Karena itu, dalam setahun terakhir, kita kerap mendapati bahwa pandemi Covid-19 membawa orang pada pilihan sulit. Apa yang baik untuk kesehatan, belum tentu menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya, apa yang menguntungkan secara ekonomi, belum tentu baik untuk kesehatan masyarakat.
Untuk keluar dari kebingungan yang ada, sekarang, kita meyakini bahwa penanganan pandemi Covid-19 harus mengedepankan sains dalam semangat keterbukaan.Â
Lazimnya dalam penelitian, segala hal dipertanyakan untuk menguji suatu kebenaran supaya tidak mengulangi kembali kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Di sini, kita yang duduk sebagai awam dalam rumpun ilmu kesehatan sebenarnya meraba-raba tentang vaksin Nusantara. Kita butuh pengetahuan untuk menghapus samar-samar tersebut.Â
Pengetahuan itu dapat ditemukan melalui dialektika. Karena itu, harus ada kritik dari ahli sebidang dan terkait.Â
Salah satu kritik terhadap pengembangan vaksin Nusantara telah dikemukakan doktor molekuler dan biologi seluler, Ines Atmosukarto, dalam wawancaranya bersama Kumparan.com.
Namun, yang tidak kalah menggelitik ialah tidak sedikit di antara para pengguna Twitter menyoroti pengembangan vaksin ini secara personal, membandingkan kinerja dr Terawan dan pejabat sebelumnya seperti Susi Pudjiastuti, mantan menteri Kelautan dan Perikanan karena alasan yang tidak jelas landasannya.
Ini sesuatu yang tidak perlu dan tidak nyambung untuk diperbandingkan. Euforia berlebihan semacam ini dikhawatirkan berpotensi memicu polarisasi lebih lebar.Â
Ujung-ujungnya, timbul rasa kurang respect orang-orang sampai akhirnya kita bingung untuk mengetahui apa yang salah selama ini.Â
Tiap pejabat memiliki kekurangan, seperti Dokter Terawan semasa menjabat Menteri Kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19.Â
Tidak ada manusia sempurna. Kita yang hidup saat ini mencari kedekatan pada kebenaran. Ada orang yang menempuh jalan mencari kebenaran dengan membuat ruang ketidakpercayaan dan menjaga jarak terhadap kekuasaan.