Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Meski Terombang Ambing, Pers Tetap Jadi Wasit Terbaik

25 April 2019   12:28 Diperbarui: 25 April 2019   12:54 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo. Foto | Dokpri

Sejak memasuki tahun politik hingga pasca Pilpres 2019, posisi pers nasional bagai terombang ambing. Beruntung awak media yang berada di kapal tengah mengarungi lautan itu tidak karam.

Di penghujung tahun politik, dua kubu Pilpres saling klaim kemenangan. Kubu 02 Prabowo Subianto - Sandiaga S. Uno mendeklarasikan kemenangan Pilpres 2019 dengan mendasarkan hasil hitung internal.

Juga kubu 01 Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin melakukan hal serupa dengan berpegang pada hasil hitung cepat. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih melakukan rekapitulasi suara.

Jika kita cermati dalam waktu bersamaan, pers tak lagi mengindahkan kedalaman berita. Awak media telah mengembangkan jurnalisme talking news. Proses editing tak maksimal. Sebuah ucapan dari narasumber ditelan mentah-mentah, disuguhkan ke publik sebagaimana adanya.

Realitas itu membuat kita tersadar. Bahwa peristiwa itu adalah bagian konsekuensi yang harus diterima dari kemajuan teknologi informasi. Pers tak lagi bisa menolak kenyataan tuntunan mengejar aktualitas dan kecepatan yang demikian tinggi. Tanpa sadar pers tak lagi mementingkan apakah dirinya tengah berada di pihak 01 atau 02.  

Tegasnya, pers dalam melaksanakan profesinya telah terbelah. Namun keadaan itu juga banyak terjadi di tengah masyarakat dan profesi lain. Sebut saja ulama terbelah, organisasi kemasyarakatan (Ormas) terbelah, partai politik terbelah. Profesi lain pun mengalami hal sama meski tak diakui secara formal.


Pada situasi memanas, pers pun tak dapat mengelak untuk mengekspose suatu pernyataan dari pihak yang tengah bersengketa. Kenyataan ini diakui Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.

Pemilu 2019 seharusnya menjadi proses pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, realitasnya, pers telah mengekspose komentar-komentar orang yang menimbulkan kemarahan.

Sungguh memprihatinkan, kita membiarkan meme beredar massal di media sosial dengan cara merendahkan sekaligus melecehkan para politikus dan calon-calon pemimpin kita.

Pria yang akrab disapa Stanley, di acara Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Wartawan se-Indonesia di Cisarua, Bogor, Rabu (24/4), mengingatkan bahwa di tengah situasi para pendukung kedua kubu terus menggalang massa dan opini, maka media perlu skeptis dan menguji kebenaran semua informasi yang didapat.

Pers ditekankan perlu mengubah jurnalisme talking news dengan jurnalisme presisi. Pers harus melakukan cek dan ricek terhadap semua fakta, data dan informasi yang disampaikan semua pihak.

Pers harus kembali kepada peran dan fungsinya, yakni menyebarkan informasi secara faktual, akurat, netral, seimbang, dan adil. Selain itu, media juga perlu skeptis dan menguji kebenaran semua informasi yang didapat.

Sejatinya, pers memang jauh hari sudah harus dapat mengantisipasi kenyataan pahit yang menyebabkan dirinya terbelah. Sebab, pada Pilpres 2014 silam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengingatkan para pengelola media massa.

"Hakikatnya saya ingatkan pada insan pers dan media massa, media massa adalah milik publik dan untuk kepentingan publik bukan hanya pemilik modal," kata Presiden SBY di Sentul International Convention Center (SICC), Jawa Barat, Selasa (3/6/2014).

Pers diminta melakukan pemberitaan yang akurat dan konstruktif. SBY mengatakan, dia tidak akan berhenti bersuara agar pers bersuara dengan seimbang meskipun dia tak lagi menjadi presiden nantinya.

Lalu, ketika dua kubu kini tengah berseteru, apa yang bisa dilakukan pers? 

Pers harus fokus pada masalah dan penanganan yang dilakukan oleh Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Komisi Yudisial, dan tentu saja Mahkamah Konstitusi (MK).

"Para wartawan harus selalu mengecek peraturan perundangan terkait pemilu yang berlaku. Jangan segan bertanya pada ahli yang berkompeten dan kredibel, bukan pengamat yang partisanship-nya tinggi," kata Yosep.

Para wartawan juga perlu berhati-hati dalam menggunakan informasi di media sosial. Perlakukan apa yang ada di media sosial hanya sebagai sebuah informasi.

Dalam situasi ini, wartawan perlu menghindari ekspose pernyataan yang tak diperlukan dari pihak yang bersengketa.

Informasi itu bisa jadi bahan awal untuk menulis berita, tapi tetap perlu melakukan verifikasi atas kebenaran faktualnya dan melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait.

Hal ini untuk mencegah munculnya hoaks. Ingat, junjung tinggi Kode Etik Jurnalisme yang menjadi pegangan kita dalam bekerja. Berita harus berbasis pada fakta.

Kendati Pilpres 2019 masih diwarnai "bising", yakinlah pers masih bisa menjadi wasit dan inspektur pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama, dan bukan menjadi "pemain" menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap media.

Pers diharapkan menjadi pendorong pemberitaan yang berorientasi pada problem solver terhadap masalah yang sedang dihadapi.

Kalau gitu, indahkan?

Sumber bacaan satu dan dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun