Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Adakah Kesamaan Mahar Nikah dan Mahar Politik?

13 Januari 2018   12:19 Diperbarui: 13 Januari 2018   16:24 3587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Mahar politik dalam karikatur. Foto | Suara Pembaruan.

Mengapa menikah harus membayar mahar? Mengapa pula untuk mendapat dukungan dari partai politik (parpol) seseorang yang mencalonkan diri menjadi pejabat: gubernur hingga presiden harus membayar mahar.

Jika menikah harus ada mahar. Kini, untuk mendapat dukungan politik perlu ada mahar. Realitasnya, adakah kesamaan tentang fenomena mahar ini ?

Perkawinan antara lelaki dan prempuan (dalam hukum Islam) bagi laki-laki dikenai kewajiban membayar mahar. Soal ini, publik di Tanah Air tentu sudah paham. Sebab, menurut ketentuannya mahar adalah hak atas kekayaan (atau sesuatu yang bernilai) bagi perempuan, yang diwajibkan kepada laki-laki karena akad nikah.

Pemberian mahar hukumnya wajib. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (An-Nisa [4]:4)

Lantas, bagaimana dengan mahar politik? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan suasana kekinian memasuki tahun politik 2018, khususnya Pilkada serentak. Mencuat ke tengah publik sebutan mahar politik dan ini memang berbeda dengan politik uang.

Dalam perkawinan Islam, yang penulis ketahui, tidak ada ketentuan besar atau kecilnya mahar. Semua diserahkan kepada kemampuan calon suami dan keridhaan atau standar kelayakan calon istri. Batas minimalnya adalah cincin besi atau dibayar dengan hafalan Alquran.

Namun sebelum terlalu jauh membicarakan mahar, penulis mengajak untuk memahami apa sesungguhnya itu mahar nikah dan mahar politik.

Mahar -- dalam konteks pernikahan-- sejatinya adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa mahar/ma*har/ n adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; maskawin.

Kata mahar berasal dari bahasa Arab yaitu al-Mahr, jamaknya Muhur dan muhurah. Sedangkan menurut bahasa, kata al-mahr bermakna al-Sadaq yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan "maskawin", yaitu pemberian segala sesuatu kepada seseorang perempuan yang akan dijadikan istri.

Para ulama memberikan pengertian mahar, yaitu, antara lain:

Pertama, mahar diartikan sebagai nama suatu benda yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut dalam akad nikah sebagai perujudan hubungan antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri.

Kedua, mahar adalah pemberian yang wajib diberikan dan dinyatakan oleh calon suami atas calon istrinya di dalam sighat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan, kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri.

Ketiga, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dari ketiga pengertian mahar menurut istilah tersebut, mahar menurut istilah dapat disimpulkan sebagai sebuah pemberian wajib dari seorang pria kepada seorang wanita, baik berbentuk barang, uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan agama Islam di waktu akad nikah.

Jadi, mahar hanyalah sebutan atau nama untuk suatu harta yang wajib diberikan kepada wanita sebagai calon mempelai di dalam akad nikah.

Mahar politik hadir

Apa pun alasannya, seseorang memasuki dunia politik esensinya adalah untuk meraih kekuasaan. Politik adalah instrumennya dan memang erat dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Penulis tak ingin terlalu jauh bicara politik yang berkaitan dengan pembuatan keputusan, pembagian kekuasan dalam masyarakat dan seterusnya.

Yang jelas, dalam politik itu punya kaitan erat dengan sistem politik yang tengah berlaku di negara bersangkutan, partisipasi, legitimasi dan peran dari partai politik.

Boleh jadi jika para pengurus partai politik ditanyai komentarnya seputar mahar, utamanya terkait dengan pencalonan seseorang untuk jabatan gubernur, dapat dipastikan dijawab bahwa hal itu tidak ada maharnya.

Sebuah partai di Jakarta sempat penulis saksikan memasang spanduk besar di jalan raya. Spanduk berisi pesan tengah merekrut kader. Ia tengah memanggil para pemuda untuk masuk anggota partai. Di ujung spanduk tertulis, masuk partai ini tidak dikenai mahar. Artinya, tak dikenai biaya alias gratis untuk menjadi kader partai bersangkutan.

Namun mengenai hal ini, kini di ranah publik tengah ramai jadi pembicaraan. Seperti diwartakan, La Nyalla gagal menjadi bakal calon Gubernur Jawa Timur sebelum laga Pilkada digelar. Mantan Ketua Umum PSSI ini sebelumnya menyatakan siap bertarung di laga pemilihan lima tahunan tersebut. Belakangan terungkap, dukungan dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tak ada.

La Nyalla kemudian menumpahkan kekecewaannya dalam konferensi pers, Kamis, 11 Januari 2018. Dia mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Ia membeberkan uang mahar yang telah dikeluarkan demi bisa ikut Pilkada Jatim.

Berkaitan dengan mahar, penulis punya pengalaman. Kala hendak belajar ilmu beladiri seperti pencak silat, sang asisten guru bersangkutan membisikan ke telinga dan menyebut bahwa untuk belajar perlu mahar. Artinya, ada imbalan yang harus diberikan kepada sang guru. Khususnya berupa uang yang besar kecilnya sangat tergantung keikhlasan sang calon murid.

Jika melihat makna mahar dalam kontek sebagai pemberian --untuk menjadi anggota partai atau belajar ngelmu-- maka kini maknanya sudah bergeser luas. Mahar tak lagi bermakna sebatas dalam kontek pemberian calon pengantin lelaki kepada pasangannya, tetapi juga bisa sebagai pemberian atau berupa sogokan dan seterusnya untuk mendapat restu/dukungan.

Mahar bagi partai politik sangat penting. Tanpa dana, operasional partai politik terganggu. Bukankah dalam kampanye seseorang membutuhkan panggung, kampanye alat peraga dan seterusnya. Belum lagi, biaya lobi untuk meraih suara. Dana untuk mahar politik itu sangat besar, karena di situ bekerja mesin-mesin pencitraan.

Jadi, jangan katakan mahar politik itu tidak ada. Realitasnya, mahar politik hadir di setiap Pilkada. Ini sama dengan mahar yang harus diserahkan seorang lelaki kepada wanita saat (musim) pernikahan. Mahar memang hadir pada musimnya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun