Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lika-liku Senyum Laki-laki ketika Bicara Poligami

8 Juli 2019   04:00 Diperbarui: 10 Juli 2019   21:02 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai konsekuensi ketidakadilan terhadap kaum perempuan itu, maka perceraian pun makin banyak terjadi. Dampak dari ikutan dari perceraian itu adalah pintu masalah mental dan sosial bagi anak-anak, keluarga besar, bahkan lingkungan sosial terdekat terbuka lebar.

Akibat lainnya, anak yang dihasilkan dari kawin siri itu lemah dari sisi hukum negara atau UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk mengantisipasi hal buruk itu, rencanya, di dalam qanun akan dituangkan ketentuan poligami dengan segala syaratnya. Salah satunya harus ada surat izin yang dikeluarkan oleh hakim Mahmakah Syar'iyah.

**

Menurut UU Perkawinan, perkawinan menjadi sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Namun Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dan dalam dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Pengadilan hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat-syarat adanya persetujuan dari istri (atau istri-istri); adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Jika melihat sepintas qanun dalam draf, penulis berpandangan isinya tak akan jauh dari UU Perkawinan.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun