GDP Naik, Rakyat Merana: Menakar Jalan Baru Ekonomi Indonesia dari Sumitronomics, Rp200 Triliun, hingga Pergeseran Manajemen Keuangan Negara
Oleh: H. Eggy Aryabhazda Suwandi, S.M., M.M.(c)
Pendahuluan: Ironi Angka dan Realita
Selama lebih dari dua dekade terakhir, data resmi mencatat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia konsisten tumbuh pada kisaran 5%--6% per tahun. Angka ini, di atas kertas, kerap dijadikan bukti bahwa ekonomi nasional relatif stabil, bahkan ketika dunia diguncang krisis global. Namun, di balik stabilitas angka tersebut, kenyataan sosial ekonomi masyarakat menampilkan wajah yang berbeda dan jauh lebih kompleks.
Pertama, tingkat pengangguran terbuka tidak kunjung turun signifikan. Jutaan anak muda baru masuk ke pasar kerja setiap tahun, tetapi penyerapan tenaga kerja formal tidak sebanding. Sebagian besar akhirnya masuk ke sektor informal dengan pendapatan rendah dan rentan, sehingga status "tidak menganggur" secara statistik tidak sama dengan "sejahtera" secara faktual.
Kedua, jurang kaya dan miskin semakin melebar. Rasio Gini Indonesia masih bertahan di kisaran 0,38--0,41 dalam 10 tahun terakhir, yang berarti distribusi pendapatan relatif timpang. Laporan lembaga internasional bahkan mencatat bahwa 1% kelompok terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang semestinya membawa pemerataan justru terkonsentrasi pada segelintir elit ekonomi.
Ketiga, daya beli masyarakat tetap rapuh. Meskipun GDP meningkat, inflasi pangan, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta tekanan pajak membuat banyak keluarga menengah ke bawah kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, ada jarak yang lebar antara "angka pertumbuhan" yang membanggakan dan "kualitas hidup" yang benar-benar dirasakan rakyat sehari-hari.
Fenomena paradoks ini dikenal dalam literatur pembangunan sebagai "growth without equity" --- pertumbuhan tanpa keadilan. Ekonomi boleh tumbuh, grafik boleh menanjak, namun manfaatnya tidak terdistribusi merata. Pertumbuhan menjadi seperti kue yang membesar, tetapi irisan yang diperoleh sebagian besar rakyat tetap tipis, sementara segelintir kalangan mendapat porsi berlebih.
Maka, pertanyaan yang tak terhindarkan muncul: bagaimana jalan baru yang ditawarkan pemerintah Prabowo--Purbaya hari ini untuk memutus siklus ketidakadilan pertumbuhan ini? Apa pelajaran penting dari era sebelumnya --- mulai dari stabilitas ala SBY, pembangunan infrastruktur ala Jokowi, disiplin fiskal ala Sri Mulyani, hingga keberanian korektif ala Purbaya --- yang bisa dijadikan fondasi agar pertumbuhan tidak hanya indah dalam angka, tetapi nyata dalam kehidupan rakyat kecil?
Era SBY 6% vs Era Jokowi 5%: Dua Mesin Pertumbuhan
Era SBY (2004--2014): Pertumbuhan Didukung Likuiditas dan Stabilitas Makro
Selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia mencatat pertumbuhan rata-rata sekitar 6% per tahun. Pertumbuhan ini relatif stabil, bahkan ketika dunia dilanda krisis finansial global 2008--2009, Indonesia masih bisa menjaga ekonomi tetap positif, salah satu yang terbaik di Asia.
Kunci utama mesin pertumbuhan saat itu adalah likuiditas moneter yang longgar dan sehat.
- Pertumbuhan uang beredar (M2) mencapai rata-rata 17% per tahun, yang artinya sistem keuangan berdenyut dengan pasokan dana yang deras.
- Kredit perbankan tumbuh lebih dari 20% per tahun, sehingga sektor swasta, UMKM, dan rumah tangga memiliki akses modal yang relatif mudah.
- Ekonomi domestik didorong oleh konsumsi dan investasi, dengan kontribusi besar dari sektor swasta yang hidup.
Namun, era ini juga punya kelemahan. Fokus pada menjaga stabilitas dan pertumbuhan berbasis konsumsi tidak diimbangi dengan lompatan infrastruktur. Proyek-proyek strategis infrastruktur berjalan, tetapi skalanya jauh lebih kecil dibandingkan era berikutnya. Akibatnya, meski makro stabil, fundasi jangka panjang dalam hal konektivitas, logistik, dan kapasitas industri belum terbangun kuat.
Era Jokowi (2014--2024): Infrastruktur Masif, Swasta Menyempit
Memasuki era Presiden Joko Widodo, narasi pembangunan berubah. Jokowi menjadikan infrastruktur sebagai mesin utama pertumbuhan. Hasilnya terlihat nyata: jalan tol, pelabuhan, bandara, bendungan, dan proyek strategis nasional tumbuh secara masif. Belanja negara menjadi lokomotif pembangunan dengan defisit yang lebih lebar.
Namun di balik megahnya infrastruktur, ada masalah pada mesin moneter:
- Pertumbuhan uang beredar melambat, bahkan sempat stagnan di angka rendah, tidak lagi 2 digit seperti era SBY.
- Kredit bank tidak tumbuh sepesat sebelumnya, sehingga swasta merasa "tertekan".
- Belanja negara memang besar, tetapi efeknya terkonsentrasi pada proyek infrastruktur dan korporasi besar, bukan langsung ke UMKM dan ekonomi rakyat.
Hasilnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5%. Infrastruktur membaik, tetapi daya beli masyarakat dan UMKM relatif stagnan. Dengan kata lain, mesin negara (fiskal) kuat, tetapi mesin swasta (moneter & sektor riil) berjalan lebih lambat.
Membandingkan Dua Mesin Pertumbuhan
- Era SBY mengandalkan moneter longgar dan swasta sebagai motor pertumbuhan. Kuat di stabilitas dan konsumsi, tetapi lemah di infrastruktur jangka panjang.
- Era Jokowi mengandalkan fiskal besar dan pembangunan infrastruktur. Kuat di fisik dan konektivitas, tetapi membuat ruang swasta & UMKM agak terpinggirkan.
Keduanya sama-sama memberi pelajaran berharga: bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya digerakkan oleh satu mesin saja. Jika hanya mengandalkan swasta tanpa infrastruktur, daya saing jangka panjang melemah. Sebaliknya, jika hanya mengandalkan belanja negara tanpa likuiditas untuk rakyat, pertumbuhan terasa "dingin" dan tidak inklusif.
Refleksi
Maka, ketika pemerintahan baru bicara soal target 8% pertumbuhan, tantangan sebenarnya adalah bagaimana menggabungkan keunggulan kedua era ini:
- Likuiditas sehat ala SBY agar swasta dan UMKM hidup.
- Infrastruktur masif ala Jokowi agar daya saing jangka panjang terbentuk.
Hanya dengan dua mesin pertumbuhan berjalan bersamaan, Indonesia bisa melompat dari sekadar 5% menuju pertumbuhan inklusif di atas 6--7%.
Sumitronomics: Warisan yang Diangkat Kembali
Nama Prof. Soemitro Djojohadikusumo tidak bisa dilepaskan dari sejarah ekonomi Indonesia. Sebagai ekonom pembangunan paling berpengaruh di masanya, ia dikenal sebagai perumus strategi industrialisasi nasional sekaligus pengusung gagasan ekonomi kerakyatan. Kini, di era kepemimpinan Presiden Prabowo, pemikirannya kembali diangkat dan diberi label populer: "Sumitronomics."
Tiga Pilar Pemikiran Utama
- Ekonomi Kerakyatan: UMKM dan Koperasi sebagai Fondasi
Soemitro percaya bahwa kekuatan bangsa tidak boleh bertumpu hanya pada segelintir konglomerasi. UMKM dan koperasi harus menjadi tulang punggung ekonomi karena mereka menyerap mayoritas tenaga kerja, dekat dengan masyarakat, dan lebih tahan terhadap krisis. Dengan menghidupkan sektor ini, pertumbuhan tidak hanya terlihat di angka makro, tetapi juga dirasakan hingga ke akar rumput.
- Industrialisasi Nasional: Dari Ekspor Bahan Mentah ke Produk Bernilai Tambah
Kritik Soemitro sejak era 1960-an masih relevan: Indonesia terlalu lama bergantung pada ekspor bahan mentah (komoditas primer seperti minyak, gas, batubara, sawit). Industrialisasi dan hilirisasi harus menjadi strategi agar Indonesia tidak sekadar jadi penyedia bahan baku dunia, melainkan produsen barang bernilai tinggi. Strategi ini diharapkan memperkuat daya saing, menciptakan lapangan kerja formal, dan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi harga global.
- Peran Aktif Negara sebagai Fasilitator
Soemitro menolak ekstremisme ekonomi: terlalu liberal (semua dilepas pasar) maupun terlalu etatis (negara menguasai semua). Baginya, negara harus hadir sebagai fasilitator, regulator, sekaligus katalis pembangunan. Artinya, pemerintah berperan menyediakan infrastruktur, regulasi sehat, dan insentif, namun tetap memberi ruang besar bagi swasta untuk tumbuh. Dengan keseimbangan itu, pembangunan menjadi lebih dinamis sekaligus berkeadilan.
Mengapa Relevan Saat Ini?
Indonesia saat ini menghadapi paradoks: GDP tumbuh, tapi ketimpangan melebar. Model pertumbuhan berbasis konsumsi dan infrastruktur besar belum cukup menyentuh sektor rakyat kecil. Di sinilah Sumitronomics hadir sebagai "jalan ketiga" --- jalan tengah antara disiplin fiskal ketat ala teknokrat dan keberanian injeksi likuiditas ala populis.
Dengan prinsip kerakyatan, industrialisasi, dan peran negara yang seimbang, Sumitronomics diyakini bisa:
- Mengurangi ketergantungan pada utang dan konsumsi jangka pendek.
- Mendorong transformasi struktural dari ekonomi berbasis komoditas ke industri modern.
- Memastikan hasil pertumbuhan lebih inklusif dan dirasakan oleh rakyat banyak.
Refleksi
Jika era SBY menekankan stabilitas makro dan swasta, dan era Jokowi menekankan pembangunan infrastruktur, maka Sumitronomics mencoba menggabungkan keduanya dengan tambahan perspektif keadilan sosial. Konsep ini menjadi relevan sebagai pondasi ideologis untuk mencapai target ambisius pertumbuhan 7--8% yang sekaligus inklusif --- bukan sekadar angka, melainkan kesejahteraan nyata.
Sri Mulyani vs Purbaya: Dua Gaya Manajemen Keuangan Negara
Perbedaan gaya pengelolaan keuangan negara antara Sri Mulyani Indrawati dan Purbaya Yudhi Sadewa begitu mencolok, bukan hanya dari pilihan instrumen kebijakan, tetapi juga dari orientasi dan citra publik yang melekat pada keduanya.
Sri Mulyani dikenal sebagai teknokrat dengan orientasi utama pada disiplin fiskal, kredibilitas global, dan stabilitas makroekonomi. Fokusnya selalu pada menjaga defisit agar tetap terkendali, memastikan utang publik tidak meledak, dan menjaga inflasi serta nilai tukar dalam batas aman. Instrumen yang digunakan pun mencerminkan gaya itu: penguatan pajak, pengendalian defisit, serta transparansi anggaran yang disukai lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, maupun lembaga pemeringkat global. Tak heran, citranya di mata internasional sangat tinggi---bahkan berkali-kali mendapat gelar sebagai salah satu Menteri Keuangan terbaik di dunia. Namun, dari kacamata domestik, banyak kritik bermunculan. Masyarakat menilai kebijakannya terlalu menekankan penerimaan pajak, bahkan saat daya beli rakyat lemah, sehingga muncul narasi "pajak berat, ekonomi lemah." Dengan kata lain, stabilitas makro memang terjaga, tetapi rakyat kecil tidak merasakan manfaat langsung.
Berbeda dengan itu, Purbaya Yudhi Sadewa tampil dengan gaya yang lebih berani, blak-blakan, dan populis. Orientasinya bukan semata pada disiplin angka, tetapi pada bagaimana likuiditas bisa menggerakkan ekonomi domestik dengan cepat. Ia menilai kesalahan kebijakan sebelumnya adalah membiarkan uang negara "nganggur" di bank sentral, sementara rakyat dan UMKM kesulitan mengakses modal. Karena itu, langkah pertamanya adalah menarik Rp200 triliun dari Bank Indonesia untuk dimasukkan ke perbankan, agar bisa disalurkan menjadi kredit produktif bagi masyarakat dan dunia usaha. Pilihan instrumen ini jelas berbeda: bukan sekadar menyeimbangkan defisit, tetapi menyalurkan dana langsung ke sektor riil.
Dari sisi dampak, tentu ada peluang dan risiko. Jika eksekusi tepat, kebijakan Purbaya bisa menjadi stimulus nyata yang dirasakan langsung oleh UMKM dan rakyat kecil. Tetapi jika pengawasan lemah, langkah ini bisa memicu inflasi, moral hazard, atau bahkan menciptakan ketidakstabilan baru. Citra publiknya pun terbelah: ada yang melihatnya sebagai pemimpin pro-rakyat dan berani korektif, namun ada juga yang menilainya kontroversial karena gaya komunikasinya yang sering tajam dan menantang arus besar.
Singkatnya, Sri Mulyani adalah simbol stabilitas dan kredibilitas global, sementara Purbaya hadir sebagai simbol keberanian koreksi dan pertumbuhan domestik cepat. Dua gaya ini mencerminkan dua paradigma berbeda dalam manajemen keuangan negara: satu menekankan tata kelola dan kehati-hatian, yang lain menekankan injeksi likuiditas dan keberpihakan pada sektor riil.
Rp200 Triliun: Taruhan Strategis
Salah satu langkah paling kontroversial dan berani dari Menteri Keuangan baru adalah menarik dana Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) untuk ditempatkan di perbankan nasional. Kebijakan ini langsung menimbulkan perdebatan sengit: sebagian melihatnya sebagai langkah terobosan, sementara yang lain menilainya sebagai kebijakan berisiko tinggi. Tidak berlebihan jika langkah ini disebut sebagai "taruhan strategis" bagi masa depan perekonomian Indonesia.
Peluang: Mesin Ekonomi Baru
Jika dijalankan dengan tepat, kebijakan ini bisa menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi nasional.
- Dorongan bagi UMKM dan Kredit Produktif
Dana segar di perbankan memberi ruang ekspansi kredit dengan bunga lebih rendah. Jika diarahkan ke UMKM, sektor ini bisa mendapatkan akses modal yang selama ini terbatas. UMKM yang kuat bukan hanya menyerap tenaga kerja, tetapi juga memperluas basis konsumsi domestik.
- Meningkatkan Konsumsi dan Daya Beli
Dengan kredit lebih longgar, rumah tangga dan pelaku usaha memiliki lebih banyak ruang untuk belanja dan investasi. Efek multiplier ini bisa mendongkrak PDB secara riil.
- Menghidupkan Sektor Riil
Likuiditas yang mengalir bukan hanya memperkuat bank, tapi juga pabrik, toko, pasar, dan rantai pasok domestik. Ekonomi tidak lagi hanya ditopang belanja negara, melainkan benar-benar bergerak di masyarakat.
Risiko: Potensi Bom Waktu
Namun, peluang besar ini datang dengan risiko yang sama besarnya.
- Dana Mengendap atau Salah Sasaran
Jika Rp200 triliun itu hanya "parkir" di instrumen aman seperti obligasi pemerintah atau disalurkan ke kredit korporasi besar, maka rakyat kecil dan UMKM tidak akan merasakan dampaknya.
- Inflasi dan Tekanan Harga
Injeksi likuiditas dalam jumlah masif tanpa pengendalian bisa meningkatkan inflasi. Alih-alih memperkuat daya beli, masyarakat justru terhimpit kenaikan harga barang pokok.
- Moral Hazard Perbankan
Bank bisa tergoda menyalurkan kredit tanpa seleksi ketat karena merasa dilindungi dana pemerintah. Jika ini terjadi, risiko kredit macet meningkat dan bisa menimbulkan instabilitas keuangan baru.
Faktor Penentu: Eksekusi dan Tata Kelola
Kebijakan Rp200 triliun ibarat pedang bermata dua. Ia bisa menjadi stimulus besar jika eksekusinya tepat, namun bisa berubah menjadi bom waktu jika salah arah. Ada tiga prinsip dasar yang wajib dijaga: targeting yang presisi, pengawasan ketat, dan koordinasi fiskal--moneter. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan memicu inflasi, instabilitas perbankan, dan kekecewaan publik.
Bagaimana Agar Rp200 Triliun Tidak Menjadi Bom Waktu?
Namun, keberanian saja tidak cukup. Dana sebesar Rp200 triliun ini hanya akan membawa manfaat jika dikelola dengan lima kunci utama. Pertama, aliran dana harus tepat sasaran, benar-benar menyentuh UMKM, koperasi, dan sektor produktif kecil-menengah. Kedua, pengawasan harus ekstra ketat dengan sistem lintas lembaga, lengkap dengan transparansi publik agar masyarakat tahu ke mana dana mengalir. Ketiga, harus ada sinkronisasi fiskal dan moneter agar BI menjaga inflasi tetap terkendali sementara belanja negara memperkuat efek multiplier. Keempat, penyaluran dana perlu bertahap dan terukur, tidak sekaligus, agar ekonomi tidak overheating. Kelima, pemanfaatan teknologi digital wajib dijadikan tulang punggung agar distribusi kredit bisa dipantau real-time, transparan, dan bebas dari penyalahgunaan.
Dengan kelima syarat itu, Rp200 triliun bisa menjadi modal sejarah untuk menggerakkan mesin ekonomi baru Indonesia. Pertanyaannya kini tinggal satu: apakah pemerintah mampu memastikan eksekusi presisi dan tata kelola transparan, sehingga pertumbuhan yang indah di atas kertas benar-benar menyentuh kehidupan rakyat kecil?
Menuju Target 8% Prabowo: Ambisi atau Realitas?
Presiden Prabowo Subianto menetapkan target pertumbuhan ekonomi 8% sebagai visi besar pemerintahannya. Angka ini bukan sekadar simbol, melainkan sebuah ambisi besar yang jauh melampaui rata-rata capaian era sebelumnya: sekitar 6% di masa SBY dan 5% di masa Jokowi. Pertanyaan utamanya: apakah target itu realistis, dan apa yang perlu dilakukan agar tidak sekadar menjadi retorika?
Skenario Optimis: Dua Mesin Berjalan Seirama
Dalam skenario optimis, Indonesia mampu menggerakkan dua mesin ekonomi sekaligus: fiskal dan moneter.
- Fiskal: belanja negara tidak hanya fokus pada proyek raksasa, tetapi juga diarahkan pada program inklusif yang mendorong konsumsi rumah tangga dan pemberdayaan UMKM.
- Moneter: kebijakan Rp200 triliun berjalan efektif, kredit murah mengalir ke UMKM, industri manufaktur, dan sektor produktif.
- Struktural: hilirisasi industri berhasil mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, menciptakan lapangan kerja formal, dan menambah nilai tambah ekonomi.
Jika kombinasi ini berjalan, Indonesia berpotensi mencapai pertumbuhan 6,5--7%, mendekati target ambisius 8%. Namun, ini mensyaratkan tata kelola yang disiplin, koordinasi kebijakan yang presisi, serta pengawasan yang kuat agar kebijakan pro-UMKM benar-benar tepat sasaran.
Skenario Moderat: Tanpa Reformasi, Jalan di Tempat
Dalam skenario moderat, pemerintah melanjutkan pola lama: fiskal besar melalui infrastruktur, sementara moneter tetap kaku dan tidak efektif menjangkau rakyat kecil. Reformasi struktural --- seperti perbaikan iklim investasi, simplifikasi regulasi, dan penguatan UMKM --- berjalan lambat.
- UMKM tetap sulit naik kelas karena hambatan permodalan dan birokrasi.
- Industri hilirisasi tidak berkembang optimal karena lemahnya insentif dan kurangnya SDM terampil.
- Pertumbuhan hanya ditopang oleh konsumsi domestik biasa dan ekspor komoditas tradisional.
Dalam kondisi seperti ini, pertumbuhan realistis hanya 5,5--6%, angka yang hampir sama dengan dekade sebelumnya. Artinya, target 8% hanya akan menjadi mimpi yang tidak tercapai.
Skenario Pesimis: Bom Waktu Ekonomi
Skenario pesimis muncul jika kebijakan Rp200 triliun salah arah.
- Dana hanya mengendap di bank atau masuk ke kredit korporasi besar, sementara UMKM tetap terpinggirkan.
- Likuiditas yang terlalu deras tanpa pengawasan memicu inflasi tinggi, harga-harga melambung, dan daya beli rakyat melemah.
- Kepercayaan pasar menurun, investor asing menarik modal, dan nilai tukar rupiah tertekan.
Dalam situasi ini, bukannya melonjak, pertumbuhan justru stagnan di 4--5% atau bahkan lebih rendah, kembali ke jebakan pertumbuhan rendah yang dialami banyak negara berkembang.
Refleksi Kritis
Target 8% Prabowo adalah ambisi besar sekaligus ujian berat. Ia bisa menjadi pencapaian monumental jika dikelola dengan strategi yang tepat: menggabungkan disiplin fiskal, keberanian moneter, serta filosofi inklusif ala Sumitronomics. Namun, jika tata kelola longgar dan kebijakan salah sasaran, target itu bisa berubah menjadi beban politik dan ekonomi.
Dengan demikian, pertanyaan sebenarnya bukan "bisa atau tidak 8% tercapai," melainkan "apakah pertumbuhan 8% itu benar-benar akan inklusif, dirasakan rakyat, dan berkelanjutan?". Karena pada akhirnya, keberhasilan pembangunan bukan sekadar angka di kertas, melainkan perubahan nyata dalam kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan: Pertumbuhan untuk Siapa?
Indonesia saat ini berada di sebuah persimpangan sejarah penting. Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi memang konsisten, tetapi pertanyaan mendasarnya selalu sama: apakah pertumbuhan itu sekadar angka di atas kertas, atau benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil dalam kehidupan sehari-hari?
Sejarah ekonomi Indonesia memberikan pelajaran berharga yang tidak boleh diabaikan:
- Dari Habibie, kita belajar bagaimana stabilisasi moneter dan kepercayaan publik dapat menguatkan rupiah yang terpuruk, membuktikan bahwa kecepatan dan keberanian bertindak bisa menyelamatkan bangsa dari krisis.
- Dari SBY, kita belajar tentang pentingnya likuiditas dan peran sektor swasta sebagai mesin pertumbuhan, yang mampu menjaga stabilitas bahkan saat krisis global 2008 mengguncang.
- Dari Jokowi, kita belajar tentang infrastruktur masif sebagai investasi jangka panjang, membangun konektivitas dan daya saing nasional, meski kadang mengorbankan ruang bagi swasta dan UMKM.
- Dari Sri Mulyani, kita belajar tentang disiplin fiskal dan kredibilitas global, yang menjaga kepercayaan investor internasional, walaupun terasa berat bagi rakyat karena tekanan pajak dan penghematan yang ketat.
- Dari Purbaya, kita melihat keberanian koreksi: tidak takut menyebut kesalahan masa lalu, dan berani mengalirkan dana Rp200 triliun untuk menghidupkan sektor riil, meski penuh risiko.
Kini, di bawah narasi Sumitronomics, bangsa ini mencoba menggabungkan berbagai pelajaran tersebut ke dalam satu sintesis: ekonomi yang kuat, inklusif, dan berkeadilan. Rp200 triliun menjadi simbol sekaligus ujian. Apakah ia akan menjadi mesin pertumbuhan baru yang mendorong UMKM, industri hilirisasi, dan daya beli rakyat? Atau justru menjadi bom waktu jika salah kelola dan salah sasaran?
Jawabannya sepenuhnya bergantung pada eksekusi dan tata kelola: sejauh mana pemerintah mampu memastikan kebijakan dijalankan dengan presisi, transparansi, dan keberpihakan nyata pada rakyat kecil. Karena pada akhirnya, pembangunan sejati bukanlah ketika GDP naik 8% atau 10%, tetapi ketika jurang kaya-miskin mengecil, pengangguran berkurang, dan keluarga Indonesia bisa hidup dengan layak serta bermartabat.
Maka, pertumbuhan ekonomi yang kita kejar hari ini tidak boleh berhenti pada kebanggaan statistik, melainkan harus menjelma menjadi pertumbuhan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan --- pertumbuhan untuk semua, bukan hanya untuk segelintir kalangan.
H. Eggy Aryabhazda Suwandi, S.M., M.M.(c)
Penulis, praktisi manajemen, dosen, dan pengamat kebijakan ekonomi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI