Jika grit begitu dahsyat, apa rahasia di baliknya? Rahasianya terletak pada satu hal yang paling membedakannya dari IQ: grit bukanlah takdir, melainkan sebuah keterampilan. Ia bisa dibangun dan dikembangkan.
Anggaplah grit seperti otot di tubuh kita. Tidak ada orang yang terlahir dengan otot bisep yang kekar. Otot itu terbentuk melalui latihan yang konsisten. Setiap kali kita memilih untuk mengangkat beban meski terasa berat, setiap kali kita memaksakan diri untuk menyelesaikan satu repetisi lagi, kita sedang merobek serat-serat otot kita agar ia bisa tumbuh lebih besar dan lebih kuat. Begitu pula dengan grit. Setiap kali kita memilih untuk tetap mengerjakan tugas yang sulit, setiap kali kita bangkit setelah menerima penolakan, kita sedang melatih "otot mental" kita.
Carol Dweck dalam bukunya yang fenomenal, "Mindset: The New Psychology of Success" (2006), menjelaskan bahwa pembedanya adalah pola pikir. Mereka dengan fixed mindset percaya bahwa kemampuan adalah bawaan---"Saya memang tidak jago matematika." Sebaliknya, mereka yang memiliki growth mindset percaya bahwa segala sesuatu bisa dikembangkan melalui usaha---"Saya belum mengerti materi ini, saya harus mencoba cara belajar yang lain." Grit tumbuh subur dalam tanah growth mindset.
Pelajaran terbesar tentang grit justru datang dari arena yang paling ditakuti di sekolah: kegagalan. Coba pikirkan seorang koki yang sedang menciptakan resep kue baru. Kue pertama mungkin bantat, yang kedua gosong, yang ketiga terlalu manis. Bagi orang luar, ini adalah rentetan kegagalan. Tapi bagi sang koki, setiap "kegagalan" adalah data berharga. Ia belajar tentang suhu oven, takaran gula, dan waktu memanggang. Kegagalan bukanlah lawan dari kesuksesan, melainkan anak tangga untuk mencapainya. Sayangnya, di sekolah, kegagalan dianggap aib. Nilai merah berarti memalukan, tidak naik kelas adalah tragedi.
Bahkan di lingkungan paling keras sekalipun, grit menunjukkan tajinya. Penelitian Duckworth di Akademi Militer West Point (2009) menemukan bahwa faktor penentu terkuat bagi seorang kadet untuk mampu bertahan melewati pelatihan dasar yang brutal bukanlah skor kepemimpinan, kebugaran fisik, atau nilai akademis mereka, melainkan skor grit mereka.
Menghidupkan Kembali Grit di Sekolah
Jika grit sepenting itu, mengapa sekolah seolah menjadi lahan yang gersang baginya? Jawabannya sederhana: sistem kita terlanjur kecanduan pada hasil yang instan dan mudah diukur. Sekolah telah menjadi "pabrik nilai" yang melupakan tugas utamanya untuk membangun karakter. Anak-anak diajari untuk mengejar angka di rapor, bukan mencintai proses belajar. Mereka takut salah karena kesalahan berarti nilai jelek dan cap "tidak mampu".
Namun, harapan itu masih ada. Sebuah meta-analisis oleh Crede dkk. (2017) yang menganalisis 88 studi berbeda mengonfirmasi bahwa grit memang berkorelasi kuat dengan prestasi akademis. Ini memberi kita peta jalan untuk membangkitkannya kembali.
Pertama, ubah narasi tentang kegagalan. Daripada menghukumnya, mari kita jadikan kegagalan sebagai titik awal diskusi. Setiap kali seorang anak gagal dalam ujian, pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah "Kenapa nilaimu jelek?", melainkan "Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Bagian mana yang paling sulit untukmu?"
Kedua, berikan ruang bagi gairah (passion) untuk tumbuh. Grit adalah kombinasi ketekunan dan passion. Mustahil untuk bertahan pada sesuatu yang tidak kita cintai. Kurikulum yang terlalu seragam dan kaku sering kali mematikan minat individual yang justru menjadi bahan bakar utama grit. Berikan ruang untuk proyek-proyek personal dan kegiatan ekstrakurikuler yang beragam.
Ketiga, ajarkan konsistensi melalui tugas jangka panjang. Daripada hanya berfokus pada ujian akhir yang mendorong sistem kebut semalam, berikanlah proyek-proyek yang membutuhkan ketekunan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Biarkan anak-anak merasakan perjuangan, mengatasi jalan buntu, dan akhirnya merasakan kebanggaan luar biasa saat berhasil menyelesaikannya.