Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[CerMis] Siapa Takut?

13 November 2018   14:37 Diperbarui: 13 November 2018   14:24 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku, ibu dan adikku yang masih berusia sembilan bulan sedang asyik bermain di ruang tamu. Karena haus, ibu menyuruhku mengambil segelas air di dapur. Sebenarnya jarak antara ruang dan tamu cukup dekat, hanya tiga meter saja. Tapi aku harus melewati lorong itu, lorong penghubung antara ruang tamu dan dapur. Di sebelah lorong terdapat satu ruangan yang biasanya kami gunakan untuk tidur. Entah mengapa setiap melewati lorong tersebut rasanya bulu kudukku berdiri, bergidik. Aku bukan tipe orang yang penakut. Buktinya di usia lima tahun, bapak dan ibuku sering meninggalkanku di rumah sendirian. Mereka menginap satu sampai dua hari di Gresik, kota asal mereka. Karena rumahku berada di daerah kampong, maka urusan makan ibuku menyerahkan pada tetangga sebelah rumah.

Dengan langkah pelan aku melewati lorong tersebut. Sebenarnya aku ingin sekali berlari, tetapi ibu pasti marah-marah jika aku berlarian di dalam rumah. Aku juga tidak ingin menoleh pada ruangan kamar tidur di sebelah lorong. Meskipun lampu di kamar tidur tersebut dibiarkan menyala, aura seramnya masih bisa membuatku merinding.

Kepalaku menoleh secara reflek ketika mendengar celotehan bayi di kamar tersebut. Aku melihatnya, melihat adikku yang usianya sembilan bulan sedang belajar berdiri sembari memegang pintu jendela yang terbuka. Adikku melihatku, namun matanya mendelik. Aku tidak yakin itu adalah adikku yang sebenarnya. Aku ingat betul tadi aku dan ibuku bersama adikku di ruang tamu. Mengapa tiba-tiba ada adikku di kamar tidur sendirian dan menatapku dengan mata melotot.

Ibu...Ibu... aku ingin sekali berteriak. Namun seraya suaraku tidak bisa keluar dari mulut. Aku berusaha berjalan meninggalkan lorong tersebut, tapi kakiku pun tidak bisa digerakkan.

Ibu...ibu,....keringatku mengucur deras. Sosok yang menyerupai adikku masih menatapku dengan mata melotot. Syukurnya dirinya tidak merangkak ke arahku seperti yang sering dilakukan adikku jika melihatku.

Tubuhku diguncang keras. Akupun terbangun dengan napas terengah-engah. Ibu menatapku cemas.

"Kenapa tadi manggil ibu dengan suara keras sekali, Rena ketakutan?" tanya ibuku polos.

"Syukurlah, itu hanya mimpi Bu" aku memeluk ibuku.

"Makanya sebelum tidur berdoa dulu" nasihat ibuku.

Aku ingat betul sebelum tidur semalam aku sudah berdoa. Aku selalu melakukan rutinitas cuci kaki dan sikat gigi sebelum tidur. Lalu berdoa sebelum tidur dan tiga surat pendek di bagian akhir Al qur'an.

"Iya Bu..." sahutku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun