Mohon tunggu...
Yulwhinar Eka Saputra
Yulwhinar Eka Saputra Mohon Tunggu... Menulis fiksi untuk hidup

Perspektif periferal kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendekar Silat Penjual Tisu

9 Februari 2025   10:10 Diperbarui: 9 Februari 2025   02:17 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Charlein Gracia di Unsplash

Santri jago silat itu bernama Sudana Abdullah alias Cobra. Ia berjualan tisu di lampu merah sembari melakukan atraksi jurus tongkat dan double stick demi menarik perhatian pengendara. Unik, keren, dan tentunya menghibur para pemotor dan sopir yang melintas di simpang Laluan Madani, Batam.

Dalam berita di Kompas.com ini, lebih jauh dijelaskan bahwa Cobra ini menjadi tulang punggung keluarganya. Ia fokus bersilat di jalan raya sejak diberhentikan dari pekerjaannya di sebuah perusahaan. Bahkan, ia sempat diundang oleh para tokoh lokal termasuk mantan Kapolda.

Sebagai sesama kaum marjinal (baca: miskin), tentu saya merasa ikut senang dengan semangat dan ketekunan Sudana mencari nafkah dengan caranya yang unik. Sebab, selain menyegarkan perasaan para penontonnya, ia juga menyediakan tisu yang jelas merupakan salah satu kebutuhan pokok pengendara. Dua hal yang bermanfaat bagi orang lain.

Di sisi lain, saya berharap ia tidak terus-terusan melakukan aktivitas tersebut. Bagaimanapun juga, lampu merah bukan tempat yang pas untuk berjualan, apalagi beratraksi. Selalu ada risiko bagi pengendara yang terpecah konsentrasinya, yang bukan tidak mungkin mencelakakan diri sendiri dan pengguna jalan yang lain.

Bahwa Satpol PP dan Dinas Sosial pernah mendatanginya dan mengundangnya tampil di sebuah acara, itu sudah suatu langkah yang baik. Akan tetapi, jauh lebih pas secara fungsi dan kewajiban mereka untuk menyediakan ruang berdagang (dan beratraksi) yang lebih layak, lebih aman, dan menghindarkan risiko kecelakaan di jalan raya.

Saya berprasangka baik bahwa sudah barang tentu Sudana tidak ingin selamanya menghibur para pemotor dan pemobil. Demikian juga pihak-pihak yang berwenang di wilayah tersebut pasti ingin ketertiban lalu lintas dan keselamatan pengguna jalan lebih terjamin. Mengenai bagaimana solusi terbaiknya, saya percaya beliau-beliau lebih paham peta dan situasi di daerahnya ketimbang saya yang orang asing.

Fenomena ini memantik sejumlah pertanyaan dalam diri saya. Pertama, bagaimana mungkin seorang santri pendekar tidak memperoleh pekerjaan yang lebih sesuai dengan keilmuan dan keterampilannya? Tentu tidak harus jadi guru ngaji atau atlet pencak silat, masih banyak opsi profesi lainnya yang bisa jadi ruang implementasi kepandaiannya.

Perihal ini, tentu tak asyik jika kita buru-buru menggampangkan situasi dengan komentar klise semacam: "Hanya Tuhan yang tahu jalan rejeki orang." Sebab jika demikian, maka buat apa ada Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dan institusi lain-lainnya? Buat apa ada Undang-undang Cipta Kerja dan entah berapa ribu lembar regulasi lainnya?

Pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin lembaga-lembaga yang punya tanggung jawab menjaga tertib lalu lintas pada "berbaik hati" mengizinkan orang beratraksi di lampu merah? Bukankah sudah jelas melakukan aktivitas perniagaan di jalan raya itu melanggar peraturan? Kebaikan hati institusi yang memberikan dispensasi semacam ini bukankah sebuah wujud korupsi?

Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya ikut senang dengan pengalaman baik Sudana. Tetapi, saya yakin masih banyak pilihan lain yang lebih baik bagi beliau maupun pengguna jalan. Barangkali dengan tulisan ini, pihak-pihak berwenang atau orang-orang yang memiliki kapasitas untuk memfasilitasi beliau agar bisa bekerja secara lebih layak akan tergugah untuk berpikir dan bertindak.

Sebagaimana kita tahu, entah berapa ribu Sudana-Sudana lain di perempatan jalan. Yang melumuri tubuhnya dengan cat silver, yang mengenakan kostum badut, yang menggenjreng gitar mini, dan macam-macam gaya lainnya. Semoga nasib mereka dipikirkan oleh para pejabat di pemerintahan, demi martabat dan keselamatan banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun