Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Om Maulwi Saelan, Pengawal Soekarno yang Kukenal

28 September 2020   11:21 Diperbarui: 28 September 2020   12:23 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maulwi Saelan Foto | BeritaSatu.com

Hati berdegub kala mendapati tumpukan buku terbungkus plastik besar di kursi kediaman mertua. Penulis menduga pemiliknya, yang juga keponakan, hendak membagikan buku-buku (termasuk di dalamnya Alquran dan buku religi) kepada rekannya.

Dengan sigap penulis menyingkap kantong plastik buku-buku tersebut. Dipilih, judul buku apa saja yang terasa penting untuk dibaca. Ya, ketimbang keburu jatuh ke tangan orang lain atau ke tukang loak, lebih baik diambil untuk dibawa pulang.

Awalnya penulis memilih beberapa Alquran yang masih baik. Seperti masih baru. Utuh. Hanya kotor bagian luarnya saja. Sudah dipastikan, kitab suci itu tak pernah tersentuh dan dibuka. Hehehe. Namun, hati kembali berdegub kencang kala mendapati sebuah buku berjudul Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66.

Ini buku hebat. Pasti. Pikir penulis. Namun muncul pertanyaan, kok pemiliknya bisa mendapati buku ini?

Wah, beberapa saat kemudian baru terjawab. Ternyata, keponakan penulis adalah alumni Universitas Bung Karno. Hmmm. Ternyata ia kuliah di dua tempat, setelah menyudahi kuliah di Universitas Tarumanegara, Jakarta, ia mengambil jurusan hukum di Universitas Bung Karno.

Tapi, yang jelas, buku tersebut sekaligus membangkitkan kenangan penulis ketika awal menjadi jurnalis berkenalan dan sering mewawancarainya. Ia adalah H. Maulwi Saelan yang oleh penulis dipanggil Om Saelan.

Panggilan seperti anggota keluarga itu terdorong oleh rekan penulis, Sucipta Suntoro yang di kalangan publik pada tahun 80-an lebih populer dengan panggilan Gareng.

Gareng, yang pernah menjadi pemain nasional itu, jika bertemu dengan H. Maulwi Saelan menyapanya dengan Om Saelan. Gareng terlihat mencium tangannya. Panggilan serupa juga dilakukan Sekjen PSSI, Nugraha Besoes ketika Maulwi Saelan datang ke kantor PSSI di kawasan Gelora Bung Karno.

Maulwi Saelan, seperti dituturkan rekan redaktor olahraga Antara pada tahun 80-an, Nurdin Tambunan dan Encing Zaenal, Maulwi adalah kamus berjalan dalam dunia olahraga Indonesia kala itu. Ia sangat kompeten lantaran selain pernah menjadi penjaga gawang PSSI pada Olimpiade XVI di Melbourne, Australia (17 November 1956), juga sangat aktif di berbagai kegiatan olahraga nasional.

Zaenal yang lebih akrab dipanggil si Encing itu pernah bekerja sebagai Humas Gelora Bung Karno (GBK). Ia pun pernah menjadi Humas pada perhelatan tinju antara Muhammad Ali melawan Rudi Lubers (20/10-1973).

*

Tak banyak wartawan olahraga yang tergabung dalam Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) PWI Jaya untuk mewawancari Maulwi ketika itu. Apa lagi menjadikannya sebagai narasumber berita tatkala kualitas sepakbola nasional melorot.

Belakangan penulis baru tahu alasannya. Maulwi Saelan adalah mantan pengawal Presiden Soekarno yang tergabung dalam Resimen Tjakrabirawa. Tentu, bisa dipahami, kala Orde Baru ada rasa ngeri untuk mewawancari orang-orang yang punya latarbelakang punya kedekatan dengan Bapak Proklamasi.

Namun lantaran Kardono, Ketua Umum PSSI, kala itu sering memintai pendapat dan saran kepada Maulwi berkaitan dengan pembinaan pemain sepakbola, dalam diri penulis tumbuh keyakinan bahwa mewawancari Maulwi Saelan bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam dunia jurnalistik. Meski disadari saat itu bahwa media masih dibawah kontrol penguasa, yang sedikit-sedikit diancam untuk dibredel.

Om Maulwi Saelan punya kepribadian terbuka. Penulis pun pernah mendatangi kediamannya di kawasan Bendungan Hilir. Penulis diterima dengan baik. Dan bicara panjang lebar. Dan, kala ia hadir di depan kantor PSSI, ia sering ngobrol dengan para pemain senior dan awak media yang tergabung dalam Siwo PWI.

Penulis pun berkenalan dengan Menteri Olahraga Pertama, Muladi. Kala itu, Saelan minta kepada penulis untuk mengecek disain bangunan gelanggang olahraga yang kemudian dikenal GBK. Arsip gambar bangunan GPK masih lengkap dipegang Maladi saat itu.

Diperoleh penjelasan bahwa biaya pembangunan GPK pada 1962, yang didukung arsitektur dari Soviet, sebesar 10,5 juta dolar AS.  Semua dibayar dengan karet alam Indonesia dan dalam tempo dua tahun lunas.

**

Maulwi Saelan lahir di Makassar, 8 Agustus 1926. Sudah tentu ia mengalami pahitnya zaman kolonial Belanda. Ia memilih jalur olahraga sebagai perjuangannya hingga pada usia 30 tahun dipercaya menjadi penjaga gawang PSSI.

Tim Indonesia yang lolos seleksi Asia bertanding langsung menghadapi Uni Soviet. Hingga perpanjangan 2 x 15 menit, Saelan berhasil menjaga gawang dari kebobolan. Nah, lantaran kala itu tak ada aturan adu pinalti, akhirnya pertandingan diulang 36 jam kemudian. Dalam pertandingan ulang ini, kita harus mengakui keunggulan lawan lantaran para pemain mengalami cedera pada pertandingan sebelumnya.

Om Saelan pernah tampil dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo (9/9-1948) yang kala itu diikuti 13 kresidenan sepulau Jawa. Perhelatan digelar di Stadion Sriwedari dan dibuka Presiden Soekarno. Saelan sendiri mewakili atlet dari luar Jawa yang dimasukkan ke dalam kontingen Jakarta.

Menariknya, sebelum PON berlangsung, pada Januari 1947 digelar kongres pertama di Solo. Kongres diwarnai semangat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Lalu diputuskan bahwa Indonesia harus menembus blokade Belanda dan ikut Olimpiade 1948 di London.

Sayang, hal itu tak terwujud lantaran panitia Olimpiade menolak. Alasannya, Indonesia belum menjadi anggota PBB. Indonesia hadir hanya sebagai peninjau. Indonesia mengutus Sultan Hamengkubuwono IX, Letkol Azis Saleh, dan Mayor Maladi (Menpora pertama). Sayang, mereka urung pergi lantaran mereka harus menggunakan paspor Belanda.

Di tingkat regional, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Lanka dan Burma memprakarsai terbentuknya Komite Olahraga Asia (Asian Games). Saelan ikut tampil dalam perheltan akbar pertama di New Delhi pada 1951.

Kala itu, Indonesia menyanggupi menjadi tuan rumah Asian Games keempat pada 1962 di Jakarta. Karena itulah Indonesia mempersiapkan diri dengan membangun  Bung Karno. GPK dibangun dengan dukungan arsitektur Uni Soviet.

***

Lantas, bagaimana Om Maulwi Saelan dapat 'nyasar' menjadi tentara?

Bisa jadi lantaran orangtuanya, Amin Saelan, adalah seorang pejuang. Berawal sebelum kedatangan sekutu, di Makassar telah terbentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia yang diketuai Manai Sophiaan dengan panasihat orangtua Maulwi Saelan.

Saat Manai Sophiaan ditangkap (28/10-1945) dan menahannya di Empress Hotel, para pemuda, termasuk Maulwi, menyerbu hotel tersebut dan Manai pun berhasil dibebaskan. Kala tentara belanda dilucuti, datang bantuan tentara Australia. Para pemuda ditangkapi, ya termasuk Saelan juga. Para pemuda baru dapat dibebaskan atas upaya gubernur Ratulangi pada 1 Januari 1982.

Kala Westerling melancarkan serangan terhadap laskar pejuang. Diputuskan sebagian berada di Sulewsi dan sebagian mengawal kepala staf Divisi Hasanudin. Mayor Saleh Lahade bertolak ke Pulau Karumunjawa dan dari situ ke Tegal, Jawa Tengah. Maulwi Saelan ikut bergerilya ke Sidobundar, Gombong, Jawa Tengah dan kemudian ke Gunung Kawi Selatan, Jawa Timur.

Pada 1958, Maulwi Saelan menjadi wakil komandan Batalyon VII/CPM Makassar. Kala itu ia dipercaya atas pengamanan Presiden Soekarno yang datang ke Sulawesi Selatan dari Manado. Nyatanya, Bung Karno sudah mengenalnya lantaran Maulwi Saelan pernah menjadi kiper PSSI di Olimpiade Melbourne (1956).

Setelah upaya pembunuhan Bung Karno pada Idul Adha (1962) dan percobaan pembunuhan sebelumnya, pemerintah memutuskan membentuk Resimen Tjakrabirawa untuk mengawal presiden. Maulwi dipanggil dari Makassar dan diangkat sebagai kepala staf dan kemudian menjadi wakil komandan.

Pada Maret 1966, para anggota Tjakrabirawa dikembalikan ke induk pasukan masing-masing, sedangkan tugas pengamanan Presiden diserahkan kepada Polisi Militer. Diakui, pada peristiwa G 30/S PKI memang ada pasukan Tjakrabirawa terlibat, tetapi menurut Maulwi Saelan, tidak lebih dari satu kompi dari keseluruhan empat batalyon dan satu datasemen (sekitar 4.000 orang).

Sempat dihilangkan pada masa Orde Baru, untunglah sejarah Tjakrabirawa sudah dimasukkan dalam sejarah Pasukan Pengawal dan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Buku berjudul Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, menurut penulisnya, merupakan romantika perjalanan hidup. Om Saelan berharap buku yang bercerita tentang revolusi fisik bangsa Indonesia diharapkan memiliki manfaat besar bagi generasi mendatang.

Terlebih ia punya pengalaman pahit pada hari-hari terakhir bersama Bung Karno, yang dipenuhi hujatan dan hinaan yang dilemparkan pahlawan Orde Baru. Bangsa Indonesia yang dikenal lemah lembut ternyata mudah marah dan meludahi muka orang untuk menghina.

Pada buku tersebut Maulwi Saelan juga meluruskan pernyataan Antonie Dake yang menyebut ia datang ke Halim pada 29 September 1965 untuk menyiapkan tempat istirahat Bung Karno. Juga ia meluruskan bahwa yang menembak Arif Rahman Hakim pada 24 Februari 1966 bukan prajurit Tjakrabirawa di depan istana, melainkan anggota patroli Garnisun di Lapangan Banteng.

Om Maulwi Saelan, meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan pada Senin, 10 Oktober 2016 pukul 18.30 WIB.

Sumber bacaan satu dan dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun