Di Rimba Raya yang permai, tempat pepohonan menjulang tinggi menembus langit, hiduplah berbagai jenis satwa. Ada Kancil yang cerdik, Beruang yang perkasa, dan Elang yang selalu mengamati dari ketinggian. Pemimpin Rimba Raya itu adalah seekor Harimau tua yang disegani, yang terpilih setelah mengaumkan janji-janji manis tentang padang rumput hijau dan sungai jernih yang tak akan pernah kering.
Salah satu penduduk Rimba Raya adalah seekor Tikus Hutan yang naif. Ia dikenal karena kesetiaannya yang buta pada Harimau. Si Tikus selalu percaya, Harimau adalah satu-satunya yang bisa membawa kesejahteraan bagi koloni tikus dan seluruh penghuni hutan. "Lihatlah giginya yang kuat," bisiknya pada teman-teman sesama Tikus, "Ia akan mengunyah semua masalah kita!"
Namun, tak lama setelah Sang Harimau bertahta, Rimba Raya mulai berubah. Pohon-pohon besar yang menjadi tempat berlindung para kera dan tupai, perlahan mulai terkikis dari akarnya. Bukan oleh badai, tapi oleh gerombolan Babi Hutan yang ditugaskan Sang Harimau untuk mencari "ladang baru" di balik pepohonan. Babi-babi itu menggali dan merusak akar pohon hingga akarnya tak lagi kuat menahan beban, dan akhirnya pohon-pohon itu tumbang. Gemuruh jatuhnya pohon terdengar setiap hari, memecah kesunyian yang dulu sakral.
Si Tikus awalnya tidak peduli. "Ini pasti demi kemajuan," pikirnya. "Pasti ada rencana besar di balik ini semua."
Suatu senja, sekelompok Kancil dan Rusa muda yang gelisah berkumpul di tepi sungai yang airnya mulai keruh. Mereka tak lagi bisa meminum air sejernih dulu. Bunga-bunga di pinggir sungai layu, ikan-ikan kecil mulai mengambang. Mereka mulai bersuara, mengeluhkan janji-janji Sang Harimau yang tak terpenuhi. "Sungai kita sakit!" Teriak seekor Kancil. "Benar! Padang rumput kita juga sekarang kering!" Seru Rusa muda yang lain.
Suara-suara ini menarik perhatian Banteng-Banteng penjaga Rimba. Dengan tanduk yang tajam dan tubuh yang kekar, mereka segera mengepung para Kancil dan Rusa. "Diam kalian semua! Jangan mengganggu ketenangan Rimba!" Gertak salah satu Banteng. Beberapa Kancil kecil yang berusaha menyelamatkan diri, terinjak oleh Banteng-Banteng yang terlalu bersemangat.
Si Tikus, dari balik semak-semak, menyaksikan semua itu. Jantungnya berdebar kencang. Ia ingin percaya bahwa Banteng-Banteng itu hanya menjalankan tugas, bahwa para Kancil dan Rusa itu "nakal". Tapi pemandangan seekor Rusa muda yang tergeletak lemas di tanah, dengan mata sayu memandang langit, membuat keyakinannya goyah.
"Mereka pasti provokator," bisik Si Tikus pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya. Tapi suara batinnya terasa hampa. Ia teringat janji Sang Harimau tentang perlindungan dan keadilan. Kini, yang ia lihat hanyalah kekuatan yang menindas.
Malam harinya, Si Tikus mendengar nyanyian Burung Hantu dari dahan pohon beringin tua. Suaranya melankolis, penuh duka. Konon, Burung Hantu hanya bernyanyi ketika ada ketidakadilan besar di Rimba Raya. Nyanyian itu seolah membisikkan kisah tentang anak-anak tikus yang kelaparan karena ladang yang dijanjikan tak kunjung subur, tentang sungai yang tercemar oleh limbah "kemajuan", dan tentang suara-suara kecil yang dibungkam paksa.
Si Tikus lalu merasakan sesuatu yang aneh. Bukan lagi kasihan pada Sang Harimau yang "disudutkan" atas kekacauan yang terjadi Di Rimba. Melainkan rasa perih yang menjalar di dadanya, seperti duri-duri tajam yang menusuk ke dalam. Ia teringat janji-janji muluk yang ia dengar, yang ia percaya mati-matian. Janji itu kini terasa seperti fatamorgana di tengah padang yang gersang.