Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Mengakar, Butuh Jutaan Tangan untuk Mencabut!

9 Desember 2021   13:32 Diperbarui: 30 Desember 2021   12:17 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tikus berdasi/ koruptor (sumber: radarnusantara.com)

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe

(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Korupsi adalah masalah terbesar yang dialami oleh bangsa Indonesia. Setiap hari di layar kaca, kita menyaksikan banyak berita kasus korupsi yang melibatkan para pejabat pemerintah, petinggi partai. Bak jamur di musim hujan, begitulah kasus korupsi yang terjadi hampir di pelosok negeri. Apa pun itu, korupsi tidak boleh berkembang di negeri yang kita cintai ini.

Korupsi tidak hanya penghambat pembangunan, namun juga menyengsarakan rakyat. Para  koruptor mengambil hak yang bukan mikiknya. Bertindak atas nama kekuasaan untuk melakukan tindakan korupsi. Diperparah dengan lemahnya penegakan hukum yang ada. Semua terasa begitu kompleks dalam ruang sunyi yang sulit dijangkau oleh publik.

Rakyat sengsara ulang pejabat yang korup. Maka dari itu sangatlah pantas jika korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Satu orang yang melakukan korupsi dapat menyengsarakan satu daerah tertentu. Satu kepala daerah (gubernur) yang korupsi maka satu propinsi yang kena getah karena pembangunan terhambat.

Modus korupsi setiap tahun selalu berubah-ubah dan tidak ada kapok-kapoknya. Para koruptor sepertinya kehilangan nurani sebagai manusia ciptaan Tuhan. Jika dideskripsikan lebih kejam koruptor bukan sekedar penjahat biasa, namun kumpulan para bandit yang dilabeli sebagai pembunuh berdarah dingin.

Di tahun 2018, Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan pemantauan terhadap penindakan kasus korupsi pada semester 1. Dari pantauan yang dilakukan, ICW membuat pemetaan, salah satunya modus yang digunakan dalam berbagai kasus. Berdasarkan catatan ICW, ada 12 modus yang digunakan dalam kasus korupsi yang ditindak selama semester I 2018. 

Modus-modus tersebut adalah penyalahgunaan anggaran, Modus mark up, Modus suap, Modus korupsi dengan pungutan liar, Modus penggelapan, Modus laporan fiktif, Modus penyalahgunaan wewenang, Modus gratifikasi, Modus pemotongan anggaran, Modus anggaran ganda, Modus kegiatan atau proyek fiktif, Modus mark down.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar menyebut suap menjadi modus korupsi paling banyak dalam kurun waktu 17 tahun. Modus itu terjadi khususnya dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ). Menurut hemat penulis hal ini terjadi karena adanya keinginan kedua pihak dalam melakukan korupsi. Kasus suap lumrah terjadi karena adanya ketergantungan dari dari salah pihak baik pemberi suap maupun penerima suap.

Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK perode 2019-2023 (sumber: tirto.id)
Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK perode 2019-2023 (sumber: tirto.id)

Selama masih ada hubungan simbiosis mutualisme di antara para pihak maka modus suap akan terus ada. Sama-sama cari gampang dan sama-sama cari untung. Namun sayangnya, tindakan mereka tersebut  erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat umum. Akibat ulang mereka, banyak proyek pemerintah mangkrak, dana bantuan sosial raib. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sulitnya Memberantas Korupsi

Sudah hampir belasan tahun lembaga KPK berdiri, sepanjang itu juga korupsi tetap ada. Ini tidak bermaksud untuk mengkerdilkan capaian-capaian KPK dalam memberantas korupsi. Atau sekeder meragukan eksistensi lembaga anti rasuah ini. Sekedar menggambarkan bahwa korupsi masih ada sampai saat ini.

Masyarakat sepertinya frustasi dengan mental korup dari beberapa pejabat di negeri ini. Akibanya, sebagian kalangan merasa apatis terhadap tindakan korupsi. Diam saja jika ada indikasi terjadinya korupsi di suatu instansi. Apalagi, bila aparat penegak hukum tidak responsif terhadap laporan masyarakat mengenai kasus korupsi.

Pemahaman masyarakat yang rendah tentang hal mana yang masuk dalam kualifikasi tindak korupsi atau tidak ikut mempengaruhi tingkat korupsi diberbagai daerah. Bahkan masyarakat sendiri terjebak dalam pusaran korupsi tersebut. Ada kesan biasa dilakukan namun ternyata masuk dalam kualifikasi tindak korupsi.

Budaya "ucapan terima kasih" dalam bentuk hadiah acap kali salah dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat seringkali menganggap biasa dengan perilaku suap yang dianggap hanya sebagai ucapan terima kasih. Padahal, jika pemberian tersebut karena adanya motif untuk memuluskan proyek atau lainnya maka termasuk dalam modus korupsi.

Di beberapa daerah, tindak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pada tingkat daerah seperti camat dan kepala desa sama sekali belum tersentu oleh hukum. Sebab, fokus pemberantasan korupsi masih seputar kasus-kasus kakap. Padahal, ada banyak kasus korupsi yang masuk kelas teri namun dalam jumlah yang tidak sedikit terjadi di pelosok daerah.

Keterlibatan masyarakat dalam mengatasi korupsi memang belum maksimal. Selain faktor pengetahuan, masalah lain adalah faktor keamanan. Masyarakat enggan proaktif dalam pencegahan korupsi karena takut berurusan dengan hukum. Misalnya: menjadi saksi di pengadilan untuk kasus korupsi.

Bagi masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah tentu akan cari aman. Tahu terjadinya korupsi, namun membiarkan begitu saja hanya karena takut untuk bersaksi. Dan bahkan ada sebagian masyarakat berpikir bahwa korupsi ini akan dilakukan oleh siapa saja tanpa terkecuali, tinggal menunggu kapan ada kesempatan (menjabat).

Jika dibiarkan, tentu sangat membahayakan. "Sekarang mereka menjabat biarkan mereka korupsi. Nanti kalau kita yang menjabat giliran kita yang korupsi". Pandangan yang demikian rusak ini tentu akan sangat membahayakan tatanan sosial masyarakat dalam menyikapi budaya anti korupsi.

Selain itu, masyarakat yang vokal menyuarakan masalah korupsi seringkali mendapatkan intimidasi. Jika tidak tahan terhadap intimidasi, maka dengan sendirinya diam tak berdaya. Ambil bagian dalam mencegah kasus korupsi bukan perkara gampang. Butuh nyali yang kuat untuk mengatasi berbagai ancaman termasuk nyawa jadi taruhan.

Kasus korupsi dengan modus penyuapan selalu melibatkan jaringan dan di backup oleh orang-orang kuat. Masyarakat kadang takut untuk membongkar kasus-kasus tersebut karena akan berurusan dengan orang-orang kuat ini. Dengan demikian, kasus-kasus korupsi di level daerah sulit untuk dibongkar.

Korupsi Musuh Bersama

Korupsi musuh bersama, dan sama-sama punya tanggung jawab memberantas korupsi. Pemberantasan dan pencegahan korupsi bukan hanya tugas kejaksaaan, kepolisian atau KPK. Pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah panggilan nurani untuk setiap anak bangsa yang peduli tentang masa depan bangsa ini.

Di hari antikorupsi 2021, kita dipanggil untuk bahu-membahu melawan para koruptor. Sekaligus mengungatkan kita bahwa sekecil apa pun, korupsi tetaplah korupsi. Kembali menyadarkan kita agar tetap setia dalam mebjalankan tugas dan jabatan kita dengan tidak terlintas sedikit pun  untuk melakukan korupsi.

Korupsi memang sudah mengakar, namun jutaan tangan anak bangsa siap mencabutnya. Ini bukan angan-angan hampa penulis. Ini pertanggujawaban moral anak bangsa terhadap nasib bangsa ini ke depan. Bila bangsa ini maju maka bersihkan virus-virus korupsi yang sudah masuk stadium kronis.

Langkah-langkah yang sekiranya dapat dilakukan untuk mencegah dan memberantas korupsi:

1. Menerapkan pembelajaran anti korupsi

Hal ini dilakukan guna untuk mengenalkan bagaimana korupsi dapat menghancurkan perekonomian bangsa. Selain itu, menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada peserta didik sebagai bekal untuk masa depan kelak saat bekerja atau menjabat di instansi pemerintahan atau swasta. Di lain pihak pembelajaran anti korupsi, memberikan pedoma-pedoman serta tata cara dalam mencega terjadinya korupsi.

2. Melibatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi

Sejauh ini pemerintah mendorong agar masyarakat pro aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Akan tetapi masyarakat butuh suatu mekanisme khusus dan praktis dalam mengadukan   perkara korupsi. Baik itu pengaduan secara online atau secara langsung yang responsif serta dapat melindungi pribadi yang mengadu suatu perkara korupsi. Ini penting agar masyarakat merasa dilindingi saat melakukan pengaduan suatu perkara korupsi.

3. Membentuk unit pengaduan tindak pidana korupsi di setiap daerah

Untuk memudahkan masyarakat dalam mengaduh tindak pidana korupsi maka paling tidak ada unit khusus yang dengan mudah diakses. Unit ini setiap saat bertugas menerima laporan dari masyarakat. Perlu dicatat dalam hal menerima pengaduan masyarakat tidak harus terpaku pada kelengkapan bukti-bukti. Sebab, terkadang masyarakat hanya memperoleh informasi tanpa ada bukti yang cukup. Oleh karena itu, tugas unit ini adalah mencari kebenaran dari informasi aduan tersebut. Tidak lantas menolak aduan dari masyarakat.

Pembaca Kompasiana yang budiman, hari antikorupsi 2021 ini sebagai momentum untuk membangkitkan kesadaran kita akan peran kita dalam mencegah dan memberantas korupsi. Kita bersama-sama dipanggil untuk menolak dan melawan tindak korupsi. Ingat, negara hancur karena korupsi yang sulit diberantas. Sekian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun