Seperti pasal 26 menyebutkan, bahwa setiap anggota Kepolisian RI memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak. Juga dalam pasal 40 yang menyebutkan, pembiayaan anggota Kepolisian melalui APBN.
Jika dikomparasi dengan UU Â nomor 3 tahun 2024 Â pengganti UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Â justru mengakomodir tentang sanksi terhadap Kepala Desa yang tidak menjalankan kewajibannya. Â
Dimana pasal 28 ayat 1 menyebutkan, Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 4 dan Pasal 27, dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan teguran tertulis.
Sedangkan pada ayat 2 Â menyebutkan, dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Padahal sebagai sesama pelayan publik yang bertugas melayani kepentingan umum, antara Kepala Desa dan anggota Kepolisian berpotensi untuk bertindak tidak profesional dan menyalahi wewenangnya.
Namun UU tentang Desa justru lebih progresif dengan memasukkan ayat tentang pemberian sanksi bagi Kepala Desa. Ini kontradiksi dengan UU Kepolisian yang tidak mengakomodir tentang pemberian sanksi. Makanya sangat relevan untuk dimasukkan dalam DIM revisi UU tersebut.
Potensi Terjadinya Tindakan Subjektif
Pada pasal 16 ayat 1 huruf l UU Kepolisian menyebutkan, dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara RI berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Tindakan lain sebagaimana dimaksud adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat. Yakni, tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
Selain itu harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. Juga pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, serta menghormati hak asasi manusia.
Secara normatif  yang dimaksud dengan tindakan lain dalam UU sudah sangat jelas. Namun narasi tindakan lain, bisa diterjemahkan dan dipraktekkan secara membias oleh anggota Kepolisian, ketika unsur subjektif yang dikedepankan.
Terlebih dengan tidak adanya ayat soal pemberian sanksi yang membentengi agar tindakan lain tidak menjadi bumerang dalam kinerja aparat Kepolisian, maka bisa saja narasi tindakan lain menjadi legitimasi untuk bertindak secara subjektif.