Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ironi Larangan Minuman Beralkohol di AS: Konsumsi Tidak Turun, Pejabat Jadi Korup

13 November 2020   23:35 Diperbarui: 13 November 2020   23:39 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bir. (Foto: Pixabay/Simon Delacre)

DPR RI membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol. Ada polemik dalam RUU tersebut karena isinya memuat larangan untuk memproduksi, menyimpan, memasukkan, menjual dan mengonsumsi minuman beralkohol, Jumat (13/11/2020).

Perdebatan muncul, baik dari sudut pandang agama dan budaya dan norma lainnya. Percakapan itu menjadikan UU Larangan Minuman Beralkohol bertengger di trending topic Twitter. 

Meski kontroversi, ternyata larangan minuman beralkohol bukan barang baru di dunia.

Awal abad ke-20, Amerika Serikat pernah memberlakukan larangan minuman beralkohol ini atau dikenal sebagai prohibition.  

Meniliki ke sejarahnya, kehadiran minuman beralkohol di Amerika berhubungan erat dengan kedatangan orang-orang Eropa. Misalnya, imigran Skotlandia-Irlandia, memperkenalkan tradisi pembuatan wiski pada abad-18.

Bagi orang Eropa sendiri, miras sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Pengaruh itu diteruskan sampai ke Amerika Serikat masa kolonial. 

Miras dianggap dapat memberikan kekuatan. Alkohol memang memabukkan, tetapi mereka menganggapnya sebagai zat yang menyehatkan, bahkan diyakini dapat menghilangkan rasa sakit, lelah, memperlancar pencernaan hingga menangkal demam.

Saat sarapan, mereka menikmati anggur. Saat makan siang, mereka minum bir dan sari apel, lalu pada malam hari, mereka meneguk toddies, wiski olahan yang disajikan panas.

Perlahan, konsumsi minuman beralkohol meningkat. Pemerintah kolonial menangkap peluang pendapatan lewat penarikan pajak. Maka, pada 1630-an, pajak ad valorem dikenakan untuk produk miras anggur dan miras lainnya, baik produksi lokal maupun impor.

Dana itu digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan lokal, dari pendidikan di Connecticut, perbaikan penjara di Maryland, hingga memperkokoh pertahanan militer di perbatasan. Dalam relasi sosial, miras berfungsi sebagai alat untuk mengakrabkan pertemuan.

Namun, segala hal baik jika dilakukan secara berlebihan akan menimbulkan keburukan. Begitu pun orang yang kelewatan batas meneguk miras. Mabuknya menyusahkan orang-orang di sekitar.

Mabuk itu dikutuk, dianggap menyalahgunakan anugerah Tuhan. Mirasnya sendiri tidak dianggap bersalah. Layaknya makanan, yang pantas disalahkan adalah kerakusan yang merupakan kesalahan individu.

Sejumlah wilayah mulai mengenakan sanksi berupa denda, cambuk, hingga pengasingan kepada pemabuk.

Peredaran dan konsumsi miras juga dikontrol. Ada pembatasan jam buka kedai, pembatasan porsi minuman sampai aturan bahwa pengecer hanya boleh menjual miras untuk konsumsi rumah tangga.

Agar lebih terkontrol, ada aturan wajib bahwa penjual miras ini harus membuat tippling house (semacam pub). 

Kebanyakan izin penjualan miras ini diberikan kepada orang-orang yang terpandang secara sosial. Cara ini lebih efektif. Kaum berpangkat tinggi dan aristokrat sangat berpegang kuat dengan moral. 

Mereka mengawasi agar peminum bisa tertib saat mengonsumsi miras demi kenyamanan bersama.

Beberapa wilayah tercatat telah memberlakukan aturan tegas. Misalnya, Pennsylvania pada 1709 melarang penjualan miras kepada penduduk asli Amerika. Di tahun yang sama, New Hampshire melarang penjualan miras kepada pemabuk dan mewajibkan supaya nama para pemabuk itu ditempelkan di tiap kedai minuman. Georgia memutuskan bahwa impor minuman keras adalah tindakan ilegal.

Namun, tidak ada aturan yang tidak dilanggar. Sistem konservatif yang stabil dan teratur perlahan berubah jelang akhir abad ke-17.

Persoalan miras berlanjut setelah AS merdeka pada 1776. Amerika menjadi masyarakat baru, bebas dari hierarki dan kolonialisme. 

Sebagai negara baru merdeka, tentu ada guncangan batin dalam masa transisi. 

Filsuf sekaligus pengamat Amerika, Alexis de Tocqueville melihat takdir Amerika sekarang berada sepenuhnya di tangan rakyat. Ada kebanggaan dan antusiasme. 

Namun, Tocqueville menilai kepercayaan diri yang berlebihan dan lenyapnya batas-batas tradisional itu, membuat orang menjadi kehilangan arah. Karena itu, selama alkohol mulai dianggap secara luas sebagai ancaman serius bagi ketertiban sosial.

Benjamin Rush, orang Kristiani yang ikut menandatangani Deklarasi Kemerdekaan AS, pada tahun 1785 menerbitkan traktat yang sangat berpengaruh pada pergerakan anti-miras di AS kelak: An Inquiry into the Effects of Ardent Spirits upon the Human Body and Mind.

Benjamin Rush. Sumber: alcoholproblemsandsolutions.org
Benjamin Rush. Sumber: alcoholproblemsandsolutions.org

Salinannya mencapai 200.000 eksemplar. Tujuan Rush mengeluarkan risalah itu dimaksudkan untuk mengubah opini dan kepercayaan publik tentang khasiat minuman keras. Rush yang juga merupakan pelopor medis mengatakan, orang tidak membutuhkan miras untuk kesehatan dan stamina. Menurutnya, miras justru meracuni diri sendiri.

Peminum alkohol kian meningkat dan mencemaskan. Pada 1830, rata-rata orang di AS yang berusia 15 atau lebih, mengonsumsi tujuh galon lebih alkohol setiap tahun.

Orang mabuk dipermalukan di hadapan masyarakat dengan melekatkan huruf "D" pada dirinya. Cara ini dianggap mempunyai kekuatan efek jera.

Awal kelahiran Kaum Temperance

Menurut Rush, ketergantungan seseorang pada miras hanya bisa diatasi dengan larangan total. Ia mendesak Gereja-gereja untuk bersatu dalam kampanye melarang miras melalui pendidikan dan tekanan politik. Jumlah toko minuman harus dibatasi. Stigma sosial kepada penjualan dan konsumsi miras harus lebih keras.

"Minuman beralkohol adalah anti-Federal...teman dari semua kejahatan yang tidak menghormati dan memperbudak negara kita," katanya.

Pemerintah dalam melindungi diri dan kesejahteraan warga harus mengadopsi pendekatan kesehatan masyarakat dan mengendalikan epidemi kecanduan.


Proposisi itu menjadi konstruksi sentral bagi gerakan temperance yang dimulai pada awal 1800-an dan berkembang 20 tahun kemudian.

Para pengilham Rush membentuk kelompok-kelompok. Mereka teguh untuk tidak mengonsumsi alkohol. Salah satu di antara kelompok tersebut American Temperance Society. 

Mereka menggencarkan kampanye anti-miras ini bersama kelompok religius. Kemabukan adalah momok nasional. 

Kampanye berbuah manis. Pada tahun 1851, legislatif Maine mengeluarkan larangan menjual alkohol.

Maine pula menjadi negara bagian yang kali pertama menerapkan larangan minuman alkohol di AS. Sang Gubernur John Hubbard sampai dijuluki sebagai "Father of Prohibition" atau "Bapak Larangan". UU ini melarang pembuatan dan penjualan minuman beralkohol.

Namun, hukum tersebut tidak berlangsung lama. Kerusuhan pecah sebagai bentuk protes orang-orang yang gemar mengonsumsi miras.  Undang-Undang itu pun dicabut pada 1858 dan digantikan dengan aturan yang lebih longgar: mengizinkan penjualan minuman beralkohol secara terbatas.

Selama periode ini, penyelundupan dan lemahnya penegakkan hukum sudah menjadi pemandangan biasa. 

Masalah miras ini menjadi isu yang merebak di sejumlah negara bagian. Kaum temperance terus berkampanye untuk melarang miras. Namun kegiatan mereka sempat terhenti sewaktu AS dilanda perang saudara.

Mereka juga menyadari bahwa ajakan moral sangat sulit meyakinkan orang untuk berhenti mengonsumsi minuman beralkohol.

Mereka mendirikan The Prohibition Party (Partai Larangan) pada 1869 supaya agenda larangan minuman beralkohol ini berlaku efektif. Sejak 1872, partai ini mengajukan kandidat dalam pemilihan Presiden, tetapi seluruhnya gagal terpilih.

Doktrin anti-miras juga disasarkan kepada anak-anak. Beberapa sekolah diwajibkan menerapkan Scientifi Temperance Instruction ke dalam kurikulum. Salah satu muatan ajaran itu menyebut bahwa minuman keras merupakan racun yang membuat ketagihan.

Beberapa pergerakan lain yang andil dalam mengkampanyekan larangan miras antara lain The Woman's Christian Temperance Union (WCTU), The Anti-Saloon League, sampai Ku Klux Klan (KKK).

Amandemen ke-18


Larangan miras akhirnya berlaku secara nasional ketika amandemen konsitusi ke-18 berlaku pada 16 Januari 1920. Amandemen ini menyatakan produksi, pengangkutan, dan penjualan minuman keras yang memabukkan adalah ilegal.

Apakah larangan nasional itu berhasil? Ternyata tidak.  Malah terlihat sebagai ironi.

Mark Thornton dalam artikelnya Alcohol Prohibition Was a Failure mengemukakan, awal larangan itu berlaku, konsumsi alkohol memang turun, tetapi angkanya kembali meningkat dalam beberapa tahun setelahnya.

Ekonom Clark Warburton dalam jurnal The Economic Results of Prohibition (1932) menuliskan secara detil kenaikan konsumsi tersebut.

Pada 1921 konsumsi per kapita minuman beralkohol berada di kisaran 0,2 galon alkohol murni. Namun, melonjak menjadi 0,8 galon alkohol murni pada 1922, kemudian naik lagi mendekati 1,2 galon alkohol murni pada 1923.

Clark Warburton, The Economic Results of Prohibition (New York: Columbia University Press, 1932), pp. 23--26, 72. via cato.org
Clark Warburton, The Economic Results of Prohibition (New York: Columbia University Press, 1932), pp. 23--26, 72. via cato.org

Konsumsi alkohol itu tidak hilang selama periode prohibition. Penyelendupan malah marak untuk memenuhi hasrat peminum yang membuncah. Mereka mendistribusi miras dengan memanfaatkan celah dari aturan turunan Volstead Act yang mengecualikan larangan miras untuk ritual keagamaan.

Di sisi lain, prohibition mengakibatkan banyak miras oplosan berbahaya beredar di masyarakat. Situs History menyebutkan, para pembuat miras ilegal telah memproduksi "gin bathup" dan rotgut selama periode larangan. Dengan rasa yang sangat bau, beberapa peminumnya mengalami kebutaan dan keracunan. Miras kualitas rendah telah membunuh kebih dari 10 ribu orang.

Dampak buruk lainnya, seperti diungkapkan Mark Thornton, penegakan hukum ketat sekalipun tidak mampu membatasi konsumsi miras. Malahan praktik kejahatan meningkat dan menjadi terorganisir.

Anggaran tahunan penegak hukum prohibition naik dari USD4,4 juta menjadi USD13,4 juta sepanjang tahun 1920-an.

Sumber pendapatan pajak dari potensi pajak miras hilang, sementara pengeluaran pemerintah meningkat.

Prohibition juga menjadi lahan korupsi pejabat publik. Larangan ini berlangsung pula ketika AS dilanda depresi besar pada 1929.

"Karena memang tidak ada cara yang lebih mudah untuk menghasilkan uang di Amerika selain menjadi agen Prohibition yang dapat disuap," kata Daniel Okrent, pengarang buku Last Call: The Rise and Fall of Prohibition dikutip dari The Atlantic.

Sialnya, anggota Ku Klux Klan juga diberdayakan oleh pejabat nasional dan lokal. Walhasil, prohibition menjadi kesempatan mereka meneror warga imigran dengan kedok menegakkan aturan larangan miras.

Melihat gejala-gejala korupsi dan kriminal yang meningkat, dukungan terhadap prohibition akhirnya mengendur. Amandemen ke-18 dicabut ketika amandemen ke-21 diratifikasi pada 1933.

Dengan demikian, aturan miras dikembalikan ke peraturan negara bagian dan lokal. 

Prohibition memang telah dihapus. Namun, aturan ketat soal miras ini sekarang masih ditemukan di beberapa negara bagian. 

Diperkirakan ada 18 juta orang Amerika masih dilarang membeli dan menjual alkohol di kota tempat mereka tinggal.

Sumber dan Referensi:

1. Temperance and Prohibition in America: A Historical Overview

2. 10 Things You Should Know About Prohibition

3. Alcohol and Drinking History in America: A Chronology

4. Alcohol Prohibition Was a Failure

5. Prohibition Was a Failed Experiment in Moral Governance

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun