Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Algoritma Media Sosial di Era Post Truth

16 Januari 2022   07:14 Diperbarui: 16 Januari 2022   07:23 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekelompok Pemuda sedang bermain media sosial (sumber: idmtimes.com)

Pada era post truth, kebenaran tidak lagi disepakati dan diterima secara umum karena masyarakat seringkali lebih memilih mengabaikan fakta-fakta obyektif. Dengan kata lain, setiap orang memiliki versi kebenaran masing-masing dalam memandang sesuatu, yang dipengaruhi oleh aspek emosional dan keyakinan pribadi. Ini tentu berbahaya bagi kehidupan sosial.

Alogaritma media sosial di era post truth

Sadar atau tidak, gelombang alogaritma media sosial menguat di era post truth seperti saat ini. Platform media sosial tentang memahami perilaku masyarakat di era post truth. Oleh karena itu, penggunaan algoritma media sosial menjadi sangat penting untuk menarik para pengguna media sosial.

Mengarahkan para pengguna media sosial berdasarkan kecenderungan pada perasaan suka atau tidak suka adalah hal yang paling mudah. Sangat mudah bagi platform media sosial men-tracking keinginan dari para penggunanya. Salah satunya adalah menggunakan filter Bubble.

Filter bubble adalah algoritma yang dibuat oleh media sosial, di mana kita disuguhkan informasi “sesuai dengan yang kita suka aja”. Aktivitas pengguna di media sosial direkam yang kemudian dilihat berdasarkan tingkat kecenderungan. Kecenderungan inilah yang coba dimanfaatkan oleh platform media sosial melalui sistem alogaritma.

Sebagai contoh di platform media sosial YouTube dengan pola alogaritma ah yang menekan pada minat pengguna. Bagi para pengguna yang suka menonton sepak bola, pada laman YouTube akan selalu ditampilkan video-video tentang sepak bola. Hal demikian terjadi karena kecenderungan dari para pengguna yang mencari video sepak sepak bola. Inilah yang coba dimanfaatkan oleh platform media sosial YouTube melalui sistem alogaritma.

Lain hal dengan platform media sosial Instagram. Jika kita sering love postingan mobil atau motor di instagram. Di explore kita akan banyak konten-konten bermuatan otomotif. Kalau kita sering love konten penyanyi/band favorit, maka explore kita penuh dengan band atau penyanyi serupa.

Sepintas hal ini tidak ada masalah, namun perlahan telah menghipnotis pengguna media sosial. Selain menghipnotis juga menguatkan apa yang tidak disukainya. Inilah problem utama alogaritma media sosial di era post truth.

Dampak yang paling dirasakan adalah ketika memasuki tahun politik. Seseorang yang tidak suka dengan calon tertentu akan dengan mudah menemukan konten-konten yang cendrung menjelek-jelek calon tersebut. Termasuk isi konten yang bermuatan hoax

Politik identitas akan semakin menguat manakala informasi yang diperoleh tidak berimbang. Kecenderungan ini diperparah oleh pola alogaritma yang mengakomodasi sentimen emosional. Untuk itu kita mengharapkan para pengguna media sosial lebih bijaksana. Sekian!

Sumber Bacaan:

1. Riset Ungkap Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia "Melek" Media Sosial


2. Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021

3. Algoritma di Media Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun