Bayangkan sebuah lumbung padi yang melimpah ruah. Di satu sisi, jutaan orang di negeri seberang kelaparan. Di sisi lain, sang pemilik lumbung justru membakar sebagian padinya yang mulai mendekati masa simpan terbaiknya.
Secara nurani, tindakan ini terasa keji, sebuah pemborosan absolut di hadapan penderitaan. Inilah paradoks yang membakar nurani kita saat mendengar berita bahwa negara adidaya seperti Amerika Serikat lebih memilih memusnahkan alat kontrasepsi daripada menyalurkannya ke negara-negara miskin yang sangat membutuhkannya.
Reaksi pertama kita adalah kemarahan moral, sebuah respons yang wajar dan manusiawi. Namun, jika kita menahan sejenak amarah itu untuk membedah logika di baliknya, kita akan menemukan sebuah jaringan pertimbangan yang rumit dan tidak nyaman.
Di sana, pilihan yang terlihat paling kejam justru dianggap sebagai yang paling bertanggung jawab untuk keselamatan global. Keputusan ini bukanlah cerminan kedengkian, melainkan manifestasi dari prinsip medis kuno yang menjadi fondasi keselamatan pasien modern di panggung dunia yang jauh lebih kompleks.
"Primum Non Nocere": Sumpah Medis di Panggung Dunia
Prinsip fundamental dalam etika kedokteran adalah Primum non nocere, atau "Pertama, janganlah menyakiti." Sumpah ini tidak hanya berlaku di ruang praktik dokter, tetapi juga dalam skala masif kebijakan kesehatan global.
Mari kita mulai dengan analogi sederhana: kotak obat di rumah kita. Saat kita menemukan obat demam yang telah melewati tanggal kedaluwarsa, kita pasti membuangnya. Kita tidak akan pernah memberikannya kepada tetangga yang sedang sakit, meskipun niat kita tulus untuk membantu. Mengapa? Karena risiko obat itu tidak lagi efektif atau bahkan telah terurai menjadi senyawa berbahaya jauh lebih besar daripada potensi manfaatnya.
Logika inilah yang diterapkan secara kaku oleh lembaga regulasi seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Sebuah alat kontrasepsi yang telah melewati masa edar, secara hukum dan medis, adalah sebuah risiko tak terukur. Memberikannya kepada populasi rentan di negara lain bukan lagi tindakan membantu, melainkan sebuah kelalaian massal yang tidak etis.
Kegagalan produk dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, menambah beban pada keluarga yang sudah rapuh, memicu komplikasi kesehatan yang memerlukan perawatan mahal yang tak tersedia, dan yang paling fatal, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap seluruh sistem kesehatan publik.
Panduan donasi obat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat tegas mengenai hal ini: produk donasi harus memiliki sisa masa edar yang cukup panjang dan sesuai dengan kebutuhan spesifik negara penerima agar tidak menjadi beban baru bagi sistem mereka yang sudah rapuh.
Ilusi Bantuan Gratis dan Martabat yang Terluka
Namun, argumen keselamatan hanyalah lapisan pertama dari dilema ini. Di baliknya, terdapat pisau bermata dua dari psikologi ekonomi. Memberikan sesuatu secara gratis terdengar mulia, tetapi sering kali menjadi "bantuan yang mematikan"---sebuah istilah yang dipopulerkan oleh ekonom Zambia, Dambisa Moyo, dalam karyanya yang provokatif, Dead Aid.
Ketika sebuah pasar lokal yang sedang mencoba tumbuh---mungkin dengan produsen kondom skala kecil atau jaringan apotek lokal---tiba-tiba dibanjiri oleh produk gratis dari luar, ia akan mati seketika. Bantuan ini tidak membangun kemandirian, melainkan menciptakan siklus ketergantungan yang melumpuhkan inisiatif lokal. Dalam jangka panjang, sebuah pasar domestik yang sehat dan mandiri jauh lebih berharga bagi sebuah negara daripada donasi sporadis yang tidak menentu.
Kerusakan ekonomi hanyalah satu sisi mata uang. Sisi lainnya, yang sering kali lebih merusak, adalah luka pada martabat manusia. Manusia secara inheren mengasosiasikan harga dengan nilai. Produk gratis atau "sisa" sering kali secara implisit dicap sebagai "sampah dari negara kaya". Stigma ini, meskipun tidak terucap, sangat kuat. Ia dapat menyebabkan masyarakat menolak untuk menggunakan produk tersebut, menggagalkan tujuan program itu sendiri.
Sebuah program keluarga berencana yang didanai miliaran dolar bisa gagal total hanya karena calon penggunanya tidak percaya pada kualitas produk yang mereka terima. Ini bukan soal kesombongan, ini soal martabat dan kepercayaan---dua pilar utama keberhasilan intervensi kesehatan publik, seperti yang sering ditekankan oleh berbagai laporan Bank Dunia mengenai pentingnya pembangunan sistem kesehatan yang dipercaya oleh warganya.
Sangkar Emas Birokrasi dan Realitas Politik
Terakhir, kita harus masuk ke dalam "sangkar emas birokrasi" dan arena politik yang kejam. Bagi sebuah lembaga bantuan yang didanai oleh uang pajak rakyat, menghindari risiko adalah segalanya. Bayangkan skandal politik yang meledak jika satu saja kasus masalah kesehatan serius terbukti disebabkan oleh alat kontrasepsi kedaluwarsa yang didonasikan oleh AS.
Tuntutan hukum, investigasi kongres, dan pemotongan anggaran akan menjadi mimpi buruk yang dapat melumpuhkan semua program bantuan lainnya, termasuk program pangan, pendidikan, dan infrastruktur. Dalam kalkulasi risiko ini, memusnahkan stok bermasalah adalah pilihan yang paling aman secara politik dan hukum, sebuah prosedur defensif untuk melindungi misi yang lebih besar.
Ditambah lagi, isu kesehatan reproduksi di AS sendiri adalah medan pertempuran ideologis. Kebijakan seperti Mexico City Policy (dikenal sebagai Global Gag Rule), sebuah kebijakan "buka-tutup" yang menghentikan atau memulai pendanaan internasional berdasarkan ideologi partai yang berkuasa di Washington, menunjukkan betapa kebijakan bantuan luar negeri dapat disandera oleh politik domestik. Dalam iklim yang sangat sensitif ini, setiap tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan birokrasi hingga ke detail terkecil.
Maka, kita kembali ke citra lumbung padi yang terbakar. Mungkin, api itu bukanlah api kebencian, melainkan api sterilisasi. Api yang memastikan bahwa padi yang sampai ke piring mereka yang membutuhkan adalah padi terbaik, bukan padi yang berisiko meracuni. Api yang, secara paradoksal, melindungi pasar petani lokal agar tidak hangus oleh kemurahan hati yang sesaat.
Ini bukanlah pembelaan, melainkan sebuah undangan untuk refleksi kritis. Pertanyaannya bukanlah "Mengapa mereka begitu kejam?", melainkan "Dalam situasi yang serba salah, pilihan mana yang mendatangkan kerugian paling sedikit bagi semua?". Dan di sinilah diskusi kita yang sesungguhnya harus dimulai.
***
Daftar Pustaka Acuan
Analisis mengenai dampak kebijakan Mexico City Policy oleh lembaga seperti Guttmacher Institute dan Kaiser Family Foundation (KFF). Tautan: https://www.kff.org/global-health-policy/issue-brief/the-mexico-city-policy-an-explainer/
Center for Global Development. Berbagai publikasi mengenai efektivitas bantuan dan kebijakan "Tied Aid". Tautan: https://www.cgdev.org/page/aid-0
Moyo, Dambisa. (2009). Dead Aid: Why Aid Is Not Working and How There Is a Better Way for Africa. Farrar, Straus and Giroux. Tautan: https://www.ted.com/talks/dambisa_moyo_is_foreign_aid_hurting_africa
World Health Organization. (2011). Guidelines for Medicine Donations. Edisi Revisi. Tautan: https://www.who.int/publications/i/item/9789241501989
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI