Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Janda "Genit" Berkacamata Cengdem

2 November 2018   04:14 Diperbarui: 2 November 2018   04:12 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Foto | Fifty-Five Plus Magazine

Celana ketat, kaos juga harus ketat dipakai di badan. Maksudnya, biar tonjolan pada bodi lebih tegas terlihat. Agar terlihat lebih bahenol, dada harus sedikit terbuka. Untuk kepala, nggak perlu sih mengenakan penutup terlalu rapat, seperti hijab. Kita kan olahragawan. Jadi, ya cukup topi. Tapi, agar lebih kinclong dan raut muka kelihatan manis dari kejuhan, kenakan kaca mata hitam.

Cukup harganya yang cengdem. Keren, kan? Dan, sekarang tinggal sepedanya. Ya, tentu sepeda yang berkelas. Kalau sepeda macam pemberian Pak Jokowi, nggak kelas, belum masuk levelnya. "Aku mau nggowes. Ya, perlulah kaca mata cengdem. Jangan lihat harganya, di balik kaca hitam itu, mata leluasa. Siapa yang bisa 'dibetot', siapa yang hanya melotot?"

"Jadi, lu nggak malu ude bangkotan pakai baju model puteri duyung. Jalan ngosek cuma ditonton lelaki?" Sri Rahayu menegur rekannya.

Laila, yang mendapat teguran bernada ngejek itu, bukan malah tersinggung. Malah menimpali dengan ucapan membenarkan atas sikapnya. Ia menyebut bahwa puteri duyung itu mahluk legendaris. Ada yang menyebut mitos. Tidak perlu dibahas karena sudah jelas, puteri duyug itu cantik. Soal jalan ngosek, seperti ikan lele, jangan dipandang ngoseknya. Sebab, goyang lele tidak semua perempuan bisa melakukannya.

"Dalam dunia perdangdutan, bukankah sudah dikenal ada goyang patah-patah, goyang gergaji hingga goyang bahenol." 

"Puih, gila lu!" "Hahahahaha," Laila tertawa ngakak menyaksikan muka merah rekannya.

Sri Rahayu menjadi marah. Baru sekali ini ia menyaksikan dan mendengar ucapan Laila seperti tidak kenal etika bagaimana berpakaian yang baik. Harusnya ia pandai membawa diri. Sehingga status janda pada dirinya tidak lantas membuat orang merenahkannya. Terlebih kini ia sudah menginjak kepala 40 tahun ke atas.

"Apakah ini yang dimaksud puber kedua," tanya Sri dalam hati sambil meninggalkan Laila yang sibuk memoles muka dengan kaca kecil di tangan kiri.

Ternyata, dugaan Sri tidak demikian. Laila tengah mencari jati diri, bagaimana enaknya menjadi perempuan bebas tanpa ikatan aturan. Boleh saja orang menasihati tentang dirinya setelah menjanda dengan seorang bocah. Toh, yang menjalani hidup itu adalah dirinya.

Orang lain hanya bisa mengatakan: kasihan si Laila. Oh, Laila sekarang begitu. Kok, Laila nggak begini. Apa lagi sang suami yang sudah di alam kubur, tentu tidak pernah tahu apa yang tengah bergolak di hatinya. Laila kini jadi jadi janda dengan kehidupan bebas. Mau masak? Ya tidak perlu. Toh warisan dari suami banyak.

Pembantu harus siap diperintah dalam 24 jam. Juru masak selalu siap. Jadi, Laila menjalani hidup cukup disimpulkan dengan tiga cara: manggut tanda setuju, menunjuk-nunjuk tanda perintah dan menggelengkan kepala tanda tidak setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun