Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasiana Itu Racun atau Madu?

20 November 2019   15:56 Diperbarui: 20 November 2019   16:11 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, madu dan rokok. Foto | Maduasli.co.id

Hmm. Sudah dua pekan tak aktif menulis di Kompasiana. Rugikah?

Bagi pembaca Kompasiana, ya nggak lah. Bisa jadi jawabnya, emang gue pikirin. Siapa elu ?

Tapi bagi penulis yang sudah lama aktif, rugi berat. Seberat apa? Segunung. Susah diukurnya.

Sebab, bagi saya, Kompasiana itu adalah "racun".

Eeit, admin jangan marah dulu, ya?

Bagaimana tidak bisa disebut racun, atau paling tidak disebut sebagai nikotin yang melekat pada sebatang rokok.

Gambarannya begini. Jika Anda gemar merokok seperti penulis kala masih muda belia, merokok membuat diri menjadi ketagihan. Ujungya, menjadi kebiasaana dalam hidup.

Meski tak kecanduan berat dan banyak menghabiskan rokok rekan kala ngobrol, kebiasaan buruk itu tak patut dicontoh. Dan, sekedar menggambarkan bahwa orang yang kecanduan rokok itu memperoleh kenikmatan tersendiri. Sulit dilukiskan dengan kata-kata karena sangat pribadi sekali. Pokoknya nikmat.

Begitu juga bagi penulis. Aktif dan banyak menulis di Kompasiana terasa bagai "kecanduan". Dapat dibayangkan orang yang tengah kecanduan itu tiba-tiba harus berhenti? Pengalaman penulis tak aktif selama dua pekan terasa tersiksa diri ini. Tak membaca karya rekan-rekan dan berbagai sesama selama sepekan membuat diri kehilangan sesuatu. Ada yang terasa tak sempurna dalam hidup.

Pekan lalu mau duduk di hadapan komputer tak sempat lantaran harus mengawasi kegiatan para tukang bangunan di rumah. Maklum, musim penghujan sudah dekat. Takut bocor mengenai ruang baca dan menulis.

"Wuih, berat beeng deh,"  kata tetangga sebelah yang orang Betawi.

Lantas, bolehkan "keracunan" menulis di Kompasiana itu bermakna positif,  atau disebut sebagai "madu" ?

Penulis berpendapat, bisa juga disebut sudah ketagihan madu. Ketagihan madu dari Yaman yang banyak dijual di Pasar Jeddah, Arab Saudi. Madu di sini sangat terkenal. Jemaah haji dari Indonesia kala musim haji sering bertandang dan berbelanja di tempat itu. Keren.

Tapi tentu bukan bermaksud bahwa Kompasiana itu "madunya" penulis. Hati-hati dengan kalimat itu karena bila diplintir dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan rumah tangga. Kompasiana sejatinya telah menjadi wadah positif untuk menyalurkan gagasan, pikiran dan hiburan. Melalui media Kompasiana pula diperoleh hiburan dan pendidikan, perluasan wawasan yang dituangkan rekan-rekan penulis lainnya.

Pokoknya, di Kompasiana didapati informasi beragam.

Jika kita membaca surat kabar atau mendengarkan radio dan menyaksikan tayangan berita melalui televisi, beragam komentar atas pemberitaan yang tengah aktual cepat didapati di Kompasiana. Melalui Kompasiana seolah suara kita terwakili oleh para penulisnya. Lantas, penulis ikut-ikutan dengan mencari sisi lain yang belum diungkap.

**

Penulis mengapresiasi Tjiptadinata Effendi, pendiri dan Ketua Yayasan Waskita Reiki Pusat Penyembuhan Alami yang bermukim di Australia. Ia rajin menulis di Kompasiana dan dari sinilah penulis merasa termotivasi untuk ikut jejak beliau dalam hal tulis menulis.

Penulis ini juga kaya hati. Ia pernah menghadiahi penulis beberapa buku, termasuk buku bernuansa Tarekat. Bacaannya tinggi sekali.

Melalui tulisan-tulisannya, ia banyak melontarkan gagasan dan hal yang penting bahwa dalam menulis (di Kompasiana) tidak boleh berdusta. Katanya, sekali berdusta, maka dalam hitungan detik sudah cepat menyebar ke seluruh dunia. Wuih, makanya hati-hati.

Ia melukiskan pengalamannya, "begitu saya posting tentang perjalanan ke Kalgoorlie,dalam hitungan detik ,sudah ada pesan WA dari cucu dan ponakan di Indonesia.Bahkan adik kami yang berada nun jauh di negeri asalnya Ice Cream Gelato, yakni Italia."

Pengalaman pribadi menulis di Kompasiana, awalnya sungguh menjengkelkan. Mengapa? Ya, lantaran ditolak.

Kok, bisa ya?

Bisa jadi karena yang punya kuasa adminnya. Kecewa? Ya, tidak. Sebab, cara menolaknya sangat halus. Tulisan tak sesuai syarat dan ketentuan, kutipan tak boleh bla ... bla dan seterusnya. Begitu alasannya.

Penulis sebut cara penolakannya sopan lantaran jika dibandingkan pada tempo doeloe, redaktur menolak karya jurnalisnya dengan cara kasar. Naskah yang sudah diketik rapi dan kemudian dinilai tak laik terbit, oleh redaktur dikoyak di muka si wartawan.

Lembaran kertas hasil karya berupa liputan kemudian dilempar ke keranjang sampah. Lalu, si jurnalis diminta menulis lagi.

Jika sudah diberi tahu cara menulis harus sesuai panduan tak juga dipatuhi, jangan nilai redaktur tadi makin ramah. Bisa jadi redaktur makin marah dan mengeluarkan kalimat kasar.

Itu pengalaman masa lalu penulis, sih!

Nah, kebiasaan menulis sesuai panduan menulis di tiap manajemen surat kabar (kantor berita) berbeda-beda. Setiap penerbitan, sepengetahuan saya, punya panduan dan langgam dalam menulis artikel, berita atau pun opini di medianya masing-masing.

Ada yang menekankan banyak kutipan dan melarang kalimat opini masuk. Tapi, untuk media sosial, yang longgar sekali aturannya.

Karena itu, pada awal menulis di Kompasiana, kebiasaan menulis mengutip sumber berita terlalu banyak tak diperkenankan. Maka, jadilah tulisan itu ditolak admin Kompasiana.

Beruntung, tulisan di Kompasiana banyak yang bagus-bagus. Penulis pun benyak menimba pelajaran dari rekan-rekan di sini. Hingga akhirnya, Kompasiana menjadi "madu" yang mengasikan dalam dunia tulis menulis.

Salam hormat. Sekedar berbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun