjibaku dengan tantangan hidup yang rumit; belajar tabah menerima kenyataan pahit, bahwa hidup tidak lepas dari pembahasan tuntutan perut dan dompet. 

Sebagaimana ungkapan dalam Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupry yang menyindir perspektif orang dewasa yang selalu dipatok oleh angka, angka, dan angka. Orang dewasa memilih sesuatu berdasarkan nilai komersialnya dibandingkan nilai yang liyan. Sedangkan memilih profesi penulis jelas tidak memenuhi syarat itu. Menjadi penulis sejati artinya hidup kita harus terbiasa menenggelamkan diri dalam gelembung ketidakpastian. Tentu saja di sini saya ingin memperjelas, bahwa saya sedang bicara tentang hakikat penulis sejati, mereka yang menulis sebagai passion, bukan karena sebatas hobi, atau geliat mengejar uang dan memperkaya diri saja dari tulisan-tulisannya.

Bagi saya, seorang penulis fiksi sejati memang tidak seharusnya menghambakan dirinya kepada selera pasar (demi uang), mengikuti tema dominan, lalu mengisahkan dongeng-dongeng yang hanya ingin orang-orang dengarkan, alih-alih kisah yang benar-benar mau ia sampaikan kepada dunia. Penulis sejati, menurut saya, ialah mereka yang membicarakan suara-suara dalam dirinya sendiri yang selama ini dia simpan karena dianggap tabu, terlarang, tertutup, dan terkunci di tenggorokan. 

Penulis sejati dengan keberaniannya memanjat tembok-tembok tinggi yang dibangun penguasa dan mencoba menarik perhatian sejumlah pembacanya agar melihat dunia lain di luar tembok itu. Ia dengan lantang menyuarakan kegelisahan-kegelisahan yang bergejolak di kepalanya. Dengan ujung mata penanya yang basah, ia mengusik dan membangunkan segenap pembacanya sehingga mereka tergerak melakukan segenap aksi, melebihi sekumpulan teks yang dibangun si penulis. Dan, waktu itu, saya jelas belum berpikir sampai ke sana. Saya masih menempatkan menulis sebatas hobi biasa, sama seperti hobi-hobi saya yang lain.  

Memang awalnya, saya merasa baik-baik saja memilih jalan hidup layaknya orang-orang normal. Bekerja di pabrik demi menghasilkan uang, berharap karier awal sebagai laboran berjalan mulus, dan bermimpi segera membangun rumah tangga dan memomong dua balita yang gemuk. Namun, hari-hari berubah kian suram dan menyedihkan. Momen krisis itu tiba di waktu yang tidak disangka-sangka. 

Suatu malam yang hening, setelah kaki pegal karena mondar-mandir di plant, saya menyaksikan wajah-wajah buruh kasar, mereka kebanyakan seusia atau lebih muda daripada saya, namun dengan sedikit keberuntungan, memandangi dinding dengan tatapan dingin, murung, dan kosong. Wajah-wajah itu membuat saya seketika takut.  Saya seakan baru saja melihat diri saya di antara mereka. Saya pikir, kepindahan saya ke tempat baru akan menjauhkan saya dari gangguan ketidaknyamanan, tetapi di tempat baru ketidaknyamanan makin menjadi-jadi. Wajah-wajah itu seolah-olah mimpi buruk. Mereka adalah saya. Mereka adalah saya yang diam saat mimpi-mimpi dibunuh dengan kejam oleh realitas.

Ketidaknyamanan itu menyiksa saya kembali. Sudah lama saya resah dan terganggu dengan pengalaman-pengalaman jomplang yang saya sadari selepas lulus sarjana. Betapa ketimpangan-ketimpangan sosial terlihat nyata sekali, ketidakadilan begitu akrab, kemanusiaan diabaikan, hak-hak saya dan orang-orang kecil direnggut paksa, lingkungan saya terus dirusak, mimpi yang runtuh, ditambah lagi kenangan-kenangan buruk saya datang menghantui. Singkatnya, saya mulai merasa tidak hidup selayaknya orang hidup. Saya bagaikan zombi yang berkeliaran di tengah kerumunan; tidak mengerti mengapa saya mesti melangkah seperti orang-orang di sekitar saya. Sebagaimana kata Kahlil Gibran dalam bukunya Sayap-Sayap Patah, "ketidakmengertian membuat orang hampa".

Dan saya sejak hari itu merasa hampa. Saya merasa hidup cuma untuk mengulang siklus yang tidak saya sukai. Pekerjaan yang saya lakukan memang menjamin kebutuhan hidup, tetapi separuh dari diri saya mulai koyak karena menipu isi hati saya sendiri. Setiap akan berangkat bekerja, saya dihantui pertanyaan, sampai kapan saya harus begini? Untuk apa hidup saya ini? Apa yang sesungguhnya saya kejar?

Mau sebesar apa pun usaha penolakan saya, tetapi takdirlah yang kemudian menggiring saya sendiri kembali ke impian lama saya itu. Layaknya Pinokio, saya akhirnya memutuskan membangkang pada petuah hidup yang dianut orang-orang dewasa. Maka melanjutkan bermimpi menjadi penulis sejati---yang menulis karena panggilan jiwa---merupakan keputusan paling berat dan berisiko yang telah saya ambil. 

Jadi, saya dengan sadar berkomitmen akan membunuh angka-angka yang merantai segala gerak-gerik saya selama bertahun-tahun terakhir. Saya menempatkan profesi penulis tidak lagi sebagai hobi sampingan, melainkan kerja-kerja yang serius. Ini merupakan keputusan konyol yang sangat haram dilakukan oleh orang-orang waras. Dan, saya, meyakini bahwa saya sudah tidak waras sejak mengukuhkan keinginan mengejar kembali impian masa kecil itu.

Setelah berpikir berkali-kali, saya akhirnya mengiyakan tawaran dari perwakilan agen naskah. Seperti balita yang baru belajar berjalan, saya dibimbing oleh beberapa penulis dan editor senior selama proses penggarapan naskah fiksi. Maka, di umur saya yang baru menginjak dua puluh dua tahun, saya berhasil menyelesaikan draft prosa panjang pertama saya berjudul Kepada Siapa Ilalang Bercerita. Novel ini mengisahkan gejolak orang-orang desa di pedalaman Sumatra dalam menghadapi perusahaan perkebunan sawit yang tamak. Novel inilah kemudian menggiring saya kepada penemuan besar dalam diri saya. Melalui novel itu, saya juga mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting yang selama ini mengganggu: Mengapa saya menulis? Kepada siapa saya menulis?

Petualangan saya dalam mengejar mimpi menjadi penulis sejati belumlah selesai. Sesungguhnya ini barulah permulaan. Hari ini saya masih terseok-seok melangkah sendirian di jalan sunyi senyap yang saya pilih. Apakah esok hari saya akan tetap menjadi penulis atau justru menyerah dan berhenti selamanya? Apakah saya bakal jadi Santiago dalam Sang Alkemis-nya Paulo Coelho yang konsisten mengejar cita-cita atau hanya seperti pemilik toko kristal yang bermimpi tapi tak ingin mewujudkannya? Jelas saya tidak tahu. Biarkan waktu kelak menjawabnya nanti.


"Tulisan ini pertama kali dimuat di Majalah Elora edisi pertama (2022)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun