Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Para Arwah

11 Maret 2021   10:46 Diperbarui: 11 Maret 2021   10:59 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen Hari Para Arwah. (pinterest.com)

Siao Mei menjelaskan. Tapi kalimat itu tidak dianggap. Sugesti ketakutan cowok itu lebih mengekspresi, menggebah alasan bunyi suara pintu tadi sebagai penawar keterkejutan. Gadis bermata ekuator itu menggeleng-gelengkan kepala.

Ia sendiri tidak menyadari kenapa dapat senekat begini. Rasa penasarannya menggebah rasa takut. Momen melihat rumah hantu tidak selalu ada. Bahkan, nyaris tidak pernah ada. Imajinasinya tentang sosok gaib itu hanya diperolehnya dari serangkaian berita dan kisah seram dari rubrik misteri pada majalah dan koran. Sebagian lagi tentu dari media elektronik terpopuler, televisi. Juga sedikit kabar angin versi bisik-bisik tetangga alias rumor.

Dan kesempatan untuk melihat hantu itu tidak dapat dilakukan pada sembarang hari. Ada spesifikasi yang membedakannya dengan hari-hari biasa. Seperti hari ini, namanya chung beng. Chung beng hanya sekali dalam setahun. Pada saat purnama gelap. Setiap penanggalan lima belas Imlek, yang jatuh pada 4 April penanggalan masehi.

Imlek sendiri merupakan sebuah penanggalan kuno yang menjadi pola hari sebagian masyarakat Tionghoa. Chung beng kurang lebih berarti Hari Para Arwah. Diperingati untuk menghormati para arwah kerabat dan keluarga yang sudah meninggal. Konon, pada hari chung beng, malaikat penjaga pintu neraka membuka gerbang alam para arwah maupun hantu-hantu untuk melanglang buana mencari makan. Makanya, setiap Chung beng, makam maupun pekuburan Tionghoa selalu dipadati sebagian orang Tionghoa yang masih memegang teguh adat yang sudah mengakar lama, bahkan sebelum terbentuknya dinasti yang pertama di Tiongkok.

Mereka biasanya menyediakan sesajian makanan dan buah-buahan, meletakkan di depan kuburan dan nisan. Lalu menyalakan sepasang lilin merah, dan membakar hio serta ing-che dan cing-che -- sejenis kertas buram bernoktah perak dan emas di tengah-tengahnya, yang melambangkan uang perak dan uang emas, sebekal dana untuk dibawa pulang para arwah di kehidupan mereka selanjutnya.

Adat itu masih berkembang di sebagian kalangan Tionghoa totok dan perantauan. Seiring perjalanan zaman, adat yang meleluri itu kerap diyakini takzim sebagai sesuatu yang riil. Hadir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lafaz kehidupan.

Itulah sebabnya mengapa chung beng termasuk hari besar di Beijing ini. Sama halnya dengan perayaan tahun baru Imlek, chung beng pun dirayakan dengan meriah. Setelah melakukan ritual persembahyangan di makam-makam, mereka juga merayakan Hari Para Arwah itu dengan jamuan makan besar-besaran. Masing-masing suku di Tiongkok melakukan acara mereka sendiri-sendiri. Salah satu suku terbesar di Beijing, Kanton misalnya, mengundang semua masyarakat yang bersuku serupa untuk makan-makan dengan kapasitas melebihi pesta besar biasa.

***

Sebagai gadis Tionghoa perantauan kelahiran Indonesia, Siao Mei sama sekali tidak meyakini persepsi turun-temurun yang berlaku di Beijing. Tentu saja pemahaman yang jauh bertolak belakang itu membawa pertentangan. Chen Chiang yang konservatif dan Siao Mei yang moderat memang bagai mata uang logam dengan dua sisi. Tidak pernah dapat sama bila dilemparkan dari arah manapun.

Perbedaan yang sangat fundamental itu tercetus dalam sikap apatis Siao Mei dan sikap apriori Chen Chiang. Saudara semisan itu pun lantas beragumen dalam debat. Memilih untuk menjabarkan dalih masing-masing dalam sebuah tantangan. Mereka akan langsung ke rumah kuno berhantu itu, tepat pada chung beng kali ini!

Tantangan tersebut sebetulnya diusulkan Siao Mei sebagai ajang pembuktian ada tidaknya hal-hal gaib semacam itu. Chen Chiang menganggap adik misannya yang tinggal di Indonesia itu sudah takabur. Ia merasa perlu meluruskan sikap Siao Mei yang pongah itu sehingga jauh dari chiong -- celaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun