Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat Kekerasan dalam Sepak Bola Mengalahkan Logika

4 Oktober 2022   08:57 Diperbarui: 4 Oktober 2022   09:14 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang yang menelan korban jiwa. Doc KOMPAS.com/Suci Rahayu

"Pertandingan sepakbola harus menjadi sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang sangat dinantikan orang. Sesuatu yang mencerahkan hidup." - Patrick Jake O'Rourke.

Sepakbola sebagai sarana hiburan, sekaligus instrumen pemersatu bangsa. Sepakbola juga harusnya menjadi medium pencerahan, karena adanya nilai-nilai sportivitas yang dikandungnya.

Inilah logika yang harus ada dalam alam kesadaran, setiap insan pencinta bola di tanah air. Inilah "idiologi" yang harus ditanamkan dalam diri stakeholder sepakbola.

Jika logika tersebut dimiliki, maka getaran semangat kebersamaan akan terus terasa dalam diri insan pencinta sepakbola. Bahkan urat nadi sportivitas akan terus berdenyut dalam dinamika sepakbola tanah air.

Maka kapanpun dan dimanapun momentum pertandingan sepakbola dihelat, bukan hanya gaweannya menjadi sesuatu yang istimewa. Namun setiap insan pencinta bola yang terlibat turut menjadi istimewa, karena menghidupkan energi pencerahan.

Adagium dari jurnalis sekaligus kolumnis asal Amerika Patrick Jake O'Rourke dalam lead artikel ini, sejatinya adalah panduan tentang hakekat sepakbola. Sebuah adagium yang menuntun kita bagaimana seharusnya berpikir dan bertindak memaknai sepakbola, menggunakan logika yang benar.

Menggunakan logika adalah cara berpikir objektif berbasis fakta, prinsip, dan alur nalar yang benar. Bukan sebaliknya bias logika, yakni berpikir dengan melanggar semua, atau salah satu dari prinsip berpikir objektif tersebut.

Disaat elemen sepakbola kita sedang dalam trend positif, ditandai dengan lolosnya Tim Senior dan U-20 ke Piala Asia 2023 serta menjadi tuan rumah Piala Dunia U-2O tahun 2023, seharusnya suporter sepakbola turut bertanggung jawab menjaga trend positif tersebut.

Dimana mengedepankan logika untuk menjaga, jangan sampai sewaktu waktu 'bencana' datang dan menggerus sepakbola Indonesia. Hanya karena bias logika, akibat faktor emosional yang tak terkendali. Terbukti bencana itu akhirnya datang juga dan dampaknya Indonesia bisa terkena sanksi FIFA.

Kerusuhan yang diwarnai aksi kekerasan di Stadion Kanjuruhan Malang tentu sangat disesalkan, karena menyebabkan ratusan jiwa melayang. Hal ini tidak lepas dari bias logika segelintir oknum suporter yang tidak bertanggungjawab, dalam menyikapi hasil pertandingan.

Bertindak tanpa menggunakan nalar yang benar, pada akhirnya bermuara pada tragedi kemanusiaan. Bertindak ceroboh mengabaikan prinsip sportivitas, karena tidak bisa menerima kekalahan.

Ungkapan dukacita dari PSSI pasca kerusuhan. Doc Instagram PSSI
Ungkapan dukacita dari PSSI pasca kerusuhan. Doc Instagram PSSI

Tak bisa melihat fakta dengan pikiran jernih, bahwa kekalahan dan kemenangan adalah lumrah dalam sebuah pertandingan. Inilah realitas dari insan sepakbola yang belum tercerahkan memaknai hakekat sepakbola. Namun ngotot datang ke stadion demi fanatisme semu.

Tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang adalah bukti, bahwa kekerasan dalam sepakbola telah mengalahkan logika. Dimana sepakbola sebagai sesuatu yang istimewa, dinantikan serta mencerahkan hidup, harus terdegradasi dalam sekejap akibat bias logika.

Kasus memilukan di Stadion Kanjuruhan, adalah noda hitam dari persepakbolaan nasional. Eforia sukacita yang dirasakan beberapa hari lalu saat Timnas Indonesia mengalahkan Curacao dalam FIFA Mactday, berganti dukacita atas kematian ratusan suporter sepakbola.

Ini adalah ironi buat bangsa Indonesia, saat mata dunia berempati atas tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan Malang pada Sabtu tanggal 1 Oktober 2022. Sebuah kemunduran dari upaya memajukan sepakbola, lewat capaian prestasi yang sudah mulai terlihat hasilnya.

Hari-hari berat sepakbola nasional akan dilewati sembari menanti sanksi apa yang akan dijatuhkan oleh FIFA. Disatu sisi mengembalikan kepercayaan dunia terhadap persepakbolaan nasional, menjadi kerja ekstra dari stakeholder sepakbola.

Mungkinkah Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 pada tahun depan, bakal dicabut gaweannya oleh FIFA. Bisa ya bisa juga tidak, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Yang jelas tragedi Stadion Kanjuruhan sudah mencoreng kesiapan Indonesia, sebagai tuan rumah nanti.

Juga menjadi catatan minus, bahwa dalam menjaga keselamatan bersama di Stadion kita masih lalai dan tidak siap. Ratusan nyawa yang melayang akibat kerusuhan,  adalah gambaran bagaimana tidak profesionalnya kita dalam mengelola gawean sepakbola.

Dibalik tragedi kemanusiaan Kanjuruhan Malang, inilah momentum yang tepat untuk berkontemplasi. Bahwa jangan ada lagi kekerasan dalam sepakbola Indonesia. Dan jangan ada lagi kerusuhan yang menelan korban jiwa. Semoga ini yang terakhir.

Cukup sudah cara berpikir dan bertindak yang kacau, dilibatkan dalam sepakbola. Bahwa sepakbola harus dinikmati dengan mengedepankan logika. Yakni datang, nonton dan bersorak gembira di stadion.

Sepakbola bukan rivalitas yang berlangsung secara biner dan berujung pada jatuhnya korban jiwa. Sudah saatnya kita menjadi suporter dan pendukung yang baik, demi masa depan sepakbola Indonesia.

Karena tidak ada sepakbola seharga nyawa manusia. Turut berdukacita yang mendalam atas tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun