Krisis energi ini menjadi pelajaran berharga: sebuah masalah sistemik tidak akan pernah bisa dipahami melalui kacamata tunggal. Ia adalah teka-teki yang sama-sukarnya dari sudut pandang geopolitik, ekonomi global, teknologi energi alternatif, hingga budaya konsumsi masyarakat. Krisis ini dengan tegas menyatakan: pendekatan disipliner yang terkotak-kotak sudah tidak memadai lagi. Ia menuntut visi transdisiplinaritas---sebuah cara pandang yang mampu melihat keterhubungan antara rig pengeboran, meja perundingan politik, dan kebiasaan kita menginjak pedal gas.
1.3 Krisis Finansial Asia 1997: Ketika Domino Global Runtuh
Dua dekade setelahnya, gelombang krisis datang dari arah lain. Krisis finansial Asia 1997 memperlihatkan dengan gamblang bagaimana dunia telah menjadi sebuah jaringan yang sangat rentan. Nilai tukar yang runtuh di Thailand dengan cepat berubah menjadi tsunami yang menyapu ekonomi Indonesia, Korea Selatan, dan seterusnya.
Apa yang tampak sebagai gangguan di pasar uang, ternyata adalah cermin dari kompleksitas yang jauh lebih dalam. Teori ekonomi moneter saja tidak cukup untuk menjelaskannya. Faktor-faktor seperti struktur politik yang oligarkis, budaya bisnis yang tertutup, dan kepercayaan investor yang mudah menguap, ternyata adalah aktor-aktor kunci dalam drama ini. Peristiwa ini mengajarkan pada kita bahwa uang tidak pernah benar-benar netral; ia dirajut oleh benang-benang sosial, politik, dan budaya yang harus dibaca secara bersama-sama. Inilah inti dari pemikiran transdisipliner.
1.4 UNESCO 1998: Sebuah Pengakuan Resmi atas Kompleksitas
Menanggapi realitas yang semakin "liar" ini, UNESCO pada 1998 mengadakan konferensi internasional yang secara khusus mengangkat transdisiplinaritas. Momen ini, seperti dicatat oleh Bernstein (2015), adalah kebangkitannya kembali setelah sempat tenggelam sejak pertama kali diwacanakan oleh Jean Piaget pada 1970. UNESCO melihat dengan jeli bahwa umat manusia mulai dihadapkan pada apa yang disebut "wicked problems"---masalah-masalah jahat yang saling bertaut, tanpa sebab-akibat yang linear, dan mustahil diselesaikan dalam batas satu disiplin ilmu. Dengan demikian, paradigma transdisiplinaritas diakui bukan sebagai kemewahan akademis, melainkan sebagai kebutuhan yang mendesak.
1.5 Dari Piaget ke Bernstein: Lintasan Sebuah Gagasan
Gagasan Piaget tentang sebuah pengetahuan yang berada "di antara, melintasi, dan melampaui" disiplin ilmu mungkin terdengar terlalu visioner pada masanya. Itu adalah cetusan awal visi transdisiplinaritas. Namun, lintasan sejarah membuktikan bahwa visinya justru menemukan momentumnya di akhir abad ke-20. Dunia yang diguncang oleh krisis-krisis kompleks akhirnya "mengejar" gagasan Piaget. Bernstein menangkap peralihan ini dengan baik: dari sebuah ide filosofis yang abstrak, transdisiplinaritas berubah menjadi kerangka kerja transdisipliner yang praktis dan relevan.
1.6 Renungan Penutup: Apakah Kita Benar-Benar Belajar?...
Dengan pemahaman kita tentang perbedaan antara visi (transdisiplinaritas) dan pendekatan (transdisipliner), renungan atas ketiga contoh besar tadi---krisis energi 1970-an, krisis finansial 1997, dan pandemi Covid-19---menjadi semakin jelas. Setiap krisis membongkar ilusi kita bahwa masalah dunia dapat dikotak-kotakkan.
Pertanyaan reflektif yang kemudian menggelayuti adalah: Sudahkah kita, sebagai peradaban, benar-benar belajar mengadopsi cara pikir transdisipliner? Ataukah kita hanya terpaku pada perbaikan teknis jangka pendek, sementara paradigma lama yang terfragmentasi itu tetap bercokol?