Tania merenung  di teras rumahnya di sore yang sunyi,burung-burung beterbangan menuju sarangnya.Para petani cabai bersiap-siap pulang setelah mengairi pinggiran gundukan tanah yang ditanami cabai.
Lalu teringat beberapa peristiwa beberapa tahun lalu.Seperti sebuah flashback film.
Pertengkaran lama belum berakhir dan diam-diam terjadi menjadi perang dingin dan saling menjauh,dirinya dan kakak iparnya,soal tanah warisan.Bukan pertengkaran sebenarnya,tapi  adanya kesewenang-wenangan itu meresahkannya.
Dia tidak ingin tahu,tapi sesuatu mengoyak perasaannya ketika adik iparnya  Mirta,mengeluh jatah warisannya yang sekarang ditinggalinya dan miliknya berusaha dikuasai kakak ipar Tania dan adik iparnya itu diusir gara-gara kakak iparnya tidak cocok dengan suami adik ipar Tania.
Argh kenapa hidup kadang begitu kejam,ketika ia memprotes atau sebenarnya bukan memprotes,hanya bertanya,dirinya malah dimusuhi dan diboikot kakak iparnya.
Dan sejak itu perang dingin terjadi.Tania tidak pernah diterima dan dianggap.Ia sudah berusaha bagaimana caranya agar hubungan itu pulih .Tapi retak kaca itu sudah terlalu dalam.Suaminya bahkan kemudian jatuh sakit memikirkan hubungan Tania dengan kakak ipar Tania yang begitu mendingin.
Seperti sumbu kompor yang dinyalakan,Tania dianggap sebagai orang lain di lingkar keluarga itu.Ketika anaknya sakit  di rumah sakit bahkan tidak ada satupun keluarga iparnya yang menjenguk anak itu hingga anaknya bertanya:
"Buk,kenapa keluarga ayah nggak ada yang  kesini?"
"Dita,tidak perlu merepotkan orang lain nak"