Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Gemas Wacana Industri 4.0 dan Big Data tapi Wajib Fotokopi E-KTP

5 Maret 2021   02:18 Diperbarui: 5 Maret 2021   06:15 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengguna komputer. (Foto oleh cottonbro dari Pexels)

Pemerintah gencar mempromosikan industri 4.0. Sebelum pandemi, Kementerian Perindustrian telah membuat peta jalan Making Indonesia 4.0. Diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat menggenjot naik di kisaran 6-7 persen--sebelum pandemi pertumbuhan ekonomi RI berada di kisaran 5 persen.

Ada 5 industri prioritas di dalam peta jalan ini, di antaranya makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan elektonik.

Soal Industri 4.0, ada perbedaan tanggapan bagi sejumlah kalangan. Tahun 2019, saya sewaktu berprofesi sebagai wartawan sempat menerima obrolan singkat dari Wakil Ketua Kadin Indonesia bidang Perindustrian, Johnny Darmawan. 

Ia mengatakan setuju pada konsep Industri 4.0 dengan memberi catatan yang harus diperhatikan. Tantangan daya saing dan produktivitas tenaga kerja Indonesia. Laporan itu tidak ditayangkan media saya, tetapi penjabarannya dapat dibaca dalam laporan Kontan.co.id. 

Di lain kesempatan, dia bilang, menggeser produksi menggunakan tenaga robotisasi atau otomatisasi bukan sesuatu yang mudah. Meski terdengar seksi, hitung-hitungan dan implementasinya tidak seideal kenyataan di dalam kepala. Selengkapnya dapat dibaca dalam laporan CNBC Indonesia. 

Hasilnya memang tidak sekejap terlihat melainkan bertahap sampai 2030. Saat itu tantangan yang dihadapi masih seputar ketidakpastian akibat perang dagang AS-China. Sekarang, pandemi Covid-19 yang melanda banyak negara di dunia menjadi tantangan yang benar-benar mematikan.

Perdebatan big data

Pembahasan Industri 4.0 hari ini menjadi viral di Twitter. Big data menempati kolom trending topic. Pangkal persoalan dapat merujuk pada adu argumen antara Budiman Sudjatmiko, pendiri Inovator 4.0, dan sejumlah pegiat teknologi informasi.

Budiman semula dalam cuitannya menuliskan pembedaan perusuh dan aktivis yang dibedakan atas perlawanan terhadap konseptual dan identitas diri. Dia menjelaskan, tidak ada yang meminta dilahirkan jadi suku apapun. Tetapi, anggota suku apapun berhak atas penghidupan yang layak.

"Kita perjuangkan itu sama-sama. Metodenya? Kita diskusikan sesuai tuntutan zaman."*

"Pilihannya? UU Otonomi Daerah. Jika kurang merata, dikerucutkan lagi jadi @UUDesa. Masih kurang? Kita rumuskan UBI (Universal Basic Income). Saling melengkapi semuanya."

"Syaratnya? Berjuanglah dengan ilmu dan organisasi."

"Mengurai problem Indonesia dan membenahinya butuh ilmu. Dan ilmu terus berkembang. Yg berkembang di China, India, AS dan Eropa memengaruhi kita. Bisa nggak kita balik memengaruhi mereka untuk dunia yang maju dan adil? Ngaduk-ngaduk emosi sih gampang. Menyembuhkan lukanya susah."

"Indonesia itu Big Data. Untuk membenahinya butuh Sains Data. Ia menopang #KecerdasanBuatan dan butuh #RangkaiData (Blockchain). Sains Data basisnya 3V: Volume (ukuran), Variety (keanekaragaman hayati dan sosial) dan Velocity (kecepatan dan arah) Indonesia. Jawablah!"

Penjelasan data raksasa ini menarik perhatian praktisi teknologi informasi Ainun Najib. Ia memberikan tanggapan ke kolom komentar cuitan Budiman Sudjatmiko.

"Nggak faham mas Bud."

"Pada bagian yang mana kamu nggak paham?"

"Konteks peletakan 'big data', 'data science' di sini; kalau konteksnya pembenahan negara, yang lebih penting dan urgent itu Master Data (accurate, specific) bukan 'big data' (estimate, massive); 3V (atau 5V dst) itu kerangkanya "big data" bukan "data science", pun bukan 'basis'."

Ainun Najib yang juga penggagas website KawalCOVID19 kemudian melanjutkan jabaran mengenai big data dalam utasan terbarunya.
Menurutnya, big data hanya buzzword, istilah yang dibesar-besarkan.

"Big data hanyalah buzzword. Maret 2016, tepat 5 tahun lalu, saya bikin slides tentang 'Big Data' yang intinya saya bilang: 'Big Data' itu hanyalah buzzword, hanyalah hype, hanyalah istilah yang dibesar-besarkan sementara banyak yang tidak benar-benar faham dan perlu diluruskan."

"Yang benar, penting, esensial, adalah kemampuan mengambil keputusan yang terbaik -- baik oleh manusia (data science for human decision makers) dan oleh mesin (automation+AI/ML engineering). Most of the time tidak perlu 'big data', cukup 'small data'. 270 juta records itu small data."

"Permasalahan data di (bendera Merah Putih) dalam konteks ketatanegaraan, administrasi negara, kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat, yang urgent dan important itu membenahi Master Data Nasional: Data akurat dan spesifik per individu rakyat, bukan estimasi statistik ala 'big data'. Slidenya @KangSantabrata."

"Di salah satu sesi Clubhouse tengah malam, saya sempat mengoreksi kang @ridwankamil. Ketika beliau bilang 'perlu big data' sambil menceritakan masalah data yang tidak sinkron dan tidak akurat di sana sini. Saya koreksi, 'punten kang, itu master data bukan big data'."

"Mudahnya begini membedakannya. Master Data: Ainun seorang laki-laki karena ada data akta kelahirannya yang sinkron dengan data ijazah-ijazahnya, eKTP hingga paspornya yang jelas dia laki-laki sejak lahir. Juga tidak ada data medis update jenis kelaminnya sampai kini."

"Ainun kemungkinan besar laki-laki dengan skor probabilitas 0.87 karena dari 10,000 fotonya di media sosial, 90% pakai peci, 80% kelihatan kumisnya, dsb (prediktor laki-laki) dan 0% pakai lipstik, 0% pakai rok, dan nama 'Ainun' mayoritas perempuan, dsb (prediktor wanita).

Selengkapnya, pembaca dapat menyusuri percakapan melalui lini masa Twitter. Banyak pengguna Twitter menggunjing big data dan Industri 4.0 seakan meluapkan kekesalan yang tertumpuk selama ini.

Keadaan yang berlawanan

Pada praktiknya, ide besar Industri 4.0 seolah tidak mencerminkan dalam kenyataan yang dihadapi masyarakat. Misalnya untuk urusan administratif, warga masih disibukkan untuk memfotokopi E-KTP dan berkas lainnya. 

Lalu, masyarakat sering mendapati banyaknya pesan singkat penawaran pinjaman uang masuk ke ponsel tanpa tahu siapa pengirim dan bagaimana nomor ponsel mereka dapat tersebar.

"Dari dulu ngomong 'Big Data Big Data' tapi sampai sekarang kalau urus birokrasi masih harus fotokopi E-KTP. Fungsinya E di E-KTP itu apa coba?" balas pengguna di kolom cuitan Budiman.

"Big data = ngurus apa-apa jangan lupa lampirkan fotokopi ktp/kk/kartu-kartu segala rupa," tulis pengguna lainnya. Pembaca dapat menyimak lebih banyak perbincangan ini di Twitter dengan mengetikkan big data pada kolom pencarian.

Contoh kecil semacam ini memperlihatkan tanda tanya besar, konsep 4.0 selama ini didengungkan, sementara masyarakat masih meladeni layanan yang tidak mengarah pada Industri 4.0. Baru-baru ini, muncul lagi gagasan Industri 5.0 yang mengedepankan nilai tambah dari kepuasan. 

Jika melihat percakapan, persoalan bukan sekadar membedakan definisi master data atau big data, melainkan implementasi dan manfaat yang nyata diterima masyarakat.

Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, pengusaha ternyata mencoba menjaga jarak supaya bisa melihat persoalan ekonomi dengan jernih. Masalah Industri 4.0 sangat fundamental, yaitu menyiapkan sumber daya manusia handal yang berujung pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Kerangka berpikir untuk membahas Industri 4.0 mesti menjurus pada masalah keekonomian. Di samping itu, ada kekuasaan yang ingin dipertahankan.  

Saya bukan ahli atau praktisi langsung yang menyediakan kecerdasan buatan, IoT, dan sebagainya. Saya mencoba membatasi sejauh ingatan dan pengetahuan saya.

Pada dasarnya, fakta yang harus diakui, sejumlah lembaga dan kementerian saat ini masih berjibaku untuk menyediakan satu data, sebagaimana dikemukakan Ainun adalah master data.

Beberapa di antaranya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial untuk penerima bantuan sosial yang menjadi tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah. Kemudian, data pertanian yang merupakan basis penting untuk pengalokasian pupuk subsidi dan keputusan untuk menentukan impor pangan atau tidak.

Meski demikian, data raksasa atau big data merupakan sesuatu yang penting. Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum dalam buknya Revolusi Digital Keempat (2019) menuliskan bahwa penggunaan data raksasa dengan otomatisasi program akan membuat keputusan menjadi lebih baik dan cepat dalam rentang industri dan aplikasi yang luas.

Kuncinya adalah kepercayaan pada data dan algoritma. Namun, penggunaan data raksasa secara bersamaan bisa memberikan risiko yang harus dipikirkan. Sejumlah isu yang harus ditanggapi adalah masalah privasi, hilangnya pekerjaan, bagaimana mempercayai data, perang algoritma, siapa yang memiliki data.

Schwab melihat pergeseran struktur kekuasaan pemerintah menjadi model persaingan mengikuti perubahan yang dihadirkan lembaga non-pemerintah. Dorongannya adalah efektivitas dan transparansi.

Data raksasa merangkum hingga hal mendetil sebagai profiling. Keterbukaan dibutuhkan. Di sini polemiknya. Tanpa membedakan jabatan dan posisi orang tersebut, risiko keamanan dan privasi menjadi perhatian bersama dalam data raksasa. 

Laman CareerFoundry menuliskan bahwa semakin banyak data dikumpulkan organisasi, semakin mahal dan sulit untuk disimpan secara aman. Mereka mengutip laporan Risk-Based Security Mid-Year Data Breach yang mengungkap 4,1 juta records sebagai pelanggaran data dalam paruh pertama tahun 2019.

Baca juga: Luddite Fallacy, Takut Mata Pencarian Hilang karena Makin Canggihnya Teknologi

Di satu sisi data raksasa memberikan manfaat, namun ada celah untuk disalahgunakan. Jadi, euforia ini memang memiliki tantangan klasik yang bukan semata karena kesenjangan antara generasi boomer dan millenial. Saya sendiri punya teman kalangan millenial, tetapi wataknya tetap berlagak boomer.

Sebelum jauh ke sana, isunya tetap bagaimana data akurat yang berlaku bersama untuk lintas sektor harus tersedia lebih dahulu, menyelesaikan hal-hal kecil seperti spam yang merisaukan masyarakat, keterbukaan dan transparansi, penegakkan aturan yang adil, memperbaiki layanan publik secara efektif dan efisien. Tonggak keberhasilannya selalu tercermin dari kinerja pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun