"Kamu bisa masak Rum?" tanyaku.
"Engga, kalau Mas Raga kayaknya jago masak ya?" Arumi tersenyum manis ke arahku.
Demi...demi...demi... perempuan yang berpenampilan tomboy ini yang telah memikat hatiku. Aku akhirnya menyerah dengan hubungan pertunanganku yang telah kujaga hampir setahun ini.
Demi..demi...demi,...perempuan unik ini ternyata cerdas dan rajin mengaji. Ini membuatku memberikan nilai plus atas dirinya.
"Aku suka masak, bukan jago" kilahku sambil menggoreng tempe yang telah kuiris tipis-tipis.
Aku dan Arumi berada satu kontrakan. Setiap sabtu dan minggu seperti ini adalah rutinitas kami berjalan-jalan di pasar, lalu memasak sederhana untuk dimakan bersama dengan sepuluh teman lain yang juga satu kontrakan. Yang sibuk memasak memang hanya aku dan Arumi. Maklum Arumi adalah satu-satunya perempuan yang masih satu kontrakan. Sementara perempuan-perempuan yang lain memilih untuk kost di tempat yang lumayan jauh dari kantor. Mereka mencari tempat kost yang bisa menyajikan makanan serta mencuci setrika baju mereka. Sedangkan diriku, Arumi dan kesepuluh bujangan lain yang menghuni kontrakan ini adalah orang-orang yang mencuci baju sendiri tanpa bantuan laundry ataupun pembantu.
"Aku suka cowok yang bisa masak" celetuk Arumi.
Aku menatap gadis polos itu. Mengaguminya dalam hati. Seandainya saja aku bisa berterus terang padanya perihal perasaan yang kualami sebulan terakhir ini. Dimana aku selalu memimpikan Arumi menjadi istri dan ibu dari anak-anakku kelak.
"Aku juga suka cowok yang humoris" kata Arumi menatapku.
Aku jadi gelagapan. Ya, memang aku sering melontarkan lelucon di hadapan Arumi dan teman-teman yang lain. Arumi selalu menganggapinya dengan tertawa kecil setiap leluconku. Tawa yang khas yang hanya dimiliki seorang Arumi.
"Kamu pingin punya suami yang bagaimana Rum?" tanyaku mencoba mengabaikan kegugupanku setiap kali berada di dekatnya.