Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memberangus "Pendidikan Berkasta" dengan Sistem Zonasi, Bisakah?

12 Agustus 2018   17:16 Diperbarui: 12 Agustus 2018   18:23 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah negeri di pinggir kota Pontianak, sepi peminat karena tak punya 'kasta favorite (dokpri)

Jika diibaratkan kantong, rasanya sudah terlalu berat dibawa karena disesaki isian beragam pertanyaan. Jika diibaratkan karung beras, bisa jadi sudah terasa berat untuk dipanggul karena demikian padat muatannya berupa pertanyaan.

Jika dia sebagai wartawan, maka benaknya sudah demikian sesak diisi 'amunisi ' berupa pertanyaan yang siap meluncur kala menemui nara sumber.

Pertanyaan-pertanyaan yang membuat benak ini terasa berat adalah seputar sistem zonasi yang diterapkan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB).  Dunia pendidikan di Tanah Air terasa dibuat heboh.

Sebut saja gaduh karena melibatkan siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, masyarakat karena penerapan sistem zonasi pada penerimaan siswa baru di sekolah negeri.

Tujuan sistem zonasi. Foto | Tirto
Tujuan sistem zonasi. Foto | Tirto
Beruntung penulis diundang Kompasiana untuk hadir pada acara bertema "Optimisme menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan Indonesia".

Maka, pergilah penulis ke Gedung Graha 1, Gedung Ki Hadjar Dewantara (Gedung A) lantai 2, Komplek Kemendikbud, Jenderal Sudirman, Senayan, Gelora, Jakarta Pusat.  Acara yang digelar di gedung megah seusai shalat Magrib pada 6 Agustus ini tentu saja dari sisi pemerintah diharapkan dapat menuntaskan 'gaduh' penerapkan sistem zonasi yang baru diterapkan.

Syukurlah, di situ, sudah berkupul kompasianer dengan latar-belakang pendidikan.  Mereka ini  seperti sudah memiliki 'amunisi' serupa. Sayangnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy tak hadir sehingga harapan mendapatkan penjelasan langsung dari orang nomor satu jadi pupus.

Betul saja, ketika Bapak Ari Santoso, selaku Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemdikbud, tampil menggantikan Muhadjir, begitu dibuka sesi tanya-jawab, peserta dengan tertib mengajukan pertanyaan.

Ada yang bertanya sambil menjelaskan berbagai kasus yang terjadi di lapangan, ada yang bertanya dengan nada tinggi hingga peserta bertanya dengan memotong bicara nara sumber.  Seruh.  Acara itu sendiri dipandu Fristian Griec  dari kompas TV.

Pertemuan dengan kompasianer, seru. Foto | Dokpri
Pertemuan dengan kompasianer, seru. Foto | Dokpri
**

Akar 'gaduh' adalah pemberlakuan sistem zonasi. PPDB mewajibkan sekolah menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima.

Kebijakan itu dimaksudkan sebagai upaya pemerataan sebagaimana dimaksud Pak Muhadjir. Ia berkeinginan keras ke depan tidak ada lagi pendikan memiliki kasta, atau bisa juga disebut sekolah favorit atau ekslusif.  

Tentu saja hal ini berbeda dengan sistem seleksi masuk ke jenjang lebih tinggi pada tahun sebelumnya. Tahun 2017 diberlakukan sistem rayonisasi. Sedang  pelaksanaan PPDB 2018 mengacu pada peraturan terbaru, yakni Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur penerimaan peserta didik baru (PPDB) lewat sistem zonasi.

Kebijakan yang tertuang pada Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 berlaku pada  jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas. Harapan pemerintah lagi-lagi ke depan adalah pemerataan kualitas dunia pendidikan harus berjalan lebih baik.

Pro dan kontra pun mengemuka ke media massa (sosial) . Harapan orang tua siswa yang sudah lama berkeinginan kuat mendapatkan sekolah favorit, ada diantaranya mengalami kecewa berat.

Ajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
Ajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
Realitasnya,memang sistem zonasi pada PPDB pada tahun ajaran 2018/2019 banyak membuat orang tua siswa 'kecele'. Mereka sudah 'all out' menghabiskan biaya tinggi untuk aktif di lembaga bimbingan belajar terpopuler, les tambahan hingga kesempatan anak untuk rileks pun sulit. Latihan tambahan, sebentar lagi latihan dan latihan soal-soal dengan pengharapan dapat meraih nilai terbaik di kelas.

Orang tua mana yang tak ingin masa depan anaknya banyak menjumpai kesulitan. Semua orang tua berharap anaknya dapat bahagia, memperoleh pendidikan dari lembaga terbaik dan dapat masuk perguruan tinggi terkemuka. Ingat, pendidikan tinggi di Indonesia pun punya "kelas dan kualitas", masih berkasta dan bergengsi.

Karenanya tidak heran pula jika ada orang tua berani melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu  memalsukan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dengan memosisikan sebagai orang miskin. Tujuannya bukan untuk mendapatkan keringanan biaya karena SKTM palsu itu diperoleh siswa dari keluarga berkecukupan, melainkan SKTM ini dibuat agar anak bisa diterima bersekolah di tempat yang diinginkan.

Tentu saja pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengetahui apa yang terjadi di lapangan. Di akun instegram milik kementerian itu dibanjiri ribuan komentar berupa keluhan calon siswa dan orang tua terhadap PPDB 2018.

Diakui oleh Ari Santoso, jubir Kemendikbud, orang tua siswa cemas lantaran posisinya tergeser beberapa kali. Ada siswa yang merasa kecewa karena NEM-nya yang tinggi dikalahkan oleh kawan dengan NEM rendah karena alasan jarak. Ada pula yang mengaku cemas kalau anaknya tidak diterima di sekolah negeri karena posisinya terus tergeser oleh calon siswa yang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah.

Lalu terdengar keluhan siswa, "Untuk apa belajar keras. Lebih baik pindah rumah dekat sekolah yang diinginkan. Teman-teman saya yang pintar, NEM di atas 300, kalah sama yang NEM-nya 130, rumah dekat [sekolah pilihan]," keluh yang lain.

Serius ikut diskusi dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
Serius ikut diskusi dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
**

Esensi dari pemberlakukan sistem zonasi adalah memberengus ketidak-adilan dalam pendidikan berkasta dan sudah terlanjur berjalan bertahun-tahun. Sayangnya, implementasi di lapangan tanpa disertai sosialisasi yang matang dan mantap.

Harusnya memang sistem zonasi PPDB dapat memberikan kesejukan kepada siswa, orang tua murid dan masyarakat. Belajar dari kasus ini, ke depan, penerapan sistem zonasi diharapkan memberi kepastian keberlangsungan pendidikan peserta didik dan menghilangkan praktik-praktik kecurangan demi menjaga karakter siswa.

Kita pun sepakat bahwa penyalahgunaan SKTM sebagai efek dari kebijakan zonasi  harus dihindari. Kebijakan sistem zonasi masih harus diperkuat untuk menghindari adanya praktek diskriminatif, karena kini hanya melibatkan sekolah negeri yang menjadi kewenangannya. Padahal, sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama  - dengan dukunga dana APBN pula -- tidak disertakan. Padahal, UU Pendidikan kita menganut bahwa pendidikan berlaku secara nasional.

Lihat, jika siswa hendak masuk sekolah Islam Cendekia di Serpong, masih tetap mengandalkan tingginya nilai siswa.

Namun kita pun mengakui sistem zonasi diarahkan untuk melindungi siswa tidak mampu secara akademik dan ekonomis dapat diterima di sekolah berkualitas, sebab cara seleksinya tidak mutlak mendasarkan pada nilai ujian nasional, tapi berdasarkan jarak rumah.

Sistem zonasi, diharapkan menjamin pemerataan akses layanan pendidikan bagi siswa; mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga; menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri; membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru. Sistem zonasi juga diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen.

Tak kalah penting, sistem ITC (Information and Communication) Kemendikbud diperkuat kala berlangsung penerimaan peserta didik baru. Harapannya, kecemasan orang tua sisa dapat diminimalisir.

Dengan cara demikian, maka upaya  mewujudkan penerapan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), dengan kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai berjenjang -  mulai  pendidikan SD sampai SLTA, dapat direalisasikan.

Berikut saya kutip Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA, Sekolah Menengah Kejuruan atau bentul lain yang sederajat.

Menyimak pembicaraan dalam pembahasan sistem zonasi. Foto | Dokpri
Menyimak pembicaraan dalam pembahasan sistem zonasi. Foto | Dokpri
Sistem Zonasi Pasal 16

(1) Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

(2) Domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB.

 (3) Radius zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi di daerah tersebut berdasarkan: a. ketersediaan anak usia Sekolah di daerah tersebut; dan b. jumlah ketersediaan daya tampung dalam rombongan belajar pada masing-masing Sekolah.

(4) Dalam menetapkan radius zona sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah daerah melibatkan musyawarah/kelompok kerja kepala Sekolah.

(5) Bagi Sekolah yang berada di daerah perbatasan provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase dan radius zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan melalui kesepakatan secara tertulis antarpemerintah daerah yang saling berbatasan.

(6) Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat menerima calon peserta didik melalui: a. jalur prestasi yang berdomisili diluar radius zona terdekat dari Sekolah paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima; dan b. jalur bagi calon peserta didik yang berdomisili diluar zona terdekat dari Sekolah dengan alasan khusus meliputi perpindahan domisili orangtua/wali peserta -11- didik atau terjadi bencana alam/sosial, paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun