Kabinet Indonesia Maju telah dibentuk, lengkap dari menteri hingga wakil menteri. Jumlah total sebanyak 54 orang. Angka yang besar.
Publik mungkin tidak mempersoalkan kabinet gendut. Selama mereka memang mumpuni bekerja maksimal, sah-sah saja. Urusan APBN bakal membengkak, ini lagu lama. Toh, pemerintah diberikan tanggung jawab untuk memanfaatkan APBN semaksimal mungkin.
Presiden Joko Widodo mengatakan semua pekerjaan di periodenya berorientasi pada hasil. Ini boleh jadi semacam jawaban dari kegagalan periode sebelumnya: membiarkan masing-masing Kementerian bekerja dengan kecakapan sendiri. Namun, koordinasi antarkementerian menjadi kacau.
Kita bangga dengan kerja Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti, dia berkomitmen untuk menjaga laut dari penangkapan ikan ilegal, menjaga keberlangsungan laut. Ikan banyak di laut, namun akhirnya nyaris sulit ditangkap untuk bisa dinikmati. Dilema bagi sebagian kelompok.
Terlepas dari dilema, bukankah Susi Pudjiastuti sudah memberikan hasil, Pak Jokowi? Mengapa dia tidak dipertahankan?
Iya. Namun nampaknya Jokowi butuh hasil yang sesuai pada visi-misinya. Membaca kabinet Indonesia Maju adalah membaca pikiran Jokowi. Semua hasil harus sesuai target Jokowi yang secara garis besar berujung untuk investasi, ekspor, membuka lapangan kerja, menuju Indonesia 4.0.
Karena itu, dari penjelasan yang ada, satu kesimpulan ditemukan: (cenderung) otoriter. Sebagian dari Anda akan membantah. Tetapi alasan itu sudah dikemukakan sendiri oleh Jokowi: semua hak prerogatif Presiden.
Tidak ada yang keliru dari otoriter, Singapura yang kecil begitu memang harus dipimpin seorang otoriter untuk mengguncang dunia. Tetapi otoriter akan sangat berbahaya jika menutup kontrol. Kebablasan. Pembenarannya: demi rakyat.
Analisis politik pun kian kemari semakin liar dan bersayap, sedikit sekali yang menyinggung sikap otoriter tersebut. Politisi dan pengamat banyak berbicara tentang apa yang terlihat di belakang layar, sesuatu yang sangat minim diketahui publik.Â
Maka dari itu, mereka agak sulit untuk membaca politik dari kaca mata publik. Padahal realita selalu apa adanya, namun entah mengapa sulit sekali untuk diungkap.
Politik adalah hitam dan putih. Untuk situasi sekarang, saya agak skeptis jika hari ini ada yang berbicara ideologi. Ideologi sudah tidak ada nilainya. Mayoritas partai besar bergabung koaliasi. Politik berhenti di tataran ide, absurd di tingkat aksi.