Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melakoni Buzzer dengan Saling Cinta Sesama, Mungkinkah?

12 Oktober 2019   09:40 Diperbarui: 12 Oktober 2019   09:57 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, aktivitas buzzer. Foto | Republika

 

Apa pun profesinya, jika didedikasikan untuk ibadah akan memberikan manfaat bagi orang banyak, sekalipun menjalani kegiatan sebagai buzzer. Sampaikan meski itu satu ayat.

Sungguh, menggaungkan suara bernilai positif sangat dianjurkan.   Terlebih pesan positif itu bermanfaat bagi orang banyak. Bukan saling caci-maki, berbohong atau menyebarkan fitnah.

Dulu, ketika internet belum dikenal di negeri ini, para pimpinan partai politik mewajibkan kepada anggota dan para kader partai untuk menguatkan garis kebijakan partai. Caranya, para kader menyuarakan kebijakan pimpinan partai.

Para kader di berbagai daerah harus bersuara lantang, bersuara menyampaikan dan mensosialiasikan kebijakan partai. Sesungguhnya para kader -- apa pun nama partainya -- saat itu telah bertindah sebagai buzzer. 

Hanya saja sebutan buzzer saat itu belum dikenal seperti sekarang. Maka, di berbagai daerah, sering kita dengar kebijakan partai telah sejalan dengan pucuk pimpinannya.

Sampai di sini, apa pun pesan dari pimpinan mudah dikontrol. Kesalahan dalam penyampaian kebijakan partai mudah diperbaiki. Kualitas anggota partai pun dalam berkomunikasi dapat dipantau.

Peran kader dalam era globalisasi hingga dunia maya kini makin berperan. Melalui jaringan internet seperti kita kenal sekarang ini, isi pesan komunikator melalui jaringan internet dan WhatsApp (WA), makin cepat diterima para komunikan. Sayangnya, suara partai terasa makin bising.

Hal itu terjadi lantaran saking banyaknya informasi melalui dunia maya. Pesan partai ikut campur aduk dengan pesan lainnya. Kesan yang muncul, kita pun lantas dibuat pusing sendiri.

Sebab, mana informasi yang dapat dipercaya dan patut dihindari makin sulit dibedakan. Munculnya berita bohong (hoax) ikut mempersulit keadaan lantaran dewasa ini dunia maya mudah dipadati informasi sampah.

Event Pimilihan kepala daerah (Pilkada) hingga pemilihan presiden (Pilpres) beberapa waktu lalu masih terngiang dalam ingatan melalui beragam berita bohong. Antaranggota partai berbeda saling menjatuhkan melalui pesan di media sosial.

Perang di dunia maya pun makin terasa sengit menyusul setelah partai-partai melalui tim suksesnya membangun portal atau website masing-masing. Hehehe seru!

**

Sayogiaya kita dapat memetik pelajaran dari beragam peristiwa buruk yang terjadi kala berlangsung Pilkada dan Pilpres. Kantor polisi kerap didatangi pelapor lantaran nama baiknya dicemarkan. Sayangnya, hingga kini, masih di antara kita asyik dengan keegoannya yang makin menguat.

Itu dapat kita saksikan kala Menkopolhukam Wiranto ditusuk salah seorang anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), malah dikomentari "miring".  Nyinyir.

Seperti diwartakan di berbagai media (sosial) Hanum Rais menyebarkan ujaran kebencian soal peristiwa penusukan Menkopolhukam Wiranto.

Cuitan Hanum Rais yang dimaksud itu berbunyi, "setingan agar dana deradikalisasi terus mengucur. Dia caper. Krn tdk bakal dipakai lg. Play victim. Mudah dibaca sbg plot. 

Diatas berbagai opini yg beredar terkait berita hits siang ini. Tdk banyak yg benar2 serius kenanggapi. Mgkn krn terlalu banyak hoax-framing yg selama inu terjadi".

Dari Fenomena Buzzer terkait peristiwa buruk yang menimpa Wiranto, patut kita ajukan pertanyaan kepada buzzer yang melontarkan celotehan "miring" atau negatif. Bagaimana perasaan yang muncul jika peristiwa serupa menimpa orang tua atau anggota keluarga anda?

Penulis yakin, warga Indonesia akan lebih banyak memberi simpati daripada berceloteh tidak "kepuguhan", tidak pada tempatnya. Terlepas siapa yang mengalami nasib naas itu. Sebab, masyarakat Indonesia masih banyak yang meyakini dan mengamalkan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lantas, bagaimana agar kita menjadi buzzer yang dalam kalimatnya selalu memiliki nilai ibadah.

Tidak terlalu sulit sih jika kita mau menengok pesan para nabi dan rasul yang selalu menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan, mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar.

Dalam jurnalistik, hal itu dikenal sebagai jurnalisme profetik (jurnalisme kenabian). Ditekankan menjadi jurnalis itu adalah ibadah. Fungsi pers dan kode etik jurnalistik bersifat universal.

Penulis tak bermaksud menggurui buzzer untuk menjadi seorang jurnalis yang baik. Juga tak bermaksud menjadi pendakwah melakukan tugas kenabian.

Tetapi, melalui tulisan ini, hanya ingin menekankan bahwa jika pesan yang digaungkan semata ditekankan kepada kepatuhan penuh, sukarela, suka cita dan penuh cinta kepada sesama sebagai ibadah kepada Illahi.

Sejatinya, manifestasi ajaran agama apa pun yang paling sublim - menampakkan keindahan yang tertinggi dan mulia - dan bisa diterima oleh semua pemeluk agama adalah cinta. Karena itu, jadilah buzzer yang saling mencintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun