A. Hassan dalam Tafsir al-Furqan menyinggung pembagian mengenai pujian ini yaitu “segala puji mencakup: a. Pujian Allah kepada diri-Nya, b. Pujian Allah kepada makhluk-Nya, c. Pujian makhluk kepada Allah, dan d. Pujian makhluk kepada makhluk.” (2010:1).
Di dalam al-Qur’an sendiri beberapa unsur yang disinggung oleh A. Hassan di atas memang ada. Pujian tidak serta merta dilontarkan oleh bawahan layaknya hubungan pegawai kantor dengan bosnya. Tetapi, pujian bisa juga diucapkan untuk memuji dirinya (dalam bahasa jawa dikenal dengan bahasa ngalem dewek), memuji bawahan, memuji atasan dan pujian terhadap sesama.
Jika manusia memuji seseorang karena fisiknya yang indah, parasnya yang rupawan maka sadarkah kita bahwa siapakah yang menciptakan manusia? Maka, dengan memuji fisik manusia berarti kita memuji yang menciptakannya, dan bila kita menghina fisik manusia sama halnya kita menghina ciptaan Tuhan. Manusia memuji seseorang karena hartanya yang berlimpah, kedermawanan seseorang, bukankah harta itu adalah pemberian dari Sang Maha Pemberi Rezeki?
Ketika membahas mengenai pujian maka pasti akan berhubungan dengan tindakan selanjutnya yaitu syukur. Dalam satu hal keduanya dapat beriringan secara bersamaan, pada saat yang lain keduanya terpisah jauh. Contohnya, ketika manusia memuji keindahan alam semesta yang Allah ciptakan, pada saat yang sama akan muncul rasa syukur. Tapi kadang manusia tanpa pernah memuji Allah baru bersyukur ketika ia mengalami musibah atau terhindar dari marabahaya. Pujian adalah bagian dari syukur dalam bentuk ucapan lisan.
Perbedaan mencolok antara pujian kepada Allah dengan pujian kepada sesama manusia adalah tujuan dan faktor kemunculannya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa manusia memuji Allah karena kesadaran diri terhadap nikmat yang ia peroleh atau kebaikan yang ia alami, sedangkan pujian kepada sesama manusia juga bisa disebabkan karena faktor lain seperti ingin naik pangkat, menjilat atau hanya sekedar dusta.
Hubungannya dengan kebaikan dan syukur maka ungkapan pujian atau syukur itu dapat berupa ucapan terima kasih. Kita memang dianjurkan untuk menyampaikan rasa terima kasih baik atas bantuan maupun kebaikan seseorang kepada kita. Dalam sebuah riwayat disebutkan “Barangsiapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) dengan sesama manusia, ia belum bersyukur (berterima kasih) kepada Allah.”
Ketika melontarkan pujian, tidak akan lepas dari menyebut kebaikan apa yang menyebabkan pujian itu. Dalam memuji kebaikan manusia saja kita kadang tidak mampu menghitung kebaikan yang ia berikan, apalagi jika kita memuji Allah, tidak akan mampu terbayang dan terlukiskan. Jalaluddin Rakhmat (2012:94) Dalam berterima kasih kepada seseorang, kita menyebutkan kebaikan orang itu terlalu banyak, kadang-kadang kita mengucapkan, “Saya tidak mampu melukiskan rasa terima kasih saya kepadamu dengan kata-kata.” Atau kita ungkapkan terima kasih kita dengan menyebutkan sifat-sifat baik dari orang yang berbuat baik itu. Anugerah Allah Swt. Tidak terhitung dan sifat-sifat baik-Nya tidak terhingga.
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS. Al-Kahfi [18]: [109].