Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lika-liku Senyum Laki-laki ketika Bicara Poligami

8 Juli 2019   04:00 Diperbarui: 10 Juli 2019   21:02 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi poligami. Foto | istock

Sepekan terakhir ini di tengah masyarakat tengah ramai pembicaraan tentang poligami terkait Rancangan Qanun (Perda) Hukum Keluarga pada Pemerintah Aceh.

Draf qanun yang merupakan usulan pihak eksekutif (Pemerintah Aceh) kini tengah dipelajari anggota DPRA setempat dan seluruh materinya tengah dikonsultasikan dengan Kementerian Agama.

Dapat dipahami bahwa soal poligami perlu mendapat penegasan dalam qanun mengingat Aceh merupakan daerah bersyariat Islam. Jadi, wajar bila melihat qanun yang diatur dalam draf tersebut menyangkut perkawinan, perceraian, harta warisan dan poligami.

Realitasnya, kini pembicaraan poligami tengah naik daun. Pekerja kantoran ikut membahas hal itu kala jam istirahat di kantin. Sementara di kafe dan kedai kopi tepi jalan tak kalah ramainya membincangkan poligami yang sejak lama memang sering dibahas secara formal maupun diam-diam. Di dunia maya pun tak kalah seru, ikut meramaikan perihal pembahasan poligami. Kaum Adam, bisa jadi, kini jadi tersenyum.

Di berbagai kesempatan, kala poligami dibahas, kadang terdengar dari kalangan kaum Adam menanggapi dengan enteng. Jika saja seorang pemuka agama dibenarkan berpoligami, punya istri lebih dari empat, mengapa umatnya harus diatur negara.

Contoh sudah jelas ada. Mengapa negara dan ulama harus repot. Meminjam istihal Gus Dur, urusan gitu kok jadi repot. Ramai pula. Beginilah urusan agama kalau sudah dicampur-adukan dengan kepentingan negara.


Ada pihak lain berkomentar miring. Untuk mengambil istri lebih dari satu atau melakukan poligami, yang penting kemampuan finansialnya. Lantas ia sambil tersenyum melanjutkan kalimatnya, untuk berpoligami dapat dilakukan dengan cara nikah siri.

Semua itu bisa diatur meski ke depan tidak dicatat dalam catatan sipil (negara). Lagi pula, sejauh tidak melanggar hukum agama, nikah dengan cara kontrak pun bisa ditempuh.

Di sisi lain, sudah menjadi fakta ketika kaum Adam bicara poligami sering melupakan aspek penting dalam perkawinan. Yaitu, peran suami yang harus bertanggung jawab dalam urusan ekonomi keluarga.

Termasuk aspek berkeadilan dalam menjalankan peran sebagai kepala keluarga dari sisi kebutuhan rohani dan jasmani. Ya, termasuk urusan biologis yang kerap didengungkan.

**

Rencana Pemerintah Aceh melegalkan poligami yang diatur dalam Rancangan Qanun Hukum Keluarga kini tengah digodok Komisi VII DPRA. Rancangan itu diharapkan dapat disahkan menjadi qanun pada September nanti, menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPRA periode 2014-2019.

Terdengar kabar bahwa saat ini, pihak Komisi VII sedang melakukan proses konsultasi draf rancangan qanun tersebut ke Jakarta, yakni ke Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

"Draf qanunnya dikonsultasikan," kata Wakil Ketua Komisi VII DPRA, Musannif, kepada Serambi, Jumat (5/7/2019) siang.

Poligami dalam Alquran dibenarkan. Namun di sebagian orang yang diingat adalah tentang dibolehkannya poligami itu tapi melupakan kalimat kelanjutannya. Yaitu, mewujudkan keadilan dalam keluarga. Itu yang pentingnya.

Sejatinyanya monogami (satu istri) lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya, daripada poligami. Itu berarti mewujudkan keadilan lebih sulit daripada monogami. Lalu, bagaimana poligami yang dilakukan dengan cara nikah siri. Ya, sama sulitnya.

Hingga kini penulis belum pernah mendapati suami yang melakukan poligami dan punya tanggung jawab dalam membina keluarga dengan adil dan bertanggung jawab. Lagipula, siapa yang dapat mengukur suami itu berbuat adil? Jadi, idealnya poligami sebaiknya dihindari.

Rasulullah memonogami dengan Siti Khatijah selama 25 tahun dan hanya 8 tahun berpoligami. Penulis setuju dengan kalimat seperti ini, bedakan dengan umatnya. Harusnya kaum Adam sudah punya referensi tentang hal ini.

**

Lalu, apa sih alasan Pemerintah Aceh terlihat "ngotot" melegalkan poligami? Bukankah di negeri ini sudah ada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

Alasannya sederhana. karena selama ini pologami sudah banyak terjadi di Tanah Rencong itu. Mereka kebanyakan melakukannya melalui nikah siri. Sayang, tak ada angka atau hasil survei tentang ini sehingga alasan ini meragukan penulis.

Namun kita paham bahwa akibat nikah siri itu kaum perempuan mendapat ketidakadilan dan tidak terlindungi hak-haknya sebagai istri atau ibu dari anak yang lahir dalam pernikahan siri.

Sebagai konsekuensi ketidakadilan terhadap kaum perempuan itu, maka perceraian pun makin banyak terjadi. Dampak dari ikutan dari perceraian itu adalah pintu masalah mental dan sosial bagi anak-anak, keluarga besar, bahkan lingkungan sosial terdekat terbuka lebar.

Akibat lainnya, anak yang dihasilkan dari kawin siri itu lemah dari sisi hukum negara atau UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk mengantisipasi hal buruk itu, rencanya, di dalam qanun akan dituangkan ketentuan poligami dengan segala syaratnya. Salah satunya harus ada surat izin yang dikeluarkan oleh hakim Mahmakah Syar'iyah.

**

Menurut UU Perkawinan, perkawinan menjadi sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Namun Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Dan dalam dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Pengadilan hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud harus memenuhi syarat-syarat adanya persetujuan dari istri (atau istri-istri); adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Jika melihat sepintas qanun dalam draf, penulis berpandangan isinya tak akan jauh dari UU Perkawinan.

**

Dalam kehidupan keseharian, kerap dijumpai kasus lelaki yang ingin menjalani kehidupan poligami sering memanfaatkan kalimat berbuat adil. Sayangnya itu hanya sebatas di bibir.

Ini biasanya terjadi pada lelaki yang memiliki kecukupan uang, kaya dan mapan. Dengan kekayaan melimpah, lelaki bersangkutan memandang wanita seperti dapat "dibeli". Apalagi bila lelaki bersangkutan berstatus sosial tinggi di tengah masyarakat. Untuk melakukan nikah, kapan dan di mana pun dapat diatur dan dilakukan.

Yang bersangkutan merasa mudah mengatur orang-orang guna menyelesaikan persyaratan perkawinan. Dokumen perizinan dari istri pertama hingga ketiga, misalnya, bisa diperoleh dengan cara pemalsuan. Penghulu bisa diakali dengan iming-iming bayaran tinggi. Maaf, pelaku yang berkeinginan hidup dengan wanita lebih dari tiga justru datang dari kalangan orang terpandang dan memiliki pemahaman agama yang bagus.

Penulis pernah mendapati di salah satu KUA Pulo Gadung yang mendapat "tekanan" untuk segera menikahkan seorang terpandang dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan. Yang bersangkutan ingin punya istri ketiga. Kala dimintai kelengkapan dokumen, yang bersangkutan menyebut akan melengkapinya seusai akan nikah. Artinya, dokumen segera menyusul mengingat undangan sudah tersebar ke berbagai pihak.

Permintaan ditolak dengan alasan dokumen pendukung tidak ada. Terjadi "kehebohan" karena pihak penghulu bertahan dengan berpegang pada aturan, sedang pihak yang sudah ngebet nikah dan hidup berpoligami merasa berhak dinikahkan. Begitulah, ketika syahwat lelaki menguasai dan melumpuhkan akal sehat.

Sumber bacaan: satu dan dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun