Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Magnolia dalam Seribu Fragmen Rana (9)

29 Maret 2021   11:28 Diperbarui: 29 Maret 2021   11:37 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi novel Magnolia dalam Seribu Fragmen Rana. (Inprnt.com)

Sesungguhnya
jenderal arifah
adalah sosok maharesi
kala bertempur
ia maju tanpa takut mati
kala terdesak
ia mundur demi keselamatan pebala

Sesungguhnya pula
ia bertempur atas nama cita luhur
di sini, absurditas ketenaran
jauh dari nurani

Ia adalah kesatria
pejiwa yang tak pernah takut undur
dan merasa terhina karenanya
sebab strata dan jabatan
hanyalah anominitas babur

Adalah jauhar tak tak ternilai
jika negara memiliki
seorang jenderal luhur
yang dapat melindungi rakyat dan Sang Kaisar

Sun Tzu
Refleksi Seni Rana

Rembang petang baru saja menyingkir diganti malam. Bukit Tung Shao menggelap tanpa gemintang di langit. Hujan masih menyisakan partikel salju yang menusuk-nusuk kulit dengan giris dinginnya. Rambun memaksa Fa Mulan meringkuk, dan duduk di tempat biasa. Menghangatkan dirinya pada sebuah lidah unggun sembari menghitung detik-detik pertarungan hidup mati yang sudah di ambang batas.

Dihelanya napas resah.

Yao belum kembali ke barak setelah ia nekat menyongsong musuh di perbatasan Tung Shao. Masih disesalinya keputusan emosional Yao. Sahabat seangkatannya semasa wamil itu memang memiliki temperamental panas. Setiap permasalahan disikapinya dengan berapi-api. Satu kebiasaan buruknya yang masih terbawa sampai sekarang meskipun ia telah diangkat menjadi prajurit madya.

Yao merupakan anak dari pasangan gembala di dusun gigir Sungai Onon. Meski ia berdarah Tionggoan, tetapi lingkungan dan adat istiadat yang diakrabinya sedari kecil berbeda dengan kebanyakan orang Tionggoan lainnya. Keluarganya hidup menomad. Berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya di perbatasan Tionggoan-Mongolia. Sedari kecil pula hidupnya telah ditempa iklim dan alam yang keras di pegunungan serta beberapa gurun di daerah dekat Mongolia. Yao tumbuh menjadi pemuda yang keras, berpendirian tegas, dan menjunjung harkat serta harga diri setinggi-tingginya.

Karena tidak ingin berkubang terus di dalam kemiskinan, Yao pun menanamkan satu tekad dalam dirinya. Bahwa tidak selamanya keluarga mereka akan hidup menomad tanpa tempat tinggal yang tetap dan layak. Ia lantas bekerja keras dan banting tulang, hidup dari modal otot. Setiap hari ia mengikuti adu gulat bercapa, sebuah perjudian adu tarung yang marak dan mendarah daging di Mongolia. Menghidupi orang tuanya yang sudah uzur dengan uang hasil kekerasan.

Beberapa tahun kemudian ia mengelana ke Ibu Kota Da-du. Menjadi centeng salah seorang tauke kelontong kaya di sana. Sampai keluarnya amanat dari Kaisar Yuan Ren Zhan agar seluruh warga Tionggoan harus menjalani wajib militer di Kamp Utara. Di sanalah awal mula perkenalannya dengan Fa Mulan yang selalu dilandasi ketidakharmonisan.

Ia dan Fa Mulan sebenarnya seperti dua orang musuh yang bertarung dalam satu selimut. Setiap hari mereka bertengkar dan adu jotos. Itulah sebabnya di Kamp Utara, Fa Mulan dan Yao sering diganjar hukuman oleh Shang Weng. Yao yang kelewat keras diantipati Fa Mulan yang selalu ingin membela prajurit-prajurit lemah jajahan Yao. Setiap memalaki prajurit-prajurit lemah tersebut, Fa Mulan selalu tampil sebagai pahlawan. Menentang Yao yang lebih besar tiga kali lipat dari tubuhnya.

Meski kasar tetapi Yao sebenarnya memiliki sifat baik yang jarang ditampakkannya. Ia setia kawan. Selalu menolong kaum jelata yang tertindas puak terpandang, bahkan mengorbankan nyawanya sekalipun. Sayang ia selalu mengambil tindakan tanpa nalar. Menempuh jalan kekerasan reaksi amarah yang berkobar di dalam hatinya.

Fa Mulan masih menghangatkan tubuhnya di samping unggun.

Sejenak diisinya tadi benaknya yang lowong dengan kenangan silam. Yao, Chien Po, dan Bao Ling merupakan sahabat terbaiknya. Ia tidak ingin salah satu dari mereka ada yang gugur sia-sia. Hal itulah yang kerap meresahkannya. Terutama Yao yang beremosi labil.

Ia mengusap wajah.

Pasukan pemberontak Han yang sudah semakin dekat dan berada beberapa mil dari barak meresahkannya. Besok fajar pasti sudah sampai di sini. Sementara, bala bantuan belum kunjung tiba. Apa boleh buat, pikirnya. Hidup mati manusia memang sudah ditentukan dari langit. Itulah takdir kematian seseorang yang bernama ajal. Dapat terjadi di dalam situasi apa pun juga. Kalau ia memang harus terbantai dalam peperangan besok, ia tidak akan pernah menyesali kematiannya yang menyakitkan itu. Sebab ia merasa telah membela kebenaran. Tidak mati dengan sia-sia.

Baru saja ia akan menikmati bakpaonya ketika beberapa prajurit berjalan tertatih-tatih dengan tubuh membujur luka. Mereka adalah prajurit-prajurit yang diperintah ikut serta ke perbatasan Tung Shao bersama Yao fajar kemarin.

Fa Mulan berdiri.

Ia mendekati prajurit-prajurit tersebut. Membantu memapah seorang prajurit yang tertebas golok ke dalam tenda tabib. Beberapa prajurit dalam tenda keluar dan turut membantu rekan mereka yang terluka.

"Mana Prajurit Madya Yao?!" tanyanya cemas pada seorang prajurit yang tidak terluka.

"Sudah masuk ke tendanya, Asisten Fa."

"Bagaimana keadaan kalian?"

"Hampir semua rekan yang berangkat bersama Prajurit Madya Yao gugur di perbatasan. Kami yang selamat tidak sampai dua puluh orang. Pasukan pemberontak Han sangat banyak, Asisten Fa! Kami tidak sanggup mengadang mereka!"

"Baik, baik. Terima kasih. Kamu istirahat saja dulu. Kalau luka, segera ke tenda tabib."

Prajurit bawahan itu mengangguk.

Fa Mulan meninggalkan prajurit itu dengan wajah gusar. Dilangkahkannya kakinya dengan gerak gegas ke tenda Yao. Meminta pertanggungjawaban lelaki bertubuh kekar itu.

"Yao!" teriaknya keras di muka tenda Yao.

Yao menyibak daun tenda. Ia keluar dengan wajah bengis. Tampak segar bugar, tidak mengalami luka sedikit pun. Fa Mulan sedikit lega. Tetapi tak mengurungkan kemarahannya yang sudah mengubun sejak fajar kemarin.

"Apa-apaan kamu, Yao!" sembur Fa Mulan berkacak pinggang. "Sok jagoan begitu!"

Yao mendekat.

Ia berdiri persis sejengkal di hadapan Fa Mulan. Ditatapnya ke bawah dengan sikap tidak bersalah. Gadis atasannya itu mendongak, masih belum menyurutkan tatapan matanya yang setajam pedang.

"Sudah sedari dulu saya bilang, saya ingin menghalau Jenderal Shan-Yu di bawah bukit sebelum dia dan pasukannya mendapatkan kekuatannya kembali, lantas menyerang kemari dan merobek-robek tubuh kita di sini!"

"Saya tahu kita semua ingin dia enyah dari muka bumi ini! Semua prajurit di sini ingin memenggal kepalanya! Tapi belum saatnya, Yao! Dia masih terlalu tangguh untuk ditaklukkan!"

"Kita dapat menaklukkannya, Asisten Fa!" balas Yao dengan kasar. "Tapi selama ini Anda yang terlalu lamban!"

"Kita butuh waktu yang tepat!"

"Waktu yang tepat?!" Yao mendengus. "Sampai kapan?! Sampai kita lengah dan dia datang dengan seabrek pasukannya yang ganas lalu mencincang tubuh kita?!"

"Saya punya strategi lain. Bukannya dengan cara emosional begitu, Yao!"

"Strategi apa?!" tanya Yao geram. "Strategi mengulur-ulur waktu?!"

"Kalau itu memang merupakan strategi jitu, kenapa tidak?!"

Yao kembali mendengus keras.

Ia mengibaskan tangan dengan jemawa seolah-olah Fa Mulan bukan atasannya. Diputarnya tumit hendak masuk kembali ke dalam tendanya. Tetapi Fa Mulan mencekal pundaknya. Menghentikan langkahnya. Masih ingin meminta tanggung jawab prajurit madya itu atas hilangnya hampir seratus nyawa prajurit Yuan dengan sia-sia.

"Yao, kamu sudah bertindak gegabah!"

"Paling tidak saya memiliki keberanian ketimbang hanya berpangku tangan seperti Anda, Asisten Fa!"

"Apa yang telah kamu lakukan itu sangat berbahaya, dan mengancam keselamatan nyawa kamu sendiri!"

"Saya tidak takut!"

"Saya hargai keberanian kamu. Tapi, tindakanmu itu sama juga dengan mengantar nyawa. Untung kamu masih dilindungi Dewata sehingga dapat kembali ke sini. Tahu tidak, perbuatanmu yang menyongsong ke markas musuh itu seperti anjing yang masuk ke kandang macan!"

"Saya bukan prajurit pengecut!"

"Tapi bukan dengan begitu kamu boleh bertindak gegabah. Saya tidak ingin ada prajurit Yuan yang mati konyol!"

"Maaf, semoga prakiraan saya ini tidak benar! Bahwa apa yang telah Asisten Fa uraikan barusan hanya sebentuk dalih untuk menutupi sepotong rasa takut!"

Fa Mulan terkesiap.

Ia sama sekali tidak menyangka Yao dapat selancang itu. Ia merasa tidak punya wibawa dan harga diri sebagai pemimpin. Ditariknya lengan kokoh Yao dengan sekali entak. Lelaki berwajah keras itu terantuk. Mendekat sejurus setelah menjauhi Fa Mulan tadi.

"Yao! Kalau saja saya sendiri memiliki kemampuan untuk mengalahkan Jenderal Shan-Yu dan ratusan ribu pasukan pemberontak Han itu, detik ini juga saya akan menantang mereka di bawah bukit! Detik ini juga saya akan bertarung dengan mereka! Tapi, saya tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Kita lemah, Yao. Lemah! Karenanya, saya tidak ingin bertindak tanpa melalui seleksi otak! Kenapa?! Karena saya tidak ingin mati sia-sia. Tanpa kita, siapa lagi yang akan membela rakyat Tionggoan?! Apa kamu mengharap para arwah di alam baka untuk menghalau mereka?! Coba kamu renungkan hal itu, Yao!"

Namun Yao tidak mau tahu.

Ia malah menatap sepasang mata Fa Mulan dengan bias menantang. Mencibirkan bibirnya dengan bahasa cemooh. Membuang mukanya kemudian dengan sikap pongah. Berkacak pinggang seperti tokoh protagonis Eng Tay dalam opera mashyur Sam Pek Eng Tay yang sering dipertunjukkan salah satu kelompok opera keliling di Ibu Kota Da-du.

"Kalau takut bilang saja!"

Yao sudah mengarah kasar.

Kalimat-kalimatnya sudah tidak terkontrol. Fa Mulan tidak dapat membendung amarah yang mengubun di kepalanya. Diterjangnya Yao yang memiliki tubuh tiga kali lebih besar darinya dengan wushu tingkat dasar.

Yao mengelak.

Tangan kanannya menangkis satu tendangan ke arah dadanya. Ia terundur sedepa menahan tendangan Fa Mulan yang bertenaga. Sedikit terkesiap. Sama sekali tidak menyangka tubuh sekecil itu memiliki chi sekuat kuda. Dikembangkannya otot-ototnya. Tubuhnya memekar seperempat kali lipat dari ukuran tubuhnya yang biasa. Mengangkang dengan tubuh sedikit membungkuk. Siap menangkap tubuh lawan, serta meremukkan tulang-tulangnya saat berada dalam pelukan dan telikung kedua tangannya yang sekokoh baja. Gulat Mongolia memang mengerikan.

Fa Mulan mencecar dengan tusukan-tusukan telapak tangannya. Sambil melompat-lompat dan sesekali bersalto menghindari kaitan kaki Yao, dihujaninya tubuh kekar lawannya itu dengan pukulan telapak. Beberapa menerpa dada dan pundak. Tetapi tubuh besar itu tak bergeming. Kokoh seperti tembok. Yao tetap berdiri memaku pada tanah. Hanya sesekali menggebah pukulan-pukulan telapak Fa Mulan dengan kibasan-kibasan cakarnya.

Suasana di barak Kamp Utara mulai meriuh. Para prajurit keluar dari tenda masing-masing. Keheningan malam yang dipecahkan suara pertarungan menyita perhatian mereka.

Shang Weng menyimak suara gaduh di luar. Ia terbangun dari amben tenda. Berjalan dengan langkah rangkak, tidak dapat sepenuhnya bangun karena lukanya yang belum purna sembuh. Disibaknya daun tenda dari dalam. Di balik api unggun yang meranggas, dilihatnya sepasang prajurit yang berkelahi. Perseteruan masih berlangsung sengit. Api unggun yang terletak tidak jauh dari arena pertarungan tampak melelatu, memercikkan bunga-bunga api akibat embusan angin hasil perkelahian.

Yao masih berusaha menangkap tubuh mungil lawannya. Satu pelukannya yang secepat lesatan anak panah meleset. Fa Mulan merunduk, dan berdiri dengan kedua belah telapak tangannya di tanah sebagai penyangga tubuh kala kakinya mengentak, menendang kepala Yao yang sekeras batu di atas. Yao terundur tiga tindak dengan langkah sempoyongan. Tetapi kakinya masih terlalu kuat untuk dibuat terkulai. Ia masih berdiri dengan sikap kuda-kuda setelah pusingnya hilang.

Pemuda kekar bercambang itu semakin kalap.

Ia berteriak menghimpun tenaga. Ditubruknya tubuh Fa Mulan yang baru saja mendaratkan sepasang kakinya yang menendang tadi. Fa Mulan nyaris terjatuh ke belakang, tetapi satu kakinya menumpu seperti tongkat pada tanah bersalju, kemudian mendorong sekuat tenaga tubuh kekar yang menelikungnya dari depan itu dengan dengan bahu kanan dan kiri bergantian.

Taichi chuan yang dipergunakan Fa Mulan mampu mendorong tubuh besar itu sehingga terlepas, lalu satu lesatan tendangan putarnya yang mengarah ke dahi Yao pun telak mengena. Yao tersepak tumit Fa Mulan dari jurus Kibasan Ekor Hong, salah satu gerakan dari kungfu ciptaannya, Tinju Hong Terbang. Ia pun terempas dan jatuh ke tanah dengan pandangan melamur.

Yao berusaha bangkit.

Tetapi kepalanya memening. Disekanya bibirnya yang berdarah. Fa Mulan menghampirinya. Menyudahi pertarungan dengan melontarkan kalimat-kalimat bijak.

"Yao, saya tidak bermaksud bertarung denganmu. Saya tidak bermaksud melukaimu. Kamu bukan musuh saya. Kamu adalah sahabat saya. Tapi, saya terpaksa melakukan semua itu tadi karena tidak ingin dianggap lemah. Saya ingin kamu sadar bahwa pertempuran itu tidak hanya melawan musuh jasadi. Tidak hanya dengan pedang dan tombak. Tapi pertempuran itu juga dilakukan untuk melawan angkara murka yang berasal dari dalam tubuh kita sendiri. Emosi dan amarah yang berasal dari dalam hati dan pikiran kita itu juga merupakan musuh yang harus dilawan dalam sebuah pertempuran!"

Yao meringis kesakitan.

Ia menggoyang-goyangkan kepalanya seolah-olah hendak mencari keseimbangan, menumpu kalibrasi pandangannya yang mengganda akibat tendangan sekeras godam Fa Mulan barusan.

"Yao, andai saja saya ingin membunuhmu, sedari tadi pedang Mushu ini sudah menancap di dadamu!" Fa Mulan mengelus-elus gagang pedang Mushu-nya seperti kebiasaannya. "Tapi tidak saya lakukan karena kamu sebenarnya tengah bertempur dengan amarahmu sendiri. Bukan dengan saya. Amarahmu itu merucahmu, Yao. Kalau tidak lekas kamu singkirkan dalam sebuah pertempuran batin, musuh dalam hati dan pikiranmu itu akan membunuhmu!"

Yao terduduk memeluk lutut di tanah.

Ia diam menyimak. Menundukkan kepala dengan hati berkecamuk malu. Ia memang harus memboko rasionalitas dalam benaknya yang hilang tercuri musuh muasal diri. Ia harus bertempur dengan musuh yang berasal dari dalam dirinya sendiri itu. Membelasahnya sehingga kabur dari batinnya.

"Cepat ke tenda tabib, Yao. Basuh lukamu dengan obat. Beristirahatlah setelah diobati. Besok fajar kita pasti bertempur lagi dengan musuh yang sudah menapaki Tung Shao. Lupakan kejadian barusan. Anggap saja kita sedang berlatih kungfu!"

Fa Mulan melangkah ke arah tenda Shang Weng untuk mengontrol keadaan atasannya itu. Lima tindak melangkah ia menoleh ke belakang. Yao masih terduduk memeluk lutut. Lelaki kekar yang telah ditundukkannya tadi mengangkat kepala. Mendongak menatap hampa pada langit tak berbintang.

Yao menghela napas panjang.

Samar dilihatnya punggung gadis yang telah mengalahkannya tadi menirus, lalu menghilang di balik daun tenda setelah mengalihkan pandangan dari layar lebar langit.

Ia menggigit bibir.

Gadis itu memang tangguh. Ia seperti perempuan jelmaan para dewa, dirida segala purna yang tidak diradi pada sembarang orang. Kekalahannya ini bukan birang. Bukan sesuatu yang pantas disesali.

Gadis itu telah menyadarkannya.

Musuhnya memang bukan hanya pasukan pemberontak Han. Bukan hanya Shan-Yu. Bukan hanya sebentuk musuh-musuh jasadi. Tetapi juga jahiliah yang bermuasal dari dalam dirinya sendiri.

Diam-diam ia bersyukur memiliki sahabat sekaligus pemimpin seperti Fa Mulan.

Gadis itu memang prajurit jelmaan Dewata, prajurit garda langit! (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun