Mohon tunggu...
Edy Karim
Edy Karim Mohon Tunggu... Akuntan - Pemerintahan Yang Kuat Butuh Pengawasan Yang Sehat

Sejak 1978 sampai dengan 30 April 2016, pegawai sampai Eselon II pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terakhir Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengawasan BPKP (2015-2016) PURNABAKTI 1 MEI 2016. Alhamdulillah bisa nulis sedikit, semoga masih bisa berikan manfaat banyak buat masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangan Biarkan "Koordinasi Semu" Terus Berlangsung Dalam Tubuh APIP Kalau Presiden Ingin APIP Efektif Cegah Korupsi

17 Agustus 2020   09:47 Diperbarui: 6 September 2020   06:34 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemahaman mengenai koordinasi telah banyak dikemukakan para ahli. Pada hakekatnya koordinasi diperlukan karena dapat membantu dalam proses mempersatukan atau mengsingkronisasikan atau menyelaraskan seluruh kegiatan dan aktivitas atau pekerjaan antara satu individu dengan individu lainnya agar tidak simpang siur atau tidak saling bertentangan dalam mencapai tujuan organisasi.

Tujuan bersama atau tujuan organisasi ini merupakan point penting yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam pelaksanaan koordinasi. Tujuan organisasi dicapai melalui suatu proses yang melibatkan berbagai individu, unit kerja yang memiliki ketergantugan satu sama lain selain memiliki berbagai kepentingan. Koordinasi perlu agar berbagai kepentingan tersebut dapat diarahkan kepada kepentingan yang lebih besar dalam rangka pencapaian tujuan bersama dalam suatu organisasi, termasuk tujuan bernegara dalam penyelenggaraan pemerintahan. 

Masih relevan pandangan Terry, persyaratan koordinasi dapat berjalan dengan baik harus memiliki perasaan untuk saling bekerja sama yang dilihat per bagian (Sense of Cooperation). Selain itu persyaratan yang juga penting yaitu pemahaman yang sama terutama atas kegiatan serta tujuan bersama yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut.

Koordinasi yang menjadi pokok pembahasan, fokus pada koordinasi pengawasan yang menjadi tugas dan fungsi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Pengawasan tersebut merupakan fungsi yang dibutuhkan dalam organisasi dan memperkuat proses manajemen dalam organisasi yang sama baik lingkup Pemerintah Daerah, Kementerian/Lembaga maupun Nasional dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.

Seluruh insan pengawasan yang pernah atau sedang berada dalam lingkungan pengawasan pada APIP sudah dapat dipastikan mengetahui regulasi yang mengatur koordinasi terkait dengan peran APIP baik dalam bentuk UU maupun PP. Namun permasalahannya sejauh mana insan pengawasan memiliki pemahaman atau pandangan yang sama terhadap regulasi terkait dengan pengawasan intern pemerintah tersebut,  menjadi substansi pembahasan dalam tulisan ini.

UU dan PP yang  mengatur relatif rinci peran APIP setidaknya terdapat pada :

  1. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No 12 tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Pemrakarsa Kementerian Dalam Negeri).
  2. UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Pemrakarsa Kementerian Keuangan).


Jenis pengawasan yang dilakukan APIP menurut ke dua regulasi yang diprakarsai oleh kedua Kementerian tersebut serta implikasinya sebagai berikut :

  1. Menurut Kementerian Dalam Negeri, APIP melakukan pengawasan umum dan teknis  atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan menurut Kementerian Keuangan, APIP melakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara.
  2. Implikasi dari perbedaan jenis pengawasan yang digunakan dalam regulasi tersebut, setidaknya terdapat dua jabatan fungsional pengawasan yang terdapat dalam tubuh APIP :      

a. Pejabat Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah (P2UPD) dengan pembina Kementerian Dalam Negeri, diatur dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/9/2009 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah dan Angka Kreditnya. Peraturan tersebut telah direvisi dengan Nomor  36  Tahun  2020.                  

b. Auditor dengan pembina BPKP, diatur dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/220/M.PAN/7/2008 tentang Jabatan Fungsional auditor dan Angka Keditnya. 

P2UPD termasuk rumpun politik dan hubungan luar negeri, sedangkan Auditor termasuk rumpun jabatan akuntansi dan anggaran. Sesuai PP No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, masing-masing Jabatan fungsional mempunyai keahlian, komptensi dan tugasnya  masing-masing. Namun ke dua rumpun jabatan fungsional yang berbeda tugas dan fungsinya tersebut berada dalam Institusi yang sama yaitu APIP. Sesuai Permen PAN No 15 tahun 2009, kedudukan P2UPD pada instansi pemerintah pusat dan daerah, tidak menyebutkan secara spesifik berkedudukan pada APIP kecuali jabata  fungsional auditor.

Januari 2014, permasalahan dualisme jabatan fungsional tersebut sempat menjadi temuan audit BPK DKI Jakarta berkenaan dengan pemeriksaan kinerja atas efektivitas kegiatan audit dan reviu LK oleh APIP pada Inspektorat Provinsi DKI Jakarta. BPK DKI Jakarta menilai kondisi tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam tugas pengawasan maupun dalam pembinaan dan pengembangan kepegawaian.

Mei 2014, Gubernur DKI Jakarta (Bapak Joko Widodo) sudah menyurati Presiden. Selanjutnya, Juni 2014 Menteri Sekretariat Negara juga sudah minta Menteri Dalam Negeri untuk mengkaji. Namun tidak diperoleh informasi kelanjutan dari hasil pemeriksaan BPK DKI Jakarta tersebut. Pada kenyataannya sampai saat ini dualisme penerapan jabatan fungsional tersebut masih tetap berlangsung. 

Selain BPK, BPKP sebagai pembina APIP dalam konteks penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, melakukan scoring level APIP dengan menggunakan IACM (Internal Audit Capability Model). Walaupun keberadaan jabatan fungsional (P2UPD) diluar cakupan penilaian, namun bukan berarti dualisme jabatan fungsional yang menjadi temuan BPK DKI Jakarta sudah tidak lagi bermasalah. Ke dua jabatan fungsional pada APIP telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara yang merujuk pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Kementerian Dalam Negeri berharap kepada Pimpinan APIP khususnya di daerah untuk membangun koordinasi dan sinergi antara P2UPD dan Auditor dalam melakukan pengawasan. Sejauh mana harapan Kementerian Dalam Negeri tersebut dapat terpenuhi setidaknya mempertimbangkan hal-hal berikut :

  1. Apakah sudah dirumuskan mekanisme koordinasi yang efektif oleh pembina P2UPD dan pembina Auditor sebagai pedoman bagi Pimpinan APIP. Hal tersebut dimaksudkan agar aktivitas pengkoordinasian menjadi efektif, dengan meyakinkan terselenggaranya : pembagian kerja yang jelas dalam organisasi atau program dimaksud, semangat bekerja yang besar di antara para pejabat atau pekerja (hubungan-hubungan informal yang sehat dalam organisasi yang bersangkutan), fasilitas kontak dan tata hubungan yang cukup bagi semua pihak dalam organisasi maupun luar usaha kerja sama itu, proses koordinasi secara terus menerus yang telah dipersiapkan dapat tetap dipertahankan sejak tahap-tahap permulaan kegiatan atau program yang bersangkutan. 
  2. Apakah selama ini sudah memberikan perhatian atas risiko yang dikemukakan oleh BPK DKI Jakarta tersebut di atas berkenaan dengan kekhawatiran terjadi kesulitan dalam tugas pengawasan maupun dalam pembinaan dan pengembangan kepegawaian.

Koordinasi yang efektif memang diperlukan untuk membantu keberhasilan pencapai tujuan organisasi, namun koordinasi berjalan efetkif bila memperhatikan prasyarat atau prakondisi sejauhmana kesamaan pemahaman berkenaan dengan keberadaan APIP.

Bilamana pemahaman atas peran APIP satu pihak dengan pihak yang lain tidak solid berpotensi terjadi kesulitan dalam melaksanakan koordinasi yang efektif atau berpotensi terjadinya koordinasi semu yang terbatas pada ucapan namun sulit untuk diaksanakan. Walaupun kondisi ini lazim bahkan disikapi permisif, namun dalam urusan pengawasan kondisi ini mesti menjadi perhatian utama untuk dibenahi secara tepat. Pengawasan harus bisa meneladani untuk tidak membenarkan yang biasa melainkan  membiasakan yang benar termasuk dalam koordinasi pengawasan. Bagaimana bisa membebahi fungsi lainnya bilamana fungsi pengawasan sendiri tidak beres tata kelolanya.

Permasalahan yang dapat diidentifikasi dan dianalisis sejauh ini berpotensi tidak dapat berjalannya koordinasi dalam tubuh APIP. Oleh karena itu penting mendapat perhatian oleh pemegang otoritas kebijakan dalam rangka memperbaiki secara serius dengan perspektif yang komprehensif dan holistik permasalahan APIP :

  1. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memiliki APIP sebagaimana ditegaskan dalam PP No 60 tahun 2008, namun keberadaannya tidak diberikan ruang dalam UU No 23 tahun 2014 sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 46 : "Aparat Pengawas Internal Pemerintah adalah inspektorat jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota".Menurut penjelasan tersebut APIP hanya ada di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Walaupun dalam hal-hal tertentu ada disebut dalam UU No 23 tahun 2014 lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pengawasan (pasal 379) dan lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi pengawasan (pasal 385), namun lembaga tersebut bukan APIP.
    Siapa yang dimaksud dengan lembaga tersebut, karena yang dikenal selama ini BPKP yang berdiri sejak tahun 1983. Sesuai PP No 60  tahun 2008, BPKP adalah APIP yang berada dan bertanggungjawab kepada Presiden. Tugas BPKP sesuai pasal 2  Perppres No 192 tahun 2014 menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/ daerah dan pembangunan nasional". Lingkup urusan pengawasan sesuai Perpres tersebut meliputi pusat dan daerah, sehingga  mutlak diperlukan koordinasi pengawasan dengan APIP lainnya di pusat dan di daerah.
    Koordinasi dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pengawasan ini tidak diakomodasi dalam UU No 23 tahun 2014, sehingga berpotensi pelaksanaan koordinasi BPKP dengan APIP di daerah tidak berjalan optimal atau berjalan namun semu.
  2. Bisa dipahami bilamana dalam UU No 23 tahun 2014 tidak mengatur mekanisme koordinasi dengan BPKP atau lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pengawasan. Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden ditempatkan sebagai pemegang urusan pengawasan di daerah, sehingga pengawasan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri melalui APIP Kementerian Dalam Negeri dan hasilnya langsung disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Presiden. Dengan kondisi ini keberadaan BPKP di daerah berkenaan dengan pengawasan seakan praktis tidak lagi diperlukan kecuali pengawasan dalam hal-hal tertentu, sehingga koordinasi tidak menjadi permasalahan serius. Namun Perpres No 192 tahun 2014 memerankan BPKP untuk melakukan koordinasi dan sinergi penyelenggaraan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional bersama-sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah lainnya. Baca tulisan terkait : Paradigma Presiden : Pencegahan Ada pada BPKP dan APIP Lainnya Selain Tata Kelola yang Baik. Masih belum banyak yang peduli mengenai kekuasaan administratif berupa pengawasan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial sesuai konstitusi NKRI (UUD 1945). Selain itu penerapan teori internal audit dan three lines of defence oleh Institute of Internal Auditor (IIA) lebih fokus pada level Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, masih  belum peduli dengan level organisasi pemerintahan secara keseluruhan (nasional) dengan Presiden sebagai pemegang kekuasan pemerintahan.  Sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial, Presiden memerlukan akses ke seluruh APIP Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam konteks kebutuhan akuntabilitas Presiden kepada rakyat yang telah memberikan mandat kepada Presiden, sehingga tugas BPKP yang dapat membantu mewujudkan akses tersebut.
  3. Kementerian Dalam Negeri mengatur APIP di lingkungan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan umum, sedangkan Kementerian Keuangan mengatur APIP melakukan pengawasan intern. Pimpinan APIP di lingkungan Pemerintah Daerah dibebani tanggungjawab untuk melakukan koordinasi pelaksanaan ke dua jenis  pengawasan tersebut. Bisa dibayangkan kerumitan bilamana belum ada pedoman tentang mekanisme koordinasi baik dari Kementerian Dalam Negeri, BKN maupun BPKP atau secara bersama-sama sebagai pembina. Implikasi pemahaman Kementerian Dalam Negeri bahwa APIP melakukan pengawasan umum, dibutuhkan berbagai jabatan fungsional untuk mendukung pengawasan umum tersebut. Setidaknya terdapat 3 jabatan fungsional dalam tubuh APIP yaitu P2UPD, Auditor Kepegawaian dan Auditor. Sedangkan pengawasan intern cukup dengan dukungan kompetensi auditor saja (all in one). P2UPD melakukan pengawasan atas penyelenggaraan teknis urusan pemerintahan di daerah, di luar pengawasan keuangan, auditor kepegawaian melakukan pengawasan atas penyelenggaraan manajemen ASN. Sedangkan auditor melakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah terintegrasi dengan  keuangan negara (all in one). Pandangan Kementerian Dalam Negeri, APIP perlu memiliki berbagai kompetensi dengan berbagai jabatan fungsional karena melihat urusan pemerintahan di daerah terpisah dengan keuangan daerah, sedangkan Kementerian Keuangan berpendapat APIP fokus pada keuangan terintegrasi dengan tugas dan fungsi pemerintahan (all in one).
    Persoalannya, efektifkah pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dilakukan pemilahan antara penyelenggaraan teknis urusan pemerintahan di daerah, manajemen ASN dan keuangan dalam rangka pembagian tugas antara P2UPD, Auditor Kepegawaian dan Auditor pada APIP. Bilamana dalam praktek tidak mungkin dilakukan, menjadi persoalan koordinasi karena berpotensi adanya kecenderungan saling melepas tanggungjawab atau sebaliknya terjadi tumpang tindih tanggungjawab. Walaupun tidak dibolehkan, kemungkinan berpotensi dalam praktek tidak dapat lagi dibedakan antara tugas P2UPD, Auditor Kepegawaian dan Auditor, akhirnya melakukan tugas yang hampir sama namun dengan penilaian angka kredit yang berbeda.  
  4. Korupsi tidak lepas dari persoalan keuangan negara baik langsung maupun tidak langsung (suap, gratifikasi). Pencegahan korupsi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kerugian keuangan negara sebagai akibat dari perbuatan pidana. Selain pencegahan korupsi APIP berperan pula untuk melakukan pencegahan kerugian keuangan negara dari akibat berbagai bentuk penyimpangan baik administratif maupun perdata.

    Ruang lingkup pengawasan intern oleh APIP dikaitkan dengan anggaran yang dikelola Menteri/Pimpinan Lembaga dan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai atasan APIP yang bersangkutan. Pengaturan ruang lingkup tersebut sejalan dengan kekuasaan pengelolaan keuangan negara oleh Presiden yang selanjutnya :

    • dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya, dan 
    • diserahkan oleh Presiden kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.                                                                                                                      

Semangat desentralisasi tidak serta merta melakukan desentralisasi pula terhadap pengawasan oleh Presiden. Presiden tetap berkepentingan melakukan pengawasan yang selama ini ditugaskan kepada BPKP. Tugas BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yaitu lintas sektoral, kebendaharaan umum dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden serta pembinaan atas penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah pusat dan daerah. Tugas tersebut mustahil tanpa dilakukan koordinasi  oleh BPKP dengan APIP lainnya.

Walaupun PP No 60 tahun 2008 mengatur kewenangan pengawasan intern oleh APIP sebatas anggaran yang di kelola oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Kepala Daerah yang bersangkutan, namun tidak demikian halnya dengan Inspektur Jenderal (APIP) Kementerian Dalam Negeri. Mungkin dengan istilah pengawasan umum maka ruang lingkup kewenangan APIP Kementerian Dalam Negeri menjadi berada diluar pengaturan pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam PP No 60 tahun 2008 tersebut.

Selain pengawasan umum, UU No 23 tahun 2014 juga mengatur pengawasan teknis oleh APIP Kementerian Teknis pada saat melakukan pengawasan di daerah. Pengawasan teknis dilakukan terhadap teknis pelaksanaan substansi Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah provinsi sesuai dengan kewenangan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian masing-masing. Dengan demikian APIP Kementerian Teknis dapat pula melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi bahkan Kabupaten/Kota.

Kondisi ini berisiko terjadinya tumpang tindih pengawasan oleh APIP Pusat dan Daerah walaupun dilakukan koordinasi untuk harmonisasi jadwal pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Sedangkan dalam PP No 60 tahun 2008, permasalahan tumpang tindih pengawasan APIP Pusat dan Daerah sudah dieliminir.

Berdasarkan identifikasi dan analisis permasalahan pengawasan yang diuraikan di atas, terlihat pangkal permasalahan berada pada berbagai kebijakan atau regulasi pengawasan yang harus dilaksanakan oleh APIP sehingga beban yang tidak rasional bagi Pimpinan APIP untuk mengkoordinasikan pelaksanaan regulasi yang mengandung perbedaan pemahaman atau pandangan terhadap pengawasan. 

Mungkinkah koordinasi masih terus diupayakan sebagai solusi untuk menyelesaikan permasalahan inkosistensi regulasi yang berimplikasi pada kerumitan mengelola pengawasan pada APIP. 

Koordinasi pengawasan APIP berpotensi menghadapi persoalan karena perbedaan pemahaman terhadap peran APIP terutama koordinasi secara substansial yang dilakukan oleh masing-masing pembina jabatan fungsional P2UPD, Auditor Kepegawaian dan Auditor. Permasalahan penugasan berbagai jenis pengawasan dengan berbagai jabatan fungsional pada APIP, serta permasalahan perbedaan penilaian angka kredit bagi masing-masing jabatan fungsional berpotensi juga menimbulkan ketidakadilan.

Sangat tidak relevan bilamana dikatakan APIP tidak independen karena berada dibawah Menteri/Pimpinan Lembaga dan Kepala Daerah, kemudian dasar hukum pengawasan intern pemerintah lemah sehingga perlu diatur dengan UU dalam upaya melakukan pembenahan tata kelola pengawasan intern pemerintah.

Pandangan Institute of Internal Auditor dan pakar hukum tata negara pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama mengenai pengawasan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif). Pandangan ini mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan Presiden sebagai pemegang otoritas kebijakan pengawasan yang secara garis besar dapat disampaikan sebagai berikut :

  1. Teori atau best practice atau pendekatan yang disampaikan oleh Institute of Internal Audit (IIA) yang dikenal dengan Three Lines of Defence memberikan pemahaman bahwa Aparat Pengawasan Intern Pemerintah atau Internal Auditor yang berada pada third line adalah kebutuhan organsiasi termasuk kebutuhan pimpinan organisasi. Oleh karena itu APIP tidak mungkin berada di luar organisasi baik pada Pemerintah Daerah, Kementerian/Lembaga maupun pemerintahan secara keseluruhan dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (Kepala Pemerintahan). Kepedulian dan komitmen Presiden, Menteri/Pimpinan Lembaga dan Kepala Daerah sangat berpengaruh terhadap keberadaan APIP yang sejatinya membantu dalam memelihara dan meningkatkan kualitas good governance dalam organisasi yang bersangkutan. Dalam literatur Institute of Internal Audit (IIA) sebagaimana dianut PP No 60 tahun 2008 hanya mengenal satu kompetensi keahlian yaitu auditor dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu (akuntan, sarjana hukum, insinyur, dokter) atau all in one. Masih perlu kajian mendalam apakah mungkin kompetensi P2UPD dan Auditor Kepegawaian yang selama ini ada pada APIP tepat diposisikan secara terpisah sebagai second line of defence memperkuat manajemen risiko terkait penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negeri dan penyelenggaraan manajemen ASN. P2UPD dan Auditor Kepegawaian masing -masing mendukung kewenangan Menteri Dalam Negeri dan Kepala BKN terkait pengawasan melekat (built in control) atas penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negeri dan penyelenggaraan manajemen ASN. Sedangkan Internal Auditor mendukung akuntabilitas keuangan negara yang menjadi tanggungjawab  Menteri Dalam Negeri dan Kepala BKN sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan BKN.
  2. Pengawasan oleh Presiden dalam konteks sistem pemerintahan presidensial setidaknya telah dikemukakan oleh Prof. Ismail Suny (pakar hukum tata negara) dalam bukunya "Pergeseran Kekuasaan Eksekutif".  Dalam buku tersebut dikemukakan dengan kembalinya kepada naskah Undang-undang Dasar 1945, sistem parlementer ditinggalkan, Presiden kembali sebagai pemimpin eksekutif yang sesungguhnya dalam sistem presidensial. Dalam bagian sebelumnya Prof Ismail Suny mengemukakan bahwa menurut konvensi ketatanegaraan, kekuasaan administratif termasuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan (power of control and supervision) tidak dimiliki Presiden karena Presiden tidak menjadi Kepala Eksekutif yang sesungguhnya. Permasalahannya nuansa paradigma sistem parlementer dalam pemerintahan dengan sistem presidensial masih berlangsung, sehingga Presiden belum diposisikan sebagai pemegang kekuasaan administratif berupa pengawasan dalam konteks sistem pemerintahan presidensial. Sehubungan dengan hal tersebut tidak relevan bilamana pengaturan pengawasan intern dengan UU karena pengawasan intern pemerintah merupakan hak prerogatif Presiden, sehingga Presiden yang tepat membuat peraturan mengenai pengawasan sebagai kekuasaan administratif Presiden.

Pandangan Institute Of Internal Auditor mengenai three lines of defence dapat memberikan gambaran lebih konkrit lagi  mengenai pengawasan Presiden sebagai kekuasaan administrasi dalam sistem pemerintahan presidensial sesuai pandangan hukum tata negara.  Penerapan three lines of defence seharusnya mulai dari pemerintahan skala nasional dengan Presiden sebagai Top Manajemen, sehingga tone from the top memberikan kemudahan penerapan lebih lanjut pada level di bawahnya termasuk kemudahan koordinasi pengawasan. 

Menteri Sekretariat Negara,  Menteri Hukum dan HAM, Menteri PAN dan RB, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Kepala BPKP dan Kepala BKN sudah saatnya lebih serius lagi menata kembali inkonsistensi regulasi mengenai pengawasan intern pemerintah. Menyamakan paradigma agar pengawasan intern pemerintah dapat langsung berada dalam kekuasaan Presiden dengan kebijakan pengawasan intern pemerintah satu pintu oleh Presiden. Harapan Presiden agar APIP dapat efektif memerankan pencegahan korupsi yang disampaikan terkini dalam Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah tanggal 15 Juni 2020 di Istana Negara  dapat terwujud secara nyata.

Baca tulisan terkait : Paradigma Presiden: Pencegahan Ada pada BPKP dan APIP Lainnya Selain Tata Kelola yang Baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun