Maksudnya, bahwa penulis pun yang bermata sipit itu bisa membaca Alquran.
Ketika penulis keluar masjid, sungguh beberapa warga setempat sudah menyalipkan clurit di pinggangnya. Wuih, ngeri jika diingat.
Tanpa sadar, penulis pun mengucap salam. Lalu, pura-pura tak mengerti, bertanya, ada apa? Namun yang terjadi adalah mereka balik bertanya, ingin tahu asal usul penulis. Di antaranya ada yang bernada kasar, tetapi juga bersuara lembut.
Setelah mengetahui jati diri penulis, kerumunan warga setempat bubar dengan sendirinya. Nah, sejak itu, jika penulis hendak masuk ke wilayah pedalaman Kalimantan Barat, selalu singgah dan menjumpai tokoh etnis Madura. Mereka menerima penulis bagaikan seorang saudara.
**
Sungguh menjengkelkan kala konflik antaretnis berlangsung. Sebab, disitu hadir provokator. Mereka memainkan awak media dengan pernyataan-pernyataan menyesatkan lewat pesan tertulis. Ini pengalaman penulis, kala terjadi penyerbuan sebuah gereja muncul pernyataan pelakunya dari kalangan etnis Madura.
Pernyataan itu demikian cepatnya muncul di media massa. Padahal pihak berwajib belum melakukan penyelidikan secara komprehensif. Setelah dilakukan penyelidikan secara seksama oleh pihak terkait, disimpulkan pelakunya mengenakan sepatu boots.
Namun tak disebutkan identitas pelakunya secara lengkap. Ada yang menyimpulkan mereka adalah tentara, namun pernyataan itu dibantah pihak otoritas setempat.
Pada lain waktu, sebuah masjid dikabarkan dibakar. Setelah penulis cek ke lokasi, tanda kebakaran itu seperti sudah direkayasa. Mengapa keseimpulannya demikian. Ya, sebab, yang terbakar bagian mihrabnya saja. Dan, ketika pelakunya ditangkap, disebut mereka menderita sakit gila.
**
Konflik antaretnis, kebencian kepada etnis tertentu di negeri ini, jika kita mau jujur dengan sendiri sendiri, masih bersemanyam kuat di antara kita. Seperti tadi, yang dialami penulis, lantaran bermata sipit berkulit putuh selalu saja jadi sasaran "pemerasan".