Hal yang menyakitkan menjadi miskin adalah dipandang rendah
Berjarak kurang lebih tiga puluh menit dari pasar Alahan Panjang, Solok, sebuah kampung nan asri dengan bentangan sawah menyambut langkah ini. Hembusan angin di cuaca nan cerah membuat mata saya bergerilya melempar pandang ke segala penjuru dan … di ujung sana gunung Talang terlihat mempesona.
Tak ada yang pernah menyangka, kampuang nan berseri dengan keindahan alam serta kebersihan yang terjaga dengan baik ini pernah berada dalam ‘kegelapan’ bernama kemiskinan. — Terpuruk dalam peradaban yang tidak tersentuh pendidikan yang baik.
Mendapat julukan sebagai kampung miskin di Sumatera Barat bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan dari jorong Tabek, Hiliran Gumanti, Talang Babungo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
“Dulu kampung kami ini tidak seperti yang bapak ibuk lihat sekarang. Kampung kami paling miskin dari 74 nagari di Kabupaten Solok,” ujar Kasri Satra, Ketua Penggerak Kampung Bersemi Astra (KSA) Jorong Tabek, Talang Babungo, Solok, saat menyambut kedatangan Jurnalis dan Blogger dalam acara Workshop dan Bincang Inspiratif Anugerah Pewarta Astra 2025 di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Muallimin, Minggu 3 Juni 2025 lalu.
Dan, hal menyakitkan dari kemiskinan adalah dipandang rendah. Pandangan sebagai kampung atau jorong termiskin di Sumatera Barat tersebut terpatri kuat dalam ingatan Kasri. Pandangan rendah tersebut sejalan dengan kondisi peradaban jorong Tabek yang belum tersentuh pendidikan dengan baik saat itu.
Lebih dari satu dekade lalu, sebagian masyarakat jorong tersebut masih melakukan buang air besar di tanah dan kemudian menimbun. Kondisi gelap tanpa listrik adalah hal yang biasa kala itu serta kondisi jalan yang tidak beraspal dengan baik.
Dari semua permasalahan tersebut, tentu saja hal yang memprihatinkan adalah terkait pendidikan. Sebelumnya tak ada satupun masyarakat dari jorong tersebut menempuh pendidikan hingga tingkat sarjana karena sulitnya hidup yang dijalani.
Rumah Pintar dan Upaya Melepas Rasa ‘Sakit’ dari Kemiskinan