Hidup macam apa yang diinginkan dari sastra? Kita mendapatkan jawaban yang terbang, berada di luar sana tanpa dapat diperkirakan akan terjadi di dunia ini. Pemakluman adalah satu sikap yang perlu diambil untuk menyingkirkan prasangka aneh terhadap orang, namun itu masih satu model yang akan sampai batasnya pada suatu waktu.
Saya sendiri adalah mahasiswa yang menempuh studi jurusan bahasa dan sastra. Di dunia ini, hampir tiada batas yang dapat diberikan terhadapnya, apakah sastra menurut bangsa atau dari negara tertentu.
Satu peristiwa terjadi manakala saya sedang mengikuti perkuliahaan Kewirausahaan. Tidak asing bahwa mata kuliah ini mempunyai pembahasan tentang dunia bisnis yang lebih terfokus. Apa yang terjadi? Tentu dengan seisi ruangan adalah mahasiswa sastra, dunia sukses yang dibayangkan itu ada di sana. Itu yang barangkali sering membenturkan pemahaman antara pengajar dan mahasiswa dalam menyatukan definisi yang universal.
Perbedaan itu terasa benar-benar, terlebih mata kuliah ini mau tidak mau harus menyentuh makna manusia terhadap dunia. Ambil contoh, ketika sebagian besar orang memberikan definisi sukses adalah manusia yang terampil, ia mampu menjadi pengusaha, tuan atas orang lain atau dirinya sendiri. Ada perluasan lagi, pengusaha semacam apa? Tentu semua pangkal sebelum itu terjadi diawali dari mimpi. Benar bahwa kita akan bermimpi besar, namun siapa yang dapat memastikan mimpi seseorang.
Di titik inilah perdebatan menjadi ‘menjengkelkan’. Sudah dapat terbayangkan, mimpi apa yang disampaikan salah seorang mahasiswa di antara kami? Gembala sapi, pangeran berkuda, atau atlet sepak bola? Tidak mungkin seseorang diajarkan untuk bermimpi akan sesuatu. Sedari awalnya manusia memang memulai dari kehendaknya, berupa mimpi yang tidak disadarinya sedang bermain-main di dalam hidupnya.
Kita akan mendapat penjelasan yang lebih banyak dari eksistensialisme yang disampaikan oleh Jean-Paul Sartre. Siapa manusia itu dan apa yang dilakukannya? Itulah pertanyaan awal memulai eksistensialisme. Eksistensi mendahului esensi, dalam arti yang lebih lanjut manusia adalah manusia masa depan. Kita pada hari ini adalah apa yang sedang kita kehendaki pada masa depan tanpa peduli seberapa dekat atau jauh proyeksi masa depan itu. Itulah mengapa ia menyebut eksistensi pertama-tama, lalu esensi yang terakhir.
Bayangkan saja, ada seseorang ingin menjadi tentara. Itu yang dibayangkannya dan selanjutnya adalah langkah yang mesti diambilnya. Sampai pada pengandaian ini ada titik temu dari eksistensialisme kepada mata kuliah Kewirausahaan. Sejauh yang saya dapatkan dari teman-teman sejawat yang telah menyelesaikan mata kuliah ini, memang benar bahwa mahasiswa akan diajak bermimpi. Sampai mana mimpi itu, apakah mimpi sebagai mimpi atau memang bisa diwujudkan kira-kira?
Sekiranya pula pengajar mata kuliah yang menggeluti bisnis mau berdamai, tiada mungkin ia mesti memberi penghakiman yang serius atas mimpi seseorang. Sebagian dari kita mungkin akan berpikir demikian, diajak bermimpi besar namun harus mengandaikan mimpi itu dari realitas yang sekarang terjadi.
Semisalnya saja ada seseorang yang bermimpi ingin menjadi seorang penjaga parkir. Penghakiman semilir akan ditujukan kepada orang tersebut, bodoh sekali mau bermimpi seperti itu. Proyeksi masa depan yang justru akan menambah beban negara ke depannya ketimbang membangun negeri. Kita andaikan ia telah gagal mencapai hidup yang sempurna, ideal menurut banyak orang. Namun, hal apa yang membuat kita menyimpulkan demikian?
Sungguh terdengar tidak masuk akal bahwa ada orang yang menginginkan demikian karena ia memang mencintai keramaian jalanan, dapat menyaksikan dan menilai sebuah kendaraan lebih dekat dan pada malam hari ia akan mendapatklan kembali sebuah ketenangan dari tebaran warna lampu dan cahaya bintang di atas langit. Bagaimanapun ia yang bermimpi tentu menghadapi dunia dengan act yang sepenuhnya harus ia tanggungjawabkan terhadap dirinya dan orang di sekitarnya.
Perhatian yang lebih diberikan ketika ada rentang yang sangat jauh antara keinginan dan hasil yang diterima oleh manusia itu sendiri. Sadarkah kita seandainya ada yang bermimpi menjadi pengusaha mobil, nyatanya berujung pada pengusaha motor? Ada persamaan bahwa orang tersebut sudah mencapai cita-citanya sebagai pengusaha, entah apa pun usaha yang digelutinya. Namun, siapa yang merasakan hasil itu?