Mohon tunggu...
Eka Herlina
Eka Herlina Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Seorang teman bagi temannya, seorang anak bagi ibu, dan seorang perempuan bagi dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Ia yang Tak Pernah Absen Menghadirkan Cerita dalam Setiap Langkah Ini

2 Januari 2018   01:04 Diperbarui: 2 Januari 2018   04:57 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Ini tentang sosok yang mengagumkan dan menyenangkan, yang biasa saya panggil dengan Ama. Bersama untaian do'a-nya yang tak pernah lelah; saya belajar menjadi perempuan yang bahagia.

Saya terdiam mendengar pernyataan sepupu saya yang mengungkapkan bahwa di lingkungan dimana saya tinggal, saya menjadi objek pembicaraan dengan kebiasaan saya yang suka bepergian meninggalkan Ama -- ibu saya---seorang diri bekerja keras mencari nafkah. Intinya, ketika saya senang-senang, ibu saya sedang bersusah di rumah.

Hal tersebut saya sampaikan perlahan-lahan ke ibu saya. Sejenak Ama terdiam kemudian tertawa pelan. Saya pun ikut tertawa ; menyadari apa yang dibicarakan jauh dari fakta yang kami alami berdua.

 Ama tahu bagaimana perjuangan dan kerja keras saya mewujudkan perjalanan untuk melihat dunia yang lebih luas termasuk dalam segi biaya. Saya pun sadar bahwa bagi ibu saya rumah adalah tempat ternyaman untuk beraktivitas.

" Kita tak hidup dari perkataan orang lain, Ka." Begitu ibu saya selalu berucap. Seperti malam itu ketika saya menyampaikan perkataan orang tentang saya. Ama bukan saja madrasah pertama saya mengenal kehidupan dunia ini, tapi ia sekolah sepanjang masa dimana saya bisa terus melangkah menegakkan kepala di tengah tekanan sosial yang kerap menghampiri saya.

****

Saya terpaku ketika melihat disamping ransel saya sudah tersedia tas kain kecil berisi beberapa nasi bungkus dan plastik berisi lauk untuk sekali makan plus air mineral. 

Pagi itu saya berencana melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Saya menelan ludah, terbayang ibu saya yang bangun sebelum subuh, mencari daun pisang, dan memasak ikan asin, kentang goreng dan sambal ijo -- lauk kesukaan saya.

Sejenak saya memejamkan mata, usia saya tak lagi anak-anak ketika ibu saya masih saja sibuk menyiapkan bekal setiapkali saya ingin melakukan perjalanan. 

Berapa kali saya mengungkapkan keresahan tak ingin merepotkannya dengan hal seperti ini, Ama merasa saya tak menghargai masakannya yang lezat tersebut. Pada akhirnya saya pun menerima dengan senyum bahagia.

Ama bukan orang yang royal pelukan dan pujian yang ia tuangkan ke anak-anaknya. Tapi, lewat bekal yang ia siapkan untuk saya, entah kenapa saya merasa inilah pelukan Ama sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun