Dana segar di perbankan memberi ruang ekspansi kredit dengan bunga lebih rendah. Jika diarahkan ke UMKM, sektor ini bisa mendapatkan akses modal yang selama ini terbatas. UMKM yang kuat bukan hanya menyerap tenaga kerja, tetapi juga memperluas basis konsumsi domestik.
- Meningkatkan Konsumsi dan Daya Beli
Dengan kredit lebih longgar, rumah tangga dan pelaku usaha memiliki lebih banyak ruang untuk belanja dan investasi. Efek multiplier ini bisa mendongkrak PDB secara riil.
- Menghidupkan Sektor Riil
Likuiditas yang mengalir bukan hanya memperkuat bank, tapi juga pabrik, toko, pasar, dan rantai pasok domestik. Ekonomi tidak lagi hanya ditopang belanja negara, melainkan benar-benar bergerak di masyarakat.
Risiko: Potensi Bom Waktu
Namun, peluang besar ini datang dengan risiko yang sama besarnya.
- Dana Mengendap atau Salah Sasaran
Jika Rp200 triliun itu hanya "parkir" di instrumen aman seperti obligasi pemerintah atau disalurkan ke kredit korporasi besar, maka rakyat kecil dan UMKM tidak akan merasakan dampaknya.
- Inflasi dan Tekanan Harga
Injeksi likuiditas dalam jumlah masif tanpa pengendalian bisa meningkatkan inflasi. Alih-alih memperkuat daya beli, masyarakat justru terhimpit kenaikan harga barang pokok.
- Moral Hazard Perbankan
Bank bisa tergoda menyalurkan kredit tanpa seleksi ketat karena merasa dilindungi dana pemerintah. Jika ini terjadi, risiko kredit macet meningkat dan bisa menimbulkan instabilitas keuangan baru.
Faktor Penentu: Eksekusi dan Tata Kelola
Kebijakan Rp200 triliun ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi stimulus besar jika eksekusinya tepat, namun bisa berubah menjadi bom waktu jika salah arah. Ada tiga prinsip dasar yang wajib dijaga: targeting yang presisi, pengawasan ketat, dan koordinasi fiskal--moneter. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan memicu inflasi, instabilitas perbankan, dan kekecewaan publik.
Bagaimana Agar Rp200 Triliun Tidak Menjadi Bom Waktu?