Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seri Jokowi Gagal-5: Drama Garut, Jokowi Bakal Kian Mengerut

22 Januari 2019   13:58 Diperbarui: 22 Januari 2019   14:05 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekali lihat, orang dapat dengan gampang mengetahui ada yang 'aneh' dari Herman ini. Dibanding para tukang cukur lain yang memangkas rambut menteri dan pejabat tinggi rombongan Presiden, tampilan Herman memang paling beda. Dia memakai celana hitam, kemeja putih, blazer hitam, topi, dan sarung tangan. Singkat kata, Herman sangat perlente. Sebaliknya, para tukang cukur lainnya yang mengenakan udeng batik warna biru, berbalut kaus merah bergaris hitam putih.

Siapakah Herman? TribunJakarta.com dari grup media mainstream menulis judul berita Bertemu Tukang Cukur Langganan di Garut, Jokowi Berseoroh Soal Gaya Rambut Saat Dicukur Herman. 

"Saat mengunjungi Kabupaten Garut, Jawa Barat, Presiden Jokowi mengikuti acara cukur rambut massal yang digelar di Situ Bagendit, Kecamatan Bayuresmi, pada Sabtu (19/1/2019). Di sana Jokowi bertemu dengan tukang cukur langganannya, Herman. Ternyata Herman yang sudah menjadi langganan Jokowi di Jakarta sejak tahun 2013 asli dari Garut." Begitu antara lain ditulis.

Tidak harus menjadi jurnalis andal untuk mengenali berita ini diragukan akurasinya. Rakyat awam pun bisa tahu, bahwa Jokowi jelas tidak kebetulan bertemu Herman di lokasi cukur massal di Garut. Herman (sangat mungkin) adalah anggota rombongan Presiden yang berkunjung ke Garut. Kalau pun dia tidak ikut dalam rombongan, setidaknya Herman diajak Jokowi ke Garut dan tugas apa saja yang harus dilakukannya. Mana bisa yang  begini disebut kebetulan?

Jadi, sampai di sini diketahui telah diproduksi dan disebarkan berita hoax, setidaknya berita yang tidak jujur. Sebuah adegan yang telah direncanakan sejak awal (jauh-jauh hari di Jakarta), dikemas seolah-olah peristiwa kebetulan yang mengandung human interest. Pencitraan lagi, pencitraan lagi (untuk menghindar menyebut; hoax lagi, hoax lagi).

Doyan pencitraan

Tidak bisa tidak, drama Garut adalah satu lagi bukti bahwa Jokowi memang kelewat doyan dengan pencitraan. Padahal, dagangan seperti ini sudah tidak laku lagi. Pada  Pilpres 2014, mantan tukang mebel itu memang sukses menyihir rakyat dengan citra sederhana, blusukan, merakyat. Tapi, setelah empat tahun, rakyat jadi sadar, bahwa Indonesia membutuhkan Presiden yang paham persoalan yang membelit negeri ini, tahu solusinya, dan mampu mengeksekusinya.

Jika Jokowi masih bermimpi terus dan terus memainkan jurus pencitraan, bisa dipastikan elektablitasnya bakal kian mengerut. Sekarang saja, selisih kedua Capres tinggal satu digit. Menurut Lembaga Survei Median, selisih keduanya tinggal 9,2%. Pasangan 01  tinggal 47,9%, Prabowo-Sandi 38,7%. Sedangkan rakyat yang belum menentukan pilihan sebanyak 13,4%.

Saya tidak ingin berpanjang kata tentang Garut. Satu hal yang pasti, peristiwa Garut dan di banyak lokasi lain, adalah suguhan pencitraan menyebalkan. Indonesia adalah negara besar yang kini dililit berbagai persoalan besar. Neraca perdagangan yang njomplang hingga US$8,75, utang luar negeri Rp5.000an triliun, mahalnya harga berbagai kebutuhan pokok, sempitnya lapangan kerja karena diserobot tenaga kerja asing (TKA) asal China, merosotnya daya beli masyarakat, dan kinerja BUMN yang jauh di bawah banderol adalah bagian dari bermacam persoalan besar yang butuh penyelesaian secara cepat dan tepat.

Itu dari sisi ekonomi. Di bidang penegakan hukum, terasa sekali aparat, khususnya Polisi, telah menjadi alat penguasa. Berbagai laporan penistaan agama dan pelanggaran hukum yang dilakukan pihak-pihak pendukung penguasa, nyaris tak ditindaklanjuti. Sebaliknya, jika pelakunya dari kelompok oposisi, Polisi bergerak sangat sigap.

Contoh terbaru bagaimana njomplangnya penarepan hukum adalah dicokoknya anak di bawah umur di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) hanya karena memposting kalimat yang dianggap menghina Jokowi di facebook. Padahal, sebelumnya ada anak keturunan Cina yang di video viralnya jelas-jelas menyebut Jokowi kacung dan akan membunuhnya. Tapi, polisi hanya menyebut kasus ini untuk lucu-lucuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun