Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Saat Atraksi Seni Budaya jadi Media Otokritik Eksploitasi Tambang

25 Juli 2025   15:32 Diperbarui: 26 Juli 2025   15:11 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atraksi Seni budaya menjadi daya tarik wisata. (Dokumentasi Pribadi) 

Karena kapan lagi kritik bisa dilihat dan didengar pesannya oleh ribuan pasang mata kalau bukan dalam momentum festival. Bukan sekedar berpartisipasi dalam festival, namun momentum untuk bersuara terhadap aktivitas yang mendegradasi lingkungan. 

Salah satu kesiapan itu adalah menghadirkan instalasi berupa tangga horisontal berukuran tinggi yang diletakkan di depan panggung. Dimana sebagai simbol instrumen tambang yang digunakan oleh sejumlah penari pria untuk beraksi

Pengunjung FDL saat menikmati v atraksi Seni budaya. (Dokumentasi Pribadi)
Pengunjung FDL saat menikmati v atraksi Seni budaya. (Dokumentasi Pribadi)

Yakni atraksi teatrikal unik dan mendebarkan, saat beberapa penari bergelantungan di ketinggian, memperagakan aktivitas penambangan. Diiringi alunan musik dan kidung yang dimainkan lewat alat tradisional, memandu gerakan lincah para penari pria.

Rasa kuatir, berdebar dan decak kagum meliputi penonton menyaksikan teatrikal yang memadukan tarian, musik dan narasi. Sebuah perpaduan luar biasa. Saya yang turut menyaksikan diantara ribuan pengungjung turut terpesona, melihat atraksi yang penuh effort tersebut.

Beberapa kali aksi tarian berhenti sejenak memberi kesempatan sang narator wanita menyampaikan narasi kritik sosial yang tajam terhadap eksploitasi tambang. Membuat pengunjung memberi aplaus bahkan sesekali berteriak setuju, seakan mengamini apa yang disampaikan narator.

Salah satu kalimat dari narasi yang disampaikan menyebutkan:

"Bumi pertiwi sedang terluka, pohon-pohon banyak di tebang, sungai-sungai beraroma busuk limbah, gunung-gunung menjerit mengeluarkan amarah. Ibu Pertiwi merintih."

Pesan moralnya adalah ketika ketamakan manusia  tidak terkendali dalam mengeksploitasi sumber daya tambang dan merusak lingkungan, maka disitulah bencana alam mengintai. Seperti banjir bandang, tanah longsor, pencemaran lingkungan dan sebagainya.

Uniknya sang narator turun dari panggung menyampaikan narasi dalam bentuk puisi, mata ketemu mata dengan pengunjung. Seakan kurang afdol jika hanya bernarasi di atas panggung.

Uniknya lagi narasi disampaikan dalam bahasa Indonesia, yang pesan kritik sosialnya bisa ditangkap secara jelas oleh seluruh pengunjung yang hadir dari berbagai wilayah di Sulteng.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun