Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stereotip Negatif, SARA, dan Upaya Mengatasinya

5 Juni 2020   11:44 Diperbarui: 7 Juni 2020   02:18 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesan perdamaian di Monumen Taman Tionghoa, TMII. Foto | Dokpri

Juga ketika menghadapi etnis lainnya, ketika tengah berkecamuk konflik antaretnis, cepat disimpulkan seseorang berada pada posisi lawannya. Apa lagi jika kepala daerah mengeluarkan pernyataan keberpihakan kepada etnis tertentu.

Peribahasa di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung dapat dimaknai keberpihakan kepada warga lokal. Etnis pendatang dimaknai tak tahu adat.

Namun, ini yang penulis lakukan, ada cara unik untuk menghindari diri dari stereotip negatif terhadap etnis tertentu. Nah, lantaran penulis di Jakarta banyak bersentuhan dalam kehidupan sehari-hari dengan etnis Batak, pada suatu kesempatan penulis melakukan perjalanan ke Sumatera Utara.

Dari satu kebupaten ke kabupaten disinggahi. Penulis naik bus umum, di terminal duduk di warung kopi. Meski perjalanan melelahkan, seperti dari Medan ke Kabupaten Mandailing Natal butuh waktu 13 jam. Ya, ditempuh. Padahal perjalanan dari Sumatera Barat jauh lebih cepat.

Demikian juga untuk mengatasi rasa 'ngeri' menghadapi sikap warga etnis Madura. Penulis mengunjungi pulau garam, dan berbicara dengan tokoh agama di kampung hingga petinggi pondok pesantren di situ.

Nah, itu adalah salah satu cara yang penulis lakukan agar diri tak tertipu dengan stereotip negatif. Dan, hal serupa juga bisa diatasi oleh orang lain dengan cara banyak bergaul dengan etnis lain darimana pun mereka berasal, tanpa memandang asal usulnya.

Madrasah atau sekolah, sesungguhnya lembaga pendidikan terbaik bagi anak-anak untuk berinteraksi dan mengenal rekan-rekannya dari berbagai daerah.

Jadi, sungguh tepat jika mantan Presiden Amerika Serikat Barak Obama menarih perhatian untuk berperang melawan stereotip negatif (Islam) di mana pun mereka muncul. Dan, ulama Buya Hamka yang juga aktivis dan sastrawan Indonesia 1908-1981, menekankan arti pentingnya cinta.   

Katanya, cinta itu perang, yakni perang yang hebat dalam rohani manusia. Jika ia menang, akan didapati orang yang tulus ikhlas, luas pikiran, sabar dan tenang hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus asa, sesat, lemah hati, kecil perasaan dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan pada diri sendiri.

Salam berbagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun