Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembali ke Jakarta, Kesunyian di Jatinegara

21 Juni 2021   05:04 Diperbarui: 21 Juni 2021   06:37 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di luar stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, 17 Juni 2021. (Dok. Pribadi/Efrem Siregar)

Lelaki itu memegang bungkus plastik di tangannya, bergerak untuk mencari penjual rokok keliling. Pagi hari di depan stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, pandangannya mengintai ke setiap penjuru, mengelilingi kawasan yang terangnya ditiupkan matahari pagi. 

Di atas pedestrian, pencariannya disertai kebimbangan. Tidak seorangpun. Dengan suara yang samar-samar berbunyi dari rongga mulut, ia mulai memperlihatkan kekesalan.

Kemudian lelaki itu duduk di tepi bangku panjang pedagang minuman gerobak. Segelas teh manis hangat diteguknya namun sama sekali tidak menghentikan getar bibirnya untuk terus berkomat-kamit. Ia benar-benar merasa kehilangan aroma pagi.

"Bang, ada rokok sebatang bisa saya beli?" ucapnya kepada saya setelah tidak juga menemukan rokok dari pedagang tersebut.

Kami berpapasan ketika saya menyelesaikan sarapan pagi mie instan rebus dengan imbas: rasa asin yang menggulung lidah. 

Sebatang rokok menjadi penutup. Asap tembakau menimpa rasa asin itu dan karena bumbungan serta aroma mewangi cengkeh menebar ke udara, si lelaki terpanggil untuk menghampiri saya.

Dari tangannya, dia menyodorkan lembaran 2000 rupiah yang lusuh dan terlipat. Saya memberikan sebatang rokok secara cuma-cuma dan menolak menerima uang. 

Dia memaksa untuk membayar, memamerkan lembar uang ke hadapan saya dan mencoba menjatuhkannya ke dalam kantong kemeja tetapi saya merasa itu percuma. Saya telah memutuskan dan dia harus menerima.

Setelah tegukan asap menggaruk tenggorokannya, lelaki itu menemukan kedamaian yang mengubah suasana hati. 

Dia pecandu berat dan mengaku mampu menghabiskan rata-rata 3-4 bungkus rokok per hari dengan syarat bahwa pendapatan harian setara total harga rokok. Dengan kata lain, pendapatan bersih minimum yang harus dikumpulkannya Rp100.000 per hari. Tetapi, dia adalah penjaga parkir yang membuat perkiraan tersebut tidak cukup masuk akal untuk dibagi memenuhi kebutuhan perut.

Kecanduan memiliki alasan lain yang membangkitkan gairah. Untuk itulah si lelaki bisa bersikap tenang dalam menghadapi kesulitan. Kenyataan pandemi corona telah mengganggu sumber pendapatannya, membuat Jatinegara terlihat sepi dari keadaan sebelumnya. 

Tempat ini adalah stasiun transit menuju Bogor di bagian selatan dan Jakarta Kota di bagian utara, di seberang bermukim para pedagang menjajakan bermacam kebutuhan. 

Akan tetapi, gambaran yang tadi disebutkan tidak tepat untuk menjelaskan keadaan saat ini. Pasar hanya rupa tanpa dihiasi kepadatan dan kesunyian. 

Suasana stasiun Jatinegara, 17 Juni 2021. (Dok. Pribadi/Efrem Siregar)
Suasana stasiun Jatinegara, 17 Juni 2021. (Dok. Pribadi/Efrem Siregar)

Lelaki itu menghabiskan waktu lebih lama untuk menikmati teh sembari pelan-pelan menyedot masuk asap tembakau sebab tidak banyak kendaraan terparkir di pinggir jalan untuk diaturnya.

Dari dalam stasiun, suasana sama senyapnya, orang-orang bisa berdiri longgar saat memasuki jam masuk perkantoran. Satu tahun berlalu sejak saya meninggalkan Jakarta. 

Kamis, 17 Juni 2021, Jatinegara yang biasa dipadati penumpang berbeda pada penampakan di hari itu. Sekilas, suasana ini kontras dibandingkan cerita-cerita warganet yang mengeluhkan kerumunan. Jatinegara mungkin menjadi salah satu sudut kota yang diperkecualikan dari narasi, mungkin juga kesunyian ini terjadi kebetulan.

Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, 17 Juni 2021. (Dok. Pribadi/Efrem Siregar)
Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, 17 Juni 2021. (Dok. Pribadi/Efrem Siregar)

Ketika saya menanyakan kekhawatiran Covid-19 kepada lelaki itu, dia tidak terlalu antusias untuk menjawab. Seperti biasa, ia tampak hendak berkata demikian, terbiasa selama setahun menyaksikan berkurangnya lalu-lalang. 

Dia hanya tertarik untuk menceritakan masa lalu ketika ia mengaku pernah mengikuti sejumlah aksi semasa Orde Baru. "Adian Napitupulu, Johnson Panjaitan, saya kenal mereka," katanya dengan logat khas Melayu mengingat asalnya dari Sumatera Utara.

Cerita darinya semula terasa sulit untuk mudah dipercayai karena keterbatasan pengetahuan saya untuk mengkonfirmasi. Tetapi, apa yang ia sampaikan bisa berguna sebagai petunjuk untuk menyusun puing-puing peristiwa di masa lalu secara terhubung. "Apa Abang dulu ikut Forkot?" Dijawabnya, "Ya, saya hanya ikut-ikutan. Dulu saya juga sering berkumpul di WALHI Tegal Parang."

Masa lalu itu berkesan baginya, membuatnya berapi-api untuk bercerita ditambah asupan rokok yang terus mengalir ke dalam badan. Ia memiliki bab demi bab yang ingin disampaikan hingga panas matahari keluar dari balik awan mendung sebagai alasan kami berpisah. 

Cerita itu berlalu cepat disambar ingatan dari berita-berita terbaru bahwa kenaikan jumlah kasus terinfeksi di Jakarta mengalami peningkatan tajam dalam beberapa hari terakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun