Mohon tunggu...
Egia Pehulisa Ginting
Egia Pehulisa Ginting Mohon Tunggu... Universitas Maritim Raja Ali Haji

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kecemasan adalah Penyakit Nyata, Bukan Sekedar 'Kurang Iman"

19 Juni 2025   20:49 Diperbarui: 19 Juni 2025   22:16 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali seseorang mengatakan bahwa dirinya sedang dilanda cemas, tak jarang ia akan mendapat jawaban yang menyakitkan: "Mungkin kamu kurang ibadah," atau "Makanya lebih sering zikir, pasti tenang." Komentar seperti ini terdengar sederhana, bahkan terkesan peduli. Padahal, secara tidak sadar, masyarakat kita telah menjadikan agama sebagai kambing hitam dari persoalan yang sebenarnya bersifat medis. Lebih parahnya lagi, stigma ini membuat banyak orang akhirnya memendam rasa sakit dalam diam karena takut dianggap lemah iman. Ini bukan hanya tidak adil, tapi juga sangat berbahaya.

Kecemasan bukan sekadar perasaan gugup sesaat. Ia adalah gangguan psikologis nyata yang bisa melumpuhkan aktivitas harian seseorang. Menurut data Riskesdas (2018) dari Kementerian Kesehatan RI, prevalensi gangguan mental emosional yang ditandai gejala depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun ke atas mencapai 9,8% dari total penduduk Indonesia. Artinya, jutaan orang Indonesia hidup dengan rasa takut berlebihan, pikiran berisik, dan jantung yang berdegup kencang setiap waktu---dan itu semua bukan karena mereka kurang doa. Bahkan di negara dengan tingkat religiositas tinggi seperti Arab Saudi, laporan dari Journal of Affective Disorders (2021) mencatat peningkatan signifikan kasus anxiety selama pandemi. Jadi jelas, keimanan tidak kebal terhadap gangguan mental.

Contohnya seperti salah satu seorang mahasiswa di Bandung yang harus berhenti kuliah sementara karena mengalami panic attack berulang. Alih-alih mendapat empati, ia malah disalahkan oleh keluarganya yang bilang bahwa semua itu terjadi karena ia "kurang dekat dengan Tuhan." Padahal setelah diperiksa oleh psikiater, ia didiagnosis dengan Generalized Anxiety Disorder (GAD) dan harus menjalani terapi serta konsumsi obat antidepresan. Bayangkan betapa berat beban mental yang ia pikul, bukan hanya karena penyakitnya, tapi juga karena lingkungan yang tidak memberinya ruang untuk pulih. Dan ini bukan satu-satunya kasus. Masih banyak orang muda yang memilih diam, takut dianggap tidak cukup "tahan banting" hanya karena menunjukkan gejala gangguan kecemasan.

Yang lebih menyedihkan lagi, stigma "kurang iman" ini justru membuat banyak orang takut untuk mencari bantuan profesional. Mereka merasa berdosa hanya karena ingin pergi ke psikolog. Padahal, justru dengan menggabungkan pendekatan medis dan spiritual, pemulihan bisa berjalan lebih sehat dan menyeluruh. Kita tidak bisa terus menerus menyebarkan pandangan hitam-putih yang menyalahkan penderita sebagai orang yang tidak cukup beriman. Ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menyerah, bukan pada penyakitnya, tapi pada pandangan orang-orang di sekitarnya. Jika lingkungan sosial, keluarga, bahkan tempat ibadah hanya menjadi sumber penilaian, bukan ruang aman untuk mengobrol dan berkeluh kesah, tentu saja mereka tidak bisa pulih. Sudah saatnya kita menyadari bahwa bantuan psikologis tidak bertentangan dengan nilai religius---justru bisa menjadi pendukungnya. Iman bisa jadi kekuatan, tapi sains adalah alat bantu. Keduanya bukan musuh, melainkan tim yang seharusnya bekerja bersama untuk menyelamatkan manusia dari keterpurukan mental.

Sudah saatnya kita berhenti menyederhanakan kecemasan hanya sebagai urusan spiritual. Ini adalah penyakit mental yang kompleks, butuh dukungan, bukan penghakiman. Kita bisa mendoakan mereka tapi lebih dari itu, kita harus mengedukasi diri agar bisa menjadi bagian dari solusi. Karena ketika seseorang bilang mereka sedang cemas, respons kita bisa jadi penyelamat---atau justru menjerumuskan mereka ke jurang yang lebih dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun