Mohon tunggu...
Edy Karim
Edy Karim Mohon Tunggu... Akuntan - Pemerintahan Yang Kuat Butuh Pengawasan Yang Sehat

Sejak 1978 sampai dengan 30 April 2016, pegawai sampai Eselon II pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terakhir Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengawasan BPKP (2015-2016) PURNABAKTI 1 MEI 2016. Alhamdulillah bisa nulis sedikit, semoga masih bisa berikan manfaat banyak buat masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradigma Presiden: Pencegahan Ada pada BPKP dan APIP Lainnya Selain Tata Kelola yang Baik

26 Juni 2020   09:31 Diperbarui: 19 Agustus 2020   00:49 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden: BPKP, inspektorat dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) adalah aparat internal pemerintah yang harus fokus pada pencegahan dan perbaikan tata kelola. Pernyataan ini dikemukakan Presiden dalam pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah tanggal 15 Juni 2020 di Istana Merdeka.

Paradigma Presiden telah menempatkan fungsi pencegahan (preventif) pada institusi yang tepat, sehingga aparat penegak hukum lebih fokus melaksanakan fungsi penindakan (represif)). Presiden dengan tegas menyatakan “kalau ada yang masih membandel, niat untuk korupsi, ada ‘mens rea’ (niat jahat) silakan bapak ibu ‘gigit’ dengan keras, uang negara harus diselamatkan kepercayaan rakyat harus terus kita jaga,”

Pernyataan Presiden tersebut menegaskan bahwa pada hakekatnya efektivitas pencegahan ada pada internal pemerintah. Namun demikian, Presiden kembali mengharapkan BPK RI, KPK, Kejaksaan, Kepolisian dapat berkolaborasi dan sinergi dengan BPKP dan APIP lainnya dalam upaya pemberantasan korupsi dari hulu ke hilir.

Walaupun lini terdepan (the first line) dari pencegahan berada pada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Kepala Daerah beserta bawahannya, namun masih diperlukan fungsi pengawasan intern yang ditangani secara profesional oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) lainnya.

(baca tulisan terkait : Menteri, Pimpinan Lembaga, dan Kepala Daerah Wajib Melakukan Pengendalian)

BPKP salah satu institusi yang telah disebut oleh Presiden. Hal ini melatar belakangi pemikiran perlu mengenal lebih dekat lagi tentang BPKP. Regulasi yang ada sebelum dan setelah reformasi akan memperlihatkan adakah persoalan eksternal yang dihadapi BPKP yang berpotensi harapan Presiden tersebut tidak dapat berjalan optimal.


Regulasi mengenai fungsi pengawasan intern oleh BPKP mengalami perubahan signifikan sejak reformasi, seakan tugas dan fungsinya terlepas keberadaannya dengan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Sedangkan Presiden setelah reformasi dituntut kekuasaanya dengan disertai akuntabilitas dan transparansi. Oleh karena itu mempunyai konsekuensi pentingnya Presiden memperoleh informasi dari pihak yang independen dan obyektif. Presiden perlu meyakini penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berjalan sesuai amanat rakyat yang dipercayakan kepada Presiden.

BPKP berdiri sejak tanggal 30 Mei 1983 dengan Keppres No 31 tahun 1983 tentang BPKP sebagai pengalihan dari Direktorat Jendral Pengawasan Keuangan Negara, Departemen Keuangan. Dengan Keppres tersebut, kedudukan BPKP sudah tidak lagi berada dibawah Menteri Keuangan melainkan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.

Memasuki era reformasi, Keppres No 31 tahun 1983 tersebut dicabut dengan Keppres No 42 tahun  2001. Kemudian Keppres No 42 tahun 2001 diganti dengan Keppres No 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Walaupun Keppres No 103 tahun 2001 tersebut menempatkan BPKP berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, namun BPKP harus berada pula dalam koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara disamakan dengan LPND/LPNK lainnya yang juga berada dalam koordinasi masing-masing Menteri terkait.

Awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo,  Keppres No 103 tahun 2001 tersebut dicabut dengan Perpres No 192 tahun 2014 tentang BPKP yang mempertegas Kedudukan, Tugas, dan Fungsi BPKP mengenai hal berikut :

1. BPKP sudah memperoleh dasar hukum tersendiri yang spesifik tidak lagi “generik” seperti ketika diatur dalam Keppres No 103 tahun 2001. Tugas BPKP sesuai pasal 2  Perppres No 192 tahun 2014 : menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/ daerah dan pembangunan nasional. Sedangkan tugas BPKP sebelumnya sesuai pasal 52 Keppres No 103 tahun 2001: melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” sebagaimana disebut dalam pasal 52  Keppres No 103 tahun 2001 merupakan pembatasan tugas pengawasan BPKP, sehingga dalam Perpres No 192 tahun 2014 pembatasan dengan menggunakan frasa tersebut tidak lagi dilakukan. 

3. Fungsi pengawasan BPKP sebelumnya dibuat generik dengan fungsi masing-masing LPND/LPNK lainnya, sekarang sudah kembali dibuat spesifik sesuai dengan fungsi pengawasan.

4. BPKP saat ini sudah nyata berada langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden, sehingga kedudukannya saat ini berada dalam lingkaran istana Kepresidenan. Tidak lagi berada dalam koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Walaupun BPKP terus berupaya melaksanakan tugasnya dengan baik, namun ada persoalan yang masih perlu mendapat perhatian Presiden agar BPKP dapat fokus melakukan pencegahan korupsi :

I Kedudukan BPKP

Kedudukan BPKP dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden sudah tepat dan sejalan dengan sistem presidensial yang dianut dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan lebih tepat bilamana kedudukan BPKP setingkat Menteri tidak dalam koordinasi Menteri. Moment yang tepat, bila Presiden dengan hak prerogatifnya membentuk Menteri Pengawasan/Kepala BPKP.

Dalam sistem tersebut, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan secara nyata memiliki kekuasaan administratif berupa pengawasan. Pengawasan Presiden ini mutlak diperlukan sebagai konsekuensi penerapan azas desentralisasi dan otonomi daerah yang tentunya tidak tepat didelegasikan kepada Menteri yang ada saat ini. 

Pendelegasian urusan pengawasan tersebut kepada Menteri berpotensi konflik kepentingan dengan urusan tertentu lainnya yang didelegasikan juga kepada Menteri yang bersangkutan. Hasil pengawasan yang diperoleh Presiden tentunya tidak akan obyektif jika diperoleh dari Menteri yang dalam kedudukan tidak independen karena adanya konflik kepentingan dengan urusan tertentu lainnya yang harus juga dipertanggungjawabkan kepada Presiden.

Sebenarnya struktur pengawasan intern pemerintah (internal audit) yang ada saat ini sudah memadai karena sejalan dengan teori dan best practice dari three lines of defence yang diterapkan dalam kalangan Institute of Internal Auditor (IIA).  Selain BPKP sebagai unit internal audit dalam lingkup pemerintahan secara nasional, terdapat unit internal audit lainnya pada lingkup Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Struktur ini dibangun sebagai mitigasi risiko untuk memperkuat upaya pencegahan sebagai inti peran APIP.

Walaupun kedudukan BPKP sebagai aparat pengawasan intern pemerintah sudah jelas di atur dalam Perpres No 192 tahun 2014 tentang BPKP tersebut diatas, namun masih berpotensi menghadapi persoalan untuk mewujudkan tanggungjawabnya kepada Presiden termasuk untuk fokus melakukan pencegahan korupsi sebagaimana diharapkan Presiden.

Regulasi yang  berpotensi menimbulkan persoalan tidak fokusnya BPKP dan APIP lainnya berperan melakukan pengawasan intern pemerintah :

1. UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara.

UU inisiatif DPR RI ini belum mempertimbangkan pentingnya fungsi pengawasan sebagai kekuasan administratif Presiden dalam sistem Presidensial.

2. UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

UU ini memberikan akses Menteri Dalam Negeri melalui Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri untuk mengatur peran APIP dengan pemahaman pengawasannya yang berbeda dengan pemahaman pengawasan intern yang diatur dalam PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).  Selain itu UU tersebut tidak mempertimbangkan keberadaan BPKP sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.

Oleh karena itu, sudah saatnya regulasi yang berpotensi menghambat tidak fokusnya APIP melakukan pencegahan korupsi dibenahi atau direformasi sejalan dengan konstitusi yang menganut sistem pemerintahan presidensial.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, Presiden dapat menggunakan hak prerogatifnya sesuai konstitusi membentuk Kementerian Urusan Pengawasan/BPKP, kemudian mengambil suatu kebijakan pengawasan intern pemerintah hanya berada dalam tangan Presiden. 

Hanya Presiden melalui BPKP yang dapat melakukan akses keseluruh APIP tidak saja melakukan pembinaan namun diberikan pula peran melakukan pengawasan terhadap APIP. Pengawasan ini dilakukan tidak dalam rangka pengawasan melekat oleh atasan langsung secara berjenjang, tapi pengawasan yang semata-mata untuk kepentingan Presiden.

BPKP sebagai APIP Presiden perlu dipertajam perannya semacam “komite audit” sehingga dapat melakukan pengawasan (peer reviu) terhadap APIP lainnya terkait efektivitas pengawasan oleh APIP Daerah dan Pusat. Pengawasan tersebut setidaknya untuk meyakinkan :

1. Kapabilitas dan kompetensi SDM yang ada pada APIP secara substantif apakah telah memadai melakukan pencegahan korupsi.

2. Manajemen pengawasan intern APIP lainnya apakah telah sejalan dengan BPKP.

3. Komitmen atau kepedulian Kepala Daerah maupun Menteri/Pimpinan Lembaga apakah konsisten dalam menjaga independensi dan obyektivitas APIP serta memanfaatkan hasil pengawasan APIP di lingkungan masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

2. Tugas dan fungsi BPKP

Selanjutnya bagaimana dengan tugas dan fungsi BPKP menurut Perpres No 192 tahun 2014..???

Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah termasuk dasar hukum yang dirujuk dalam Perpres No 192 tahun 2014. Hal krusial yang perlu mendapat perhatian serius, tugas dan fungsi BPKP tidak lagi sama ketika BPKP melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan Keppres No 31 tahun 1983.

Selain Perpres No 192 tahun 2014 telah diterbitkan Instruksi Presiden No 9 tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Sesuai judulnya mencerminkan tugas dan fungsi BPKP seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2008.  

Implementasi tugas dan fungsi BPKP sesuai Perpres No 192 tahun 2014 dan Inpres No 9 tahun 2014 tidak boleh mengabaikan peran BPKP sesuai PP No 60 tahun 2008 tersebut di atas. Sesuai azas Lex superior derogat legi inferior, hukum yang tinggi (lex superior) mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior). Asas ini biasanya sebagai asas hierarki.

Selain peran pembinaan BPKP atas penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah dan pembinaan terhadap APIP, peran pengawasan BPKP dan APIP lainnya telah diatur dalam pasal 49 Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2008 sebagai berikut :

1. BPKP : 

a. Pengawasan kegiatan lintas sektoral;

b. Pengawasan atas kebendaharaan umum;

c. Kegiatan lain berdasarkan penugasan Presiden.

2. APIP lainnya :

Pengawasan atas kegiatan yang dibiayai dari anggaran (APBN/APBD) masing-masing Kementerian/Lembaga, Pemprov, Pemkab. dan Pemkot.

Dengan telah dikeluarkannya PP No 60 tahun 2008,  kekhawatiran tumpang tindih pengawasan BPKP dan APIP lainnya sudah tidak mungkin dan tidak akan terjadi sebagaimana dihadapi ketika BPKP melakukan pengawasan berdasarkan Keppres No 31 tahun 1983. Tidak perlu lagi pembagian obyek pengawasan di antara BPKP dan APIP lainnya. Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya lebih memperjelas peran BPKP dan APIP lainnya, karena didalamnya diatur dengan jelas siapa mengerjakan apa dan siapa bertanggungjawab kepada siapa. Dengan pengaturan ini, pengawasan intern pemerintah sudah lebih kondusif.

Penjelasan kegiatan lintas sektoral menurut pasal 49 ayat (2) huruf a PP No 60 tahun 2008 merupakan kegiatan yang dalam pelaksanaannya melibatkan dua atau lebih kementerian negara/lembaga atau pemerintah daerah yang tidak dapat dilakukan pengawasan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah kementerian negara/lembaga, provinsi, atau kabupaten/kota karena keterbatasan kewenangan

Selain karena adanya keterbatasan kewenangan APIP, sebenarnya masih ada persoalan lainnya yang memerlukan pengawasan BPKP yaitu terkait dengan independensi dan obyektivitas APIP untuk melakukan pemeriksaan. Hal tersebut dihadapi ketika melakukan pemeriksaan bilamana terdapat tindakan penyimpangan pengelolaan keuangan negara/daerah oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota. 

Sehingga wajar bilamana Presiden menugaskan BPKP yang secara independen, obyektif dan profesional melakukan pemeriksaan (dalam konteks pengawasan intern) terhadap Menteri/Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota, sebelum dilakukan oleh BPK atau Aparat Penegak Hukum (APH). Selanjutnya bilamana terdapat indikasi tindak pidana korupsi, BPKP melakukan koordinasi dengan APH untuk dilakukan penanganan lebih lanjut sesuai kewenangannya.

Walaupun audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan pengelolaan keuangan negara dapat dilakukan oleh APIP lainnya selain BPKP, namun bilamana terdapat penyimpangan yang diduga dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur, Bupati/Walikota maka tidak layak dilakukan oleh APIP yang berada pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Sesuai Perpres No 192 tahun 2014 dan Inpres No 9 tahun 2014, pelaksanaan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya oleh BPKP tidak mungkin lagi dilakukan seperti halnya ketika BPKP melaksanakan tugasnya berdasarkan Keppres No 31 tahun 1983. 

BPKP sebagai pembina pengawasan intern APIP lainnya baik Pusat dan Daerah, konsekuensinya tidak tepat lagi melakukan pengawasan sektoral terhadap unit kerja di lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. APIP Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terus diberdayakan peran pengawasan internnya agar mampu melakukan pengawasan secara efektif terhadap unit kerja di lingkungan masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Kata kunci yang penting atas pengaturan pengawasan dalam Perpres No 192 tahun 2014 dan Inpres No 9 tahun 2014 adalah sinegi dan koordinasi oleh BPKP dalam pengawasan yang bersifat nasional, lintas sektoral dalam mendukung secara nyata efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional.

Sesuai pasal 3 huruf f Perpres No 192 tahun 2014 dinyatakan bahwa fungsi BPKP melakukan pengoordinasian dan sinergi penyelenggaraan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional bersama-sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah lainnya; Selanjutnya sesuai diktum keempat Inpres No 9 tahun 2014, diperintahkan kepada para Menteri Kabinet Kerja; Sekretaris Kabinet; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Jaksa Agung; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Lembaga Pemerintahan Non Kementerian; Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Negara; Para Gubernur; Para Bupati/Walikota bersinergi, berkoordinasi, dan memberikan akses kepada Kepala BPKP untuk melakukan pengawasan.

Walaupun BPKP tidak lagi melakukan pengawasan sektoral namun efektivitas pengawasan sektoral  mempunyai pengaruh pada efektivitas pengawasan lintas sektoral oleh BPKP. 

Sudah nyatakah kedudukan BPKP sebagai koordinator APIP dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional ?

Tugas BPKP dan APIP lainnya semakin kompleks karena UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, mengamanatkan kepada BPKP dan APIP lainnya bersama aparat penegak hukum untuk dapat mengidentifikasi penyimpangan yang berindikasi pidana atau  administratif, sebelum dilakukan penyidikan oleh aparat penegak hukum.  Amanat ini telah membawa konsekuensi BPKP dan APIP lainnya perlu memiliki pemahaman mengenai "mens rea"  seperti pemahaman yang dimilki APH. Namun bukan berarti BPKP dan APIP lainnya harus memilki kewenangan yang sama dengan APH berkenaan dengan proses penegakan hukum.

(baca tulisan terkait: Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Transparan Masih Jauh dari Harapan)

(baca tulisan terkait:  Tepatkah Persoalan Surat Staf Khusus Presiden Tindakan Maladministrasi)

Kinerja BPKP tidak relevan lagi dikaitkan dengan pengawasan terhadap unit kerja Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, kecuali pengawasan yang berada di luar kewenangan dan/atau menghadapi persoalan independensi dan obyektivitas APIP lainnya. Seberapa jauh keberhasilan  BPKP mendorong efektivitas peran pengawasan intern oleh APIP lainnya mencegah korupsi menjadi konsen bersama dan perlu mendapat dukungan dari internal dan eksternal pemerintah  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun