***
Dalam  sejarah, pers berpolitik. Ketika Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), awak media dilibatkan sebagai peliput berita (embedded journalist). Serunya, ini pengalaman penulis, di medan pertempuran Aceh, para jurnalis mudah mengontak juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Sofyan Daud lewat telepon.
Awak media pun sadar, saat di lapangan, kedua pihak yang tengah bertempur bukan semata menghabisi lawan tetapi juga merebut hati dunia melalui peran yang dimainkan media massa.
Nah, bagaimana dengan Ketua PWI Pusat, Margiono yang secara blak-blakan mengampanyekan Joko Widodo di peringatan Hari Pers Nasional di Sumatera Barat, pada 9 Februari 2018 itu. Pernyataan itu seyogianya tidak perlu sampai menuai protes. Tetapi karena disampaikan di hadapan banyak orang, tentu saja terasa tidak elok. Tidak etis, memang. Sebab, sementara seluruh wartawan diminta tidak terlibat dalam politik praktis, dilarang menjadi tim sukses kandidat di Pilkada, tetapi sang ketua tidak memberi contoh.
Apa sanksinya bagi sang ketua?
Pendapat penulis, ya tidak pantas saja. Namun untuk sanksi, sangat tergantung dari Dewan Pers. Mencermati bicara sang Ketua Margiono saat itu, orang banyak bisa memaknai atau seolah-olah ia telah bekerja sebagai tim sukses Jokowi. Atau ia tengah mencari dukungan. Sejatinya, ia tentu sadar saat ini, masih menjabat sebagai ketua PWI. Namun jika dicarikan pasal-pasal yang dapat menjatuhkan posisinya sebagai ketua, rasa-rasanya tidak ada.
Sebab, sampai saat ini dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak satu pasal pun menyebut adanya larangan 'mendukung seseorang untuk terpilih kembali menjadi pemimpin' tertulis secara tegas.Â
Apa lagi jika dikaitkan dengan pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, dan seterusnya.Â
Pers berpolitik, dan itu memang sulit dihindari. Sebab, dalam keseharian, pers selalu bersinggungan dengan politik. Pers kadang bekerja bagai bandul lonceng. Bergerak ke kiri dan ke kanan. Ia juga kadang genit bagai seorang ratu, namun gerakan itu tetap pada koridornya sendiri.