Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Social Psychologist, Assessor, Researcher

Direktur IISA Assessment Consultancy and Research Centre, Surabaya. Tiga buku terakhir nya: (1) 'Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Suatu Tinjauan Filsafat dan Psikologi' (Gramedia Pustaka Utama, 2023); (2) 'Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio-Digital' (Zifatama Jawara, 2025), dan (3) 'Kecerdasan Jamak, Keberagaman dan Inklusivitasnya' (Zifatama Jawara: 2025).

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Membangun Ketangguhan Anak: Mengajarkan Mereka Bangkit dari Kegagalan

6 Oktober 2025   12:24 Diperbarui: 6 Oktober 2025   20:37 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemenangan melalui Ketangguhan (Sumber: https://id.pngtree.com/freepng/triumph-through-perseverance-a-symbol-of-resilience_15417535.html)

Bayangkan Anda sedang berada di sebuah rapat pembagian rapor. Suasana tegang, dan semua mata tertuju pada deretan angka di selembar kertas. Angka-angka inilah yang seolah menjadi vonis akhir atas masa depan seorang anak.

Kita hidup dalam masyarakat yang terobsesi dengan metrik---nilai rapor, ranking kelas, skor IQ. Sistem pendidikan kita, secara tidak sadar, telah menjadi sebuah arena adu cepat, di mana mereka yang mampu berlari kencang secara kognitif dinobatkan sebagai calon pemenang kehidupan.

Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa beberapa "juara kelas" ini justru tersendat di tengah jalan saat memasuki dunia karier yang sesungguhnya? Sebaliknya, mengapa teman kita yang dulu nilai sekolahnya biasa-biasa saja, kini justru menjelma menjadi pilar kesuksesan di bidangnya? Jawabannya terletak pada sebuah pertarungan sunyi yang sering luput dari perhatian kita: pertarungan antara kecerdasan dan ketangguhan.

Penelitian psikologi modern mengungkap sebuah kebenaran yang mengejutkan. Dalam duel antara IQ dan grit, faktor kedualah yang ternyata menjadi penentu kemenangan dalam maraton kehidupan. Grit---sebuah koktail istimewa dari gairah (passion) dan ketekunan (perseverance) untuk tujuan jangka panjang---adalah bahan bakar yang menjaga mesin kita tetap menyala, bahkan ketika jalanan menanjak dan pintu-pintu kesempatan seolah tertutup. Ironisnya, di saat bukti ilmiah terus menumpuk, sekolah justru menjadi tempat di mana grit sering kali tersisihkan oleh ritual tahunan mengejar angka.

Mitos Agung: IQ adalah Tiket Emas Menuju Kesuksesan

Selama beberapa generasi, kita dicekoki dengan sebuah keyakinan sederhana: "Jadilah pintar, maka kau akan sukses." Anggapan ini begitu meresap hingga kita percaya bahwa kecerdasan intelektual adalah tiket emas satu-satunya menuju masa depan yang gemilang. Namun, apakah dunia benar-benar sesederhana itu?

Coba kita bayangkan begini: IQ itu ibarat spesifikasi prosesor pada sebuah ponsel pintar. Semakin tinggi angkanya, semakin cepat ia bisa memproses perintah. Tapi, apa gunanya ponsel dengan prosesor tercanggih di dunia jika baterainya hanya bertahan sepuluh menit? Ponsel itu akan mati sebelum Anda sempat melakukan sesuatu yang berarti. Dalam analogi ini, grit adalah daya tahan baterai tersebut. Ia adalah energi yang membuat Anda terus berfungsi, terus berjuang, dan terus produktif jauh setelah mereka yang hanya mengandalkan kecepatan awal mulai kehabisan daya.

Angela Duckworth, dalam penelitiannya yang mengubah cara pandang kita, "Grit: Perseverance and Passion for Long-Term Goals" (2007), membongkar mitos ini secara telak. Dalam studinya terhadap siswa sekolah menengah, Duckworth menemukan bahwa grit terbukti menjadi prediktor yang lebih akurat untuk kelulusan dibandingkan skor IQ. Artinya, kegigihan seorang siswa untuk terus belajar dan mengerjakan tugas, hari demi hari, lebih menentukan keberhasilannya menyelesaikan pendidikan daripada kecerdasan bawaan yang ia miliki. Kesuksesan bukanlah tentang seberapa cepat kita memulai, tetapi tentang seberapa lama kita bisa bertahan.

Celakanya, sistem pendidikan kita justru mengukuhkan mitos IQ. Kita dinilai dari hasil sesaat: nilai ulangan harian, skor ujian akhir, ranking kelas. Sebuah laporan OECD bertajuk "Skills for Social Progress" (2015) bahkan secara tegas menyoroti bahwa sistem pendidikan global terlalu terfokus pada pengetahuan akademis, sambil secara tragis mengabaikan keterampilan sosial-emosional seperti ketekunan---yang justru merupakan mesin pendorong utama kesuksesan hidup.

Kekuatan Super yang Bisa Dilatih: Membedah Anatomi Grit

Jika grit begitu dahsyat, apa rahasia di baliknya? Rahasianya terletak pada satu hal yang paling membedakannya dari IQ: grit bukanlah takdir, melainkan sebuah keterampilan. Ia bisa dibangun dan dikembangkan.

Anggaplah grit seperti otot di tubuh kita. Tidak ada orang yang terlahir dengan otot bisep yang kekar. Otot itu terbentuk melalui latihan yang konsisten. Setiap kali kita memilih untuk mengangkat beban meski terasa berat, setiap kali kita memaksakan diri untuk menyelesaikan satu repetisi lagi, kita sedang merobek serat-serat otot kita agar ia bisa tumbuh lebih besar dan lebih kuat. Begitu pula dengan grit. Setiap kali kita memilih untuk tetap mengerjakan tugas yang sulit, setiap kali kita bangkit setelah menerima penolakan, kita sedang melatih "otot mental" kita.

Carol Dweck dalam bukunya yang fenomenal, "Mindset: The New Psychology of Success" (2006), menjelaskan bahwa pembedanya adalah pola pikir. Mereka dengan fixed mindset percaya bahwa kemampuan adalah bawaan---"Saya memang tidak jago matematika." Sebaliknya, mereka yang memiliki growth mindset percaya bahwa segala sesuatu bisa dikembangkan melalui usaha---"Saya belum mengerti materi ini, saya harus mencoba cara belajar yang lain." Grit tumbuh subur dalam tanah growth mindset.

Pelajaran terbesar tentang grit justru datang dari arena yang paling ditakuti di sekolah: kegagalan. Coba pikirkan seorang koki yang sedang menciptakan resep kue baru. Kue pertama mungkin bantat, yang kedua gosong, yang ketiga terlalu manis. Bagi orang luar, ini adalah rentetan kegagalan. Tapi bagi sang koki, setiap "kegagalan" adalah data berharga. Ia belajar tentang suhu oven, takaran gula, dan waktu memanggang. Kegagalan bukanlah lawan dari kesuksesan, melainkan anak tangga untuk mencapainya. Sayangnya, di sekolah, kegagalan dianggap aib. Nilai merah berarti memalukan, tidak naik kelas adalah tragedi.

Bahkan di lingkungan paling keras sekalipun, grit menunjukkan tajinya. Penelitian Duckworth di Akademi Militer West Point (2009) menemukan bahwa faktor penentu terkuat bagi seorang kadet untuk mampu bertahan melewati pelatihan dasar yang brutal bukanlah skor kepemimpinan, kebugaran fisik, atau nilai akademis mereka, melainkan skor grit mereka.

Menghidupkan Kembali Grit di Sekolah

Jika grit sepenting itu, mengapa sekolah seolah menjadi lahan yang gersang baginya? Jawabannya sederhana: sistem kita terlanjur kecanduan pada hasil yang instan dan mudah diukur. Sekolah telah menjadi "pabrik nilai" yang melupakan tugas utamanya untuk membangun karakter. Anak-anak diajari untuk mengejar angka di rapor, bukan mencintai proses belajar. Mereka takut salah karena kesalahan berarti nilai jelek dan cap "tidak mampu".

Namun, harapan itu masih ada. Sebuah meta-analisis oleh Crede dkk. (2017) yang menganalisis 88 studi berbeda mengonfirmasi bahwa grit memang berkorelasi kuat dengan prestasi akademis. Ini memberi kita peta jalan untuk membangkitkannya kembali.

Pertama, ubah narasi tentang kegagalan. Daripada menghukumnya, mari kita jadikan kegagalan sebagai titik awal diskusi. Setiap kali seorang anak gagal dalam ujian, pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah "Kenapa nilaimu jelek?", melainkan "Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Bagian mana yang paling sulit untukmu?"

Kedua, berikan ruang bagi gairah (passion) untuk tumbuh. Grit adalah kombinasi ketekunan dan passion. Mustahil untuk bertahan pada sesuatu yang tidak kita cintai. Kurikulum yang terlalu seragam dan kaku sering kali mematikan minat individual yang justru menjadi bahan bakar utama grit. Berikan ruang untuk proyek-proyek personal dan kegiatan ekstrakurikuler yang beragam.

Ketiga, ajarkan konsistensi melalui tugas jangka panjang. Daripada hanya berfokus pada ujian akhir yang mendorong sistem kebut semalam, berikanlah proyek-proyek yang membutuhkan ketekunan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Biarkan anak-anak merasakan perjuangan, mengatasi jalan buntu, dan akhirnya merasakan kebanggaan luar biasa saat berhasil menyelesaikannya.

Hidup ini bukanlah lari cepat 100 meter, melainkan sebuah maraton yang panjang dan berliku. IQ mungkin memberi kita start yang lebih cepat, tetapi grit-lah yang memastikan kita memiliki napas dan kekuatan untuk terus berlari hingga garis finis. Orang-orang dengan grit tinggi paham bahwa sukses sejati bukan tentang menjadi yang terpintar, tetapi tentang menjadi yang paling tahan banting.

Sekolah mungkin belum sempurna dalam mengajarkan pelajaran ini, tetapi itu tidak berarti kita harus menyerah. Tanggung jawab untuk melatih otot mental ini ada di tangan kita semua---para orang tua, pendidik, dan individu. Karena pada akhirnya, yang akan menentukan masa depan kita bukanlah seberapa cemerlang otak kita, tetapi seberapa tangguh semangat kita ketika semua orang lain memilih untuk berhenti.

Seperti batu permata yang membutuhkan tekanan dan gesekan tanpa henti untuk bisa berkilau, grit-lah yang akan mengasah potensi kita. Pertanyaannya sekarang adalah: sudah siapkah kita untuk memulai proses pengasahan itu?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun