Nah, kalau sudah begitu, tinggal bakar saja. Caranya, cari momentum yang tepat. Siram 'bensin', lempar api dari korek api terdekat. Maka, hasilnya, blam. Mengepul asap.
Kalau sudah demikian disebutnya dituding tokoh agama tak bisa berbuat apa-apa. Bencana ini terjadi karena maksiat yang dilakukan warga setempat. Termasuk ulama setempat, ikut disalahkan.
"Hai, ulama. Maksiat apa yang engkau lakukan," begitu kira-kira komentar ulama dari arah luar.
"Instrospeksilah?" pintanya lagi.
Petinggi dari Jakarta datang. Â Ia mengunjungi beberapa titik daerah konflik. Ulama, tokoh dari berbagai agama dan tokoh masyarakat dikumpulkan. Mereka diminta untuk ambil bagian memadamkan api.
Konflik antaretnis harus dipadamkan karena tak sejalan dengan Pancasila. Lalu, tokoh dari Jakarta itu berpidato penuh semangat dan berapi-api dalam konteks untuk menciptakan suasana damai di berbagai kabupaten/kota.
Setelah itu dilakukan aksi penandatanganan perdamaian. Bahkan dibuatkan tugu perdamaian.
Tahukah anda, proses perdamaian dari etnis yang bertikai cepat selesai. Api yang membara padam. Nyatanya, Â pertikaian dan kebarakan di provinsi itu adalah settingan. Aktornya, ya sang tokoh dari pusat.
**
Kata para analis politik, settingan macam cerita di atas mirip-mirip permainan elite politik menerapkan teknik saat kampanye pemilihan presiden dan anggota parelemen. Â Hal itu dapat dirasakan dalam realitas keseharian.
Pengalaman bertugas  di berbagai daerah, memperkuat keyakinan penulis bahwa arah merebut hati rakyat dengan cara membuat keruh di tengah masyarakat terdahulu sangat dirasakan.