Mohon tunggu...
Edwison Setya Firmana
Edwison Setya Firmana Mohon Tunggu... Administrasi - as simple as es puter

belajar berbagi lewat tulisan dan gambar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

ASN Bekerja dari Rumah, Memang Bisa?

29 Maret 2020   13:36 Diperbarui: 29 Maret 2020   13:46 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bekerja dari rumah bisa santai tapi tetap produktif. | Dok. pribadi

Sekitar Nopember 2019 lalu, Pemerintah mencetuskan agar Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat bekerja dari rumah. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) belum menjelaskan konsepnya, publik sudah riuh merespon dengan beragam opini.

Berbagai pendapat pro dan kontra pun muncul. Umumnya, masyarakat menentang rencana ini. Menurutnya, ASN yang dulu disebut PNS akan makin malas bekerja bila hari kerja dipangkas dari lima menjadi empat hari per minggu. Tentunya masyarakat sah-sah saja protes karena upah ASN dibayar dari pajak yang dibayar masyarakat.

Rencana itu belum diimplementasi di 2020, wabah COVID-19 merebak. Penyebarannya begitu pesat, menjadi pandemik dan memaksa warga untuk mengurangi mobilitas. Termasuk di Indonesia. Setidaknya sejak 9 Maret 2020, Gubernur DKI memerintahkan sekolah dan perguruan tinggi di DKI Jakarta untuk melaksanakan kegiatan belajar jarak jauh. Pada saat itu juga, seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) berangsur menerapkan Work from Home (WFH). ASN bekerja dari rumah pun dilaksanakan, walau ini bukan dari rencana Pemerintah yang diumumkan akhir 2019 lalu tersebut.

Saat ini sudah sekitar dua minggu WFH dilaksanakan. Saya melihat WFH ini cukup berhasil. Keberhasilan ini tentunya sesuai dengan kondisi darurat COVID-19 di mana ritme pekerjaan tentu turun dan banyak kegiatan ditunda, misalnya pembangunan fisik. Namun demikian, setiap Unit Kerja tetap melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan secara mandiri. Misalnya pengolahan data, penyusunan bahan kebijakan, penulisan laporan, dan pelaporan keuangan.

Para ASN memanfaatkan perangkat lunak daring untuk rapat, antara lain Zoom dan Skype. Rapat daring ini tidak terbatas untuk rapat internal saja, tetapi juga K/L dan lembaga lain. Hal ini cukup efektif karena rapat tetap berhasil merumuskan hal penting layaknya rapat biasa di kantor. Dan tentunya efisien karena tidak perlu transportasi untuk berkumpul.

Terlepas dari wabah COVID-19, apakah WFH di Instansi Pemerintah bisa dilanjutkan sebagaimana diumumkan akhir 2019 lalu? Tentunya bukan WFH yang sekarang dilakukan karena wabah penyakit. Lalu, apa bedanya? Mari kita bahas.

WFH karena COVID-19 ini melibatkan hampir seluruh ASN. Hanya beberapa staf dan pejabat saja yang perlu masuk untuk koordinasi. Beberapa pejabat setingkat Direktur dan Direktur Jenderal tetap masuk karena WFH ini betul-betul darurat dan mendadak. Mereka boleh masuk karena menggunakan kendaraan dinas. Sehingga sebagian tetap masuk demi kelancaran pekerjaan Instansi keseluruhan.

Sedangkan WFH yang dicanangkan Pemerintah adalah WFH untuk sebagian ASN saja. Jumlahnya jauh lebih sedikit daripada ASN yang menjalankan WFH saat ini. Dengan kata lain, WFH yang dikonsep tanpa wabah itu adalah pekerjaan seperti biasa (business as usual).

ASN seperti apa yang dapat bekerja dari rumah? Tentu tidak semua ASN. Dalam pemerintahan, ada yang disebut sebagai Jabatan Fungsional Umum (JFU) dan Jabatan Fungsional Tertentu (JFT). JFU adalah jabatan untuk staf umum, misalnya staf yang bertugas distribusi surat. Sedangkan JFT adalah jabatan yang memiliki tugas khusus. Contoh JFT adalah Dosen, Peneliti, Widyaiswara, Analis Data, Statistisi, Perekayasa, Pranata Komputer, Syahbandar, dan pejabat pengadaan barang dan jasa.

Konsep WFH nanti diterapkan kepada sebagian JFT tersebut. Syaratnya adalah pekerjaannya dilakukan secara mandiri dan bukan pelayanan rutin terhadap masyarakat. Contoh WFH seperti ini adalah Peneliti, Analis Data, dan Pranata Komputer.

Seorang Peneliti yang baru pulang dari pengambilan data di lapangan akan menghabiskan dua sampai lima hari kerja di kantornya untuk mengolah data, menganalisisnya, dan menyusunnya menjadi laporan. Bayangkan bila seorang Peneliti harus bangun tidur pukul 04.00 di rumahnya di Kabupaten Bogor lalu berdesakan di KRL selama 2 jam menuju kantornya. Selama minimal 8 jam hanya berkutat di komputer dan berinteraksi hanya dengan tiga orang rekan satu timnya. Sore hari, dia kembali berdesakan di KRL selama 2 jam sebelum akhirnya tiba di rumah tepat saat matahari tenggelam.

Bisa dibayangkan betapa banyak energi terbuang selama 4 jam untuk perjalanan pulang pergi padahal di kantor pun dia hanya bekerja sendiri dengan sangat sedikit interaksi. Dia lebih lama berada di luar rumah setiap hari kerja. Dan ini terjadi pada ratusan orang ASN setiap harinya.

Oleh sebab itu, WFH ini digagas. Dengan WFH, seorang peneliti dapat menghemat tenaga yang biasa disalurkannya untuk perjalanan ke kantor. Demikian pula seorang Analis Data yang dapat mengolah dan menganalisa data dari rumah, dan seorang Pranata Komputer yang dapat merancang program untuk kantornya dari rumah.

Tentunya WFH tidak dilakukan sepanjang tahun. Bila JFT dapat melakukan WFH 20% dari jumlah hari kerja saja, maka hal tersebut sudah merupakan keuntungan besar dari segi biaya, waktu, kesehatan, dan kualitas hidup.

Peneliti, Analis Data, dan Pranata Komputer tetap harus masuk kantor untuk bertemu dengan atasan dan rekan untuk berkoordinasi yang sifatnya tidak dapat dilakukan secara daring. Misalnya pemaparan draft laporan penelitian atau program yang baru selesai dibangun. Penyampaiannya lebih efektif bila dilakukan dengan tatap muka.

Lalu bagaimana menentukan suatu pekerjaan dapat dilakukan selama sebut saja dua hari atau lima hari? Instansi Pemerintah memiliki kegiatan yang disebut Analisis Beban Kerja (ABK), yaitu telaah terhadap suatu pekerjaan, seberapa besar bebannya, dan dapat diselesaikan dalam waktu berapa lama. Contoh sederhananya, misal ABK pengolahan 50 data dapat dilakukan dalam waktu 8 jam atau setara satu hari kerja.  Bila seorang Analis Data punya beban 500 data untuk diolah, maka pekerjaan itu dapat dilakukan selama 10 hari.

Setelah melakukan pekerjaan, bagaimana pemantauan kinerja ASN tersebut? Saat ini, setiap ASN wajib mengisi catatan harian (logbook) berisi kegiatan hari itu. Logbook tersebut saat ini diisi secara daring. Jenis pekerjaan yang diisi pun harus sesuai dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) atau Key Performance Indicator (KPI) yang ditetapkan. Hasil logbook ini akan disesuaikan dengan capaian kinerja satuan kerja tersebut setiap tahun.

Semua pemantauan tersebut sangat mungkin dilakukan berkat adopsi kemajuan teknologi oleh Instansi Pemerintah. Saat ini, hampir seluruh proses administrasi di lingkungan Instansi Pemerintah terutama Pemerintah Pusat dilakukan secara elektronik. Dengan elektronik, mengelola suatu unit kerja dengan ribuan pegawai bukan masalah besar. Bagian Sumber Daya Manusia Aparatur (SDMA) dapat memerhatikan kinerja ASN satu per satu. Surat peringatan akan diberikan kepada yang ASN yang tidak mencapai IKU yang ditetapkan kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun