Mohon tunggu...
Egi Sukma Baihaki
Egi Sukma Baihaki Mohon Tunggu... Penulis - Blogger|Aktivis|Peneliti|Penulis

Penggemar dan Penikmat Sastra dan Sejarah Hobi Keliling Seminar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memperbincangkan Perempuan dalam "Tetralogi Pulau Buru" dan "The Sand Child"

16 Desember 2019   21:45 Diperbarui: 17 Desember 2019   13:32 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Narasumber Kegiatan Bedah Buku, Dr Sarasdewi dari Universitas Indonesia dan Zacky Khairul Umam, MA dari Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia. Dok. Pribadi

Pram biasa ia disebut atau dipanggil. Seorang sastrawan terbaik Indonesia yang kini namanya hampir tidak asing lagi bagi para penikmat buku-buku sastra. Namanya melalui kutipan petuah bijaknya kerap kali menjadi mantra yang digunakan oleh dosen, guru atau motivator untuk memotivasi anak-anak atau orang lain untuk menulis dan berkarya. 

Pria kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini semakin ramai diperbincangkan. Namanya kembali naik dan diketahui oleh masyarakat luas termasuk bagi orang yang belum pernah membaca karyanya saat salah satu novel bagian dari Tetralogi Pulau Buru yaitu Bumi Manusia diangkat ke layar lebar. 

Tetralogi adalah sebutan khusus untuk kumpulan novel karya Pram yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988. Tetralogi Pulau Buru berisikan empat novel yang saling berkaitan satu sama lain  yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Pemilik nama lengkap Pramoedya Ananta Toer ini menulis keempat cerita atau novel Tetralogi selama ia diasingkan dan dipenjara di Pulau Buru sebagai tahanan politik pada saat itu. Saat keempat novel karyanya terbit, pemerintah melarang peredarannya karena dianggap karya-karya Pram berisikan pesan-pesan dan promosi komunisme. 

Sosoknya memang dianggap sangat kritis dan ia menjadi musuk setiap rezim di masanya. Sejak masa kolonial hingga penguasa Orde Baru ia kerap menyampaikan kritikannya melalui kolom-kolom majalah atau surat kabar. 

Tidak aneh jika sejak masa kolonial, Pram pernah dipenjara bahkan kemudian saat masa Orde Baru ia harus berdiam di Pulau Buru bersama tahanan politik lainnya.  

Tidak sembarang orang bisa membeli atau bahkan membaca karya Pram apalagi mendiskusikannya. Namun, kini sudah hampir bisa dipastikan banyak orang yang membeli dan memiliki buku Tetralogi Pulau Buru dan karya-karya Pram yang lain. Segala usia bisa membacanya dan bisa mendiskusikan karya-karya Pram dengan bebas.

Rabu, 4 Desember 2019 Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan bersama Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia  mengadakan kegiatan bedah buku dengan judul "Perempuan-Perempuan dalam Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dan The Sand Child karya Taher Ben Jeloun". Kegiatan bedah buku tersebut menghadirkan dua pembicara yaitu Dr Sarasdewi dari Universitas Indonesia dan Zacky Khairul Umam, MA dari Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.

Dr Sarasdewi sebagai pembicara pertama mengupas bagaimana Pram dalam Tetraloginya mampu mengungkapkan dan mengangkat sisi-sisi humanisme dan feminisme dengan sangat baik. Pram seakan memahami betul dan ikut merasakan bagaimana kondisi perempuan di masa kolonial yang ia gambarkan dalam ceritanya.

Dalam penjelasannya, Sarasdewi menyebutkan bahwa Tetralogi Pram bisa masuk dalam kategori sastra terlibat atau bergerak karena sulit untuk memisahkan antara pengarang dengan karyanya. Kesalahan Orde Baru menurut adalah menganggap bahwa Tetralogi Pulau Buru mempromosikan komunisme, padahal bisa dipastikan bahwa isinya berisikan semangat nasionalisme dan mengangkat sisi-sisi humanisme.

Ada beberapa nama perempuan yang muncul dalam Tetralogi Pulau Buru seperti Nyai Ontosoroh, Surati dan Annelies Mellema. Salah satu sosok perempuan yang diangkat oleh Pram adalah tokoh Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh dianggap memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan pencerahan kepada Minke. 

Dalam sebuah dialog tampak bahwa Nyai Ontosoroh sedang memberikan nasehat dan membuka cakrawala berpikir Minke agar tidak terlalu terlena, terpengaruh dan mendewakan Barat dan pernak-pernik Kolonial.

Meski berasal dari keluarga miskin, Nyai Ontosoroh muncul sebagai seorang perempuan yang terdidik dan menjadi tokoh sentral ilmu pengetahuan. Ia mendapatkan pendidikan Barat tetapi enggak mengikuti Barat. Predikat "Nyai" pada masa itu memiliki dua makna yaitu positif dan negatif. 

Panggilan "Nyai" membuat perempuan dihormati, tapi di sisi lain panggilan itu bisa negatif karena dianggap hina sebagai gundik.  Pada masa kolonial,  menurut Sarasdewi perempuan kerap harus menghadapi tindasan dari seksisme, identitas gendernya dan ketimpangan kelas. 

Narasumber kedua, Zacky Khairul Umam mengupas novel The Sand Child karya Taher Ben Jelloun.  Novel "The Sand Child" merupakan versi terjemahan bahasa Inggris dari novel asli berbahasa Prancis dengan judul "L'Enfant de Sable". Novel tersebut terbit pada tahun 1985. 

Karyanya sengaja ditulis dengan bahasa Perancis agar bisa dibaca oleh orang luar terutama orang-orang Perancis, agar orang-orang di dunia bisa mengetahui kondisi Maghrib saat itu (Tunisia, Al-Jazair dan Maroko).

Novel "The Sand Child"  mengangkat cerita dengan latar kondisi masyarakat Maroko saat itu yang kental dengan budaya dan agamanya. The Sand Child mengisahkan perjalanan hidup seseorang yang terlahir sebagai perempuan sejak kecil, tetapi harus disembunyikan identitasnya karena kondisi lingkungan budaya yang membuat ayahnya melakukan itu. 

Ia dianggap sebagai anak laki-laki bahkan disekolahkan di sekolah laki-laki semua masyarakat mengira dan menganggapnya sebagi laki-laki. Bahkan ia pernah menikah dengan seoang perempuan juga.

Namanya sebagai pria adalah "Ahmed". Tindakan ayah Ahmed untuk menyembunyikan identitas anaknya yang perempuan disebabkan kondisi budaya dan agama saat itu di mana sosok laki-laki dalam hal harta waris memiliki hak yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. 

Kondisi keluarga ayah Ahmed saat itu sudah memiliki tujuh putri dan saat anak ke delapan lahir perempuan lagi maka demi untuk menyelamatkan harta waris keluarga anak perempuan terakhirnya diperkenalkan ke masyarakat sebagai laki-laki.

Pada akhirnya Ahmed kemudian menyadari bahwa selama ini ia telah menipu dirinya sendiri dan masyarakat. Ia kemudian pergi untuk mencari jati diri dan menjadi seorang perempuan. Lika-liku kisah hidup Ahmed dalam  "The Sand Child"  menurut Zacky sangat abstrak dan memang tidak mudah dipahami bagi pembaca. 

Dalam novel juga dimunculkan beberapa kutipan-kutipan sufistik dari beberapa tokoh sufistik seperti Ibn Arabi, al-Hallaj, Ibn Farid dan lain-lain karena pria kelahiran Maroko, 1 Desember 1944 kental dengan budaya dan nilai sufistik. 

Kedua novel yang dibedah sama-sama berisikan mengenai kondisi masyarakat termasuk perempuan di dalamnya pada masa-masa penjajahan. Pram mengenai penjajahan Belanda, dan Tahar bercerita mengenai masa penjajahan Perancis. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun