Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pers Berpolitik Karena Bersinggungan dengan Penguasa

14 Februari 2018   04:07 Diperbarui: 14 Februari 2018   08:55 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih, Jakarta. Foto | Dokpri

Dalam sejarahnya tidak pernah pers lepas dari politik praktis. Ia selalu bersinggungan, bahkan kadang saling membutuhkan bagai ikan di air dengan penguasa. Orang pers boleh saja menepuk dada sebagai pembawa dan penyebar berita yang berimbang dan netral. Namun, tatkala iklan seret masuk ke bagian pemasaran dan operasional para jurnalis terganggu, godaan merendahkan martabat menguat.

Pers boleh mendeklarasikan diri sebagai pembawa amanah terpercaya. Namun mana kala menghadapi tekanan dari penguasa, ia mencari jalan kompromi dan lobi agar tidak dibredel. Pengelola media atau orang-orang pers selalu mengambil sikap bagai belut. Licin dan mencari celah untuk keluar dari tekanan.

Pers kadang bagai air sungai yang mengalir, jika dibendung akan mencari celah untuk keluar. Ketika ada lubang, ia memancar keras.

Penguasa mana pun sadar bahwa pers sebagai pembawa suara dengan segala fungsinya. Berita yang disuguhkan ke tengah masyarakat akan membawa dampak tersendiri jika pers ditekan dan tertekan. Namun para jurnalis dan para pengelola media juga adalah manusia biasa, butuh "logistik" untuk menjamin kesinambungannya dan mempertahankan jati dirinya.

Penguasa atau pemerintah -- sejak lahirnya surat kabar tulisan tangan hingga mesin cetak -- kehadiran pers hingga kini tetap dibutukan. Di zaman Romawi, dikenal "fama" yang sebenarnya untuk saat itu dimaksudkan sebagai kabar angin. Untuk sekarang, bisa jadi disamakan dengan berita bohong atau hoaks (hoax).

Berita semacam "fama" itu, oleh penguasa setempat saat itu, disadari dapat merugikan dan bahkan berbahaya. Berita dari mulut ke mulut mengalami perubahan, ditambah, dikurangi, kadang hanya berdasarkan dugaan-dugaan. Jelasnya, - namanya berita dari mulut ke mulut, - meski disebut saat itu sudah aktual, tetapi tetap saja kebenarannya sangat diragukan.

Gambaran pers sudah terlibat politik dapat terlihat pada tahun 1593. Ketika itu sudah ada surat kabar tulisan tangan. Ratu Elizabeth, penguasa saat itu, tercatat dalam sejarah sudah memanfaatkan surat kabar sebagai alat untuk memperoleh dukungan. Padahal saat itu sensor dari penguasa cukup ketat.

Drs. A.M. Hoeta Soehoet dalam buku Asal Mula Surat Kabar -- terbitan PTP -- Press No.XVI/1978 -- menulis bahwa suatu brochure (yang anonim) menyebarkan berita bahwa Ratu telah diperlakukan oleh para penasihatnya hanya sebagai patung dan bukan sebagaimana seharusnya Ratu yang dihormati saat itu.

Lalu, brochure itu dilarang beredar oleh pemerintah. Namun Ratu minta kepada sekretarisnya dengan menyebut apa yang ditulis dalam brochure itu benar adanya. Lalu, pernyataan Ratu tersebut menyebar ke surat kabar tulisan tangan.

Hasilnya, membaca tulisan tersebut maka para pembantu Ratu menjadi takut (ketakutan). Dengan demikian, Ratu lebih mudah menekan para pembantunya itu.

Saat itu, Ratu Elizabeth juga sangat pandai memilih penulis surat kabar. Ia minta Emanuel Tomascon menulis hukuman pancung Ratu Marie Suart. Si penulis menggambarkan bahwa hukuman itu sebagai hukuman yang adil yang dijatuhkan Ratu Elizabeth. Si penulis bisa mengungkap demikian menarik dalam tulisannya, karena ia mengetahui hal-hal apa saja yang sangat menarik bagi pembaca sepanjang zaman.

Sekedar catatan Marie Stuart lahir pada 1542 dan pada 1560-1567 menduduki takhta sebagai Ratu Scotlandia. Ia adalah penganut Roma Katolik dan betrokan dengan rakyatnya yang beragama Protestan. Ia turun tahta dan melarikan diri ke Inggris dengan meminta perlindungan Ratu Elizabeth. Pada 1587, Ratu Elizabeth menyuruh penggal lehernya, dengan tuduhan Marie Stuart berkomplot ingin menjatuhkan Ratu Elizabeth.

***

Di Indonesia, media itu beragam. Media dalam artian sempit masih dimaknai sebagai surat kabar dan majalah. Namanya juga pers -- yang berarti press yaitu cetak -- yang kemudian berkembang sebagai jurnalis atau wartawan. Saya tak ingin membahas pengertian asal-usul press itu sendiri. Tapi, saat ini, makna press sudah dalam artian luas. Pers sudah diartikan lebih lebar lagi meliputi media massa berupa tercetak, televisi, radio dan yang berkembang pesan terakhir ini adalah media online.

Tapi apa pun media massa itu -- tercetak atau bukan, media layar kaca, radio atau bukan, termasuk media online yang perannya kini terasa menggusur media tercetak -- eksistensi pers tak bisa lepas dari peran pemerintah.

Dari sejumlah media massa yang ada di Tanah Air, dapat digolongkan kepada media berpelat merah dan media mandiri atau swasta. Media berpelat merah adalah operasionalnya masih tergantung dari 'kucuran dana' dari pemerintah. Meskipun iklan ada, tetapi tegak atau loyonya media itu sangat tergantung dari pasokan dana pemerintah. Sebut saja RRI, TVRI dan Antara. Ketiga media ini dapat dipastikan operasionalnya masih sangat tergantung bagaimana maunya pemerintah saat itu.

Sedangkan media massa swasta nasional, meski ia menyatakan independen dan konsisten menyuarakan kepentingan orang banyak, tetapi realitasnya sangat tergantung pada bosnya (owner). Pemilik media bersangkutan sangat mewarnai kebijakan pemberitaan media tersebut. Bila pemilik media massa bersangkuan ketua partai, boleh jadi kala musim Pilkada sering menyuarakan partai dan para pendukungnya. Juga, mendukung penguasa saat itu, dengan bermain 'cantik' sehingga iklan Pilkada dapat membanjiri media itu sendiri.

***

Realitasnya, sejak Kaisar Napoleon Bonaparte menyatakan dirinya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh, peran media dianggap sangat dahsyat. Sebab, melalui tulisan si wartawan itu, orang banyak bisa dipengaruhi untuk memberontak, memberi dukungan atau menjadi terbuai dengan kehebatan sang pemimpin.

Pers dapat dijadikan alat propaganda, alat memfitnah dan menyebarkan berita bohong. Pers dapat dijadikan alat propaganda untuk mempengaruhi opini publik.  Atau pers dapat digunakan untuk meyakinkan anggota masyarakat terhadap suatu peristiwa.

Dalam perang Schmalkald, Kaisar Austria membawa alat cetak ke medan perang bersama juru cetaknya. Juru cetak itu ditugasi menyebarkan selebaran untuk keperluan pasukan kepada masyarakat umum. Hal serupa juga terjadi dalam perang saudara di Inggris. Baik Raja Karel I maupun Cromwell membawa tukang cetak ke medan pertempuran.

Cina adalah negara pertama di dunia yang menerbitkan surat kabar yang dicetak. King Pau, namanya. Terbit pada tahun 911 dan surat kabar itu milik pemerintah dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo. Sejak 1351 surat kabar itu terbit secara teratur.

***

Dalam  sejarah, pers berpolitik. Ketika Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), awak media dilibatkan sebagai peliput berita (embedded journalist). Serunya, ini pengalaman penulis, di medan pertempuran Aceh, para jurnalis mudah mengontak juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Teungku Sofyan Daud lewat telepon.

Awak media pun sadar, saat di lapangan, kedua pihak yang tengah bertempur bukan semata menghabisi lawan tetapi juga merebut hati dunia melalui peran yang dimainkan media massa.

Nah, bagaimana dengan Ketua PWI Pusat, Margiono yang secara blak-blakan mengampanyekan Joko Widodo di peringatan Hari Pers Nasional di Sumatera Barat, pada 9 Februari 2018 itu. Pernyataan itu seyogianya tidak perlu sampai menuai protes. Tetapi karena disampaikan di hadapan banyak orang, tentu saja terasa tidak elok. Tidak etis, memang. Sebab, sementara seluruh wartawan diminta tidak terlibat dalam politik praktis, dilarang menjadi tim sukses kandidat di Pilkada, tetapi sang ketua tidak memberi contoh.

Apa sanksinya bagi sang ketua?

Pendapat penulis, ya tidak pantas saja. Namun untuk sanksi, sangat tergantung dari Dewan Pers. Mencermati bicara sang Ketua Margiono saat itu, orang banyak bisa memaknai atau seolah-olah ia telah bekerja sebagai tim sukses Jokowi. Atau ia tengah mencari dukungan. Sejatinya, ia tentu sadar saat ini, masih menjabat sebagai ketua PWI. Namun jika dicarikan pasal-pasal yang dapat menjatuhkan posisinya sebagai ketua, rasa-rasanya tidak ada.

Sebab, sampai saat ini dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak satu pasal pun menyebut adanya larangan 'mendukung seseorang untuk terpilih kembali menjadi pemimpin' tertulis secara tegas. 

Apa lagi jika dikaitkan dengan pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, dan seterusnya. 

Pers berpolitik, dan itu memang sulit dihindari. Sebab, dalam keseharian, pers selalu bersinggungan dengan politik. Pers kadang bekerja bagai bandul lonceng. Bergerak ke kiri dan ke kanan. Ia juga kadang genit bagai seorang ratu, namun gerakan itu tetap pada koridornya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun